Apa yang kupunya pada pukul setengah dua belas malam? Dengkuran halus
mama di sisi kiri kasur. Nyaringnya derik serangga dari teras rumah.
Bunyi-bunyi ganjil di ruang tengah - tikus jamban yang ke luar untuk
mengobrak-abrik sampah, cecak merayap di dinding memangsa kecoa malang, dan
lain-lain. Saluran TV yang menyala dengan volume rendah. Lalu, yang terakhir:
isi kepala yang gaduh sekali.
Sudah jadi kebiasaan sejak kamu pergi, jelang pertengahan malam seperti
ini selalu mengantarkanku pada banyak ingatan. Ini adalah waktu ketika kamu dan
aku baru selesai menonton film bioskop pada jam paling larut. Kita melangkah
menuju lift yang letaknya cukup terpencil di balik tembok berlorong gelap.
Lampu-lampu mal sudah mati, derap kaki kita begitu jelas di tengah bangunan
yang sepi. Walau begitu sesekali masih terpantul jelas bayangan satpam yang
hilir-mudik di etalase.
Sumber: @plumrain, We Heart It
Sampai di parkiran, kamu menyalakan rokok yang asapnya berkali-kali
kukeluhkan mengenai wajahku. Kamu hanya tertawa dan mengeluarkan kunci sembari
membunyikan alarm motor dari kejauhan. Ketika kamu mengajakku naik, mendadak
sosokmu memudar menjadi kabut yang ditelan pekatnya malam. Aku sendiri
tersisa bersama kesedihan.
Sudah jadi rutinitas sejak kamu pergi, menuju pertengahan malam seperti
ini selalu mengingatkanku pada banyak memori. Ini adalah momen ketika kamu
mengebut di jalan lengang hingga angin dingin malam menampar wajahku tanpa
ampun.
Kamu akan berhenti di pom bensin yang penerangannya paling terang
mengalahkan bulan, lalu aku melipir ke teras minimarket 24 jam untuk menunggu.
Di sana, aku akan mendongak sembari berpikir apakah bulan tidak kesepian
sendirian di langit gelap. Saat tank sudah penuh dan kamu balik
menjemputku, tiba-tiba wujudmu lenyap menyatu dengan malam yang hitam. Aku
sendiri tersisa bersama kehilangan.
Dua jarum jam kompak berhenti di angka dua belas. Mama terbangun oleh
lampu kamar yang masih menyala lalu menyuruhku tidur. Apa yang sedang kutunggu?
Mataku basah dan benakku terlalu gelisah. Semuanya sudah berubah.
Kamarmu kosong, ranjangmu dingin. Asbak rokokmu lenyap, baju-bajumu
lesap. Lalu, orang-orang akan membisikkan kebohongan terbesarnya padaku: semua
akan baik-baik saja. Bagaimana mungkin? Kamu tak akan lagi pulang. Aku mendadak
memelihara luka yang tak akan sembuh dan memendam rindu yang tak pernah
tuntas.
Rasanya seperti
...aku memeluk duri yang makin erat kudekap makin dalam aku
terluka.
...aku memakai baju sempit yang berkali-kali kupaksa kenakan justru
membuatku kian sesak.
...aku menaiki sepeda yang kehilangan satu rodanya tapi masih bisa
melaju dengan kemungkinan jatuh di tiap kayuhannya.
Dan, pengandaian-pengandaian lain yang seberapa banyak pun aku
membayangkannya agar kamu tahu betapa runtuhnya aku ketika kamu pergi, tetap
saja tidak membuatmu tahu dan kembali.
Kematian adalah perjalanan satu arah, tidak ada jalan memutar untuk
balik. Sama seperti aku yang kamu tinggalkan, ini perasaan sakit satu arah, ia
tidak akan pulih hanya dengan keyakinan semu semua akan baik-baik saja. Maka,
izinkan aku menangis - sepanjang malam hingga aku menemukan yang mereka sebut
sebagai keikhlasan atau justru: melupakan.
“When there's nothing quite wrong, but it doesn't feel right.” - The
Other, LAUV
Tangerang, 12 Desember 2021, 18.35 pm
Menuju tahun baru kedua tanpa papa
0 Comments:
Post a Comment