Aku
suka sekali menonton film apalagi jika dilakukan di bioskop. Nyaris semua
hal-hal yang khas dari gedung teater film tersebut pasti kusukai. Mulai dari
aroma popcorn, suara mesin minuman, pendingin ruangan lebih sejuk, pilihan musik
latar, lorong tunggu berpenerangan teduh, hingga pengisi suara pengumuman yang
populer itu.
Saking
sukanya, setiap pulang kuliah, magang, sampai kerja tahun pertama, aku selalu memilih
berakhir pekan di sana. Pernah suatu tahun, daftar film paling diantisipasi habis
kutonton satu per satu. Malam pergantian tahun ketika banyak orang memutuskan
membakar jagung atau menyaksikan kembang api, aku justru mengurung diri di bioskop
menonton sajian film tahun baru. Saat selesai sekitar pukul satu pagi, jalanan
sudah lengang dan aku akan berhenti di gerobak tek-tek nasi goreng yang masih
buka 24 jam.
Sumber foto: Boris Krstic, Flickr |
Alih-alih
bersama teman, sahabat, kerabat, apalagi pacar, aku melakukan kebiasaan favorit
ini dengan papa. Kami punya ritual khusus sebelum menonton film yang selalu segar
kuingat: memburu promo di aplikasi pembelian tiket, membeli roti kopi dan menyimpannya
di tas untuk diselundupkan sebagai camilan nonton, memesan mi instan telur atau
kentang goreng atau sundae atau boba sembari menunggu pemutaran film (kami
paling suka memilih jam putar terakhir, sekitar jam 9 atau setengah 9 atau jam
10 atau lebih).
Kebiasaan
tersebut dilakukan rutin dan menahun. Perlahan menjelma momen yang kalau
dikenang ulang selalu berhasil menghangatkan hati. Namun, segalanya berhenti
setelah pandemi datang dan papa tak pernah lagi pulang.
Sejak itu, terjadi perubahan besar dalam hidupku. Aku punya ketakutan baru: pergi ke bioskop. Hal yang dulunya sangat indah untuk dilakoni justru begitu menyakitkan saat ini. Semesta berhasil melahirkan sesuatu yang begitu keras dan padat untuk menabrak batinku tanpa ampun. Rasanya seperti memiliki baju favorit saat kau kecil dulu, tapi saat kau paksa kenakan sekarang sudah tak lagi pas, sebaliknya baju itu menyekap tubuhmu bagai pelukan kasar dan kencang yang menyesakkan.
Untukku,
pergi dan menonton film di bioskop adalah kengerian yang lebih hebat dibanding
berangkat ke laut tempat papa dilarung saat sudah jadi abu. Aku tidak punya
banyak kenangan tentang sungai dan laut, tapi aku menyimpan kegembiraan akhir
pekan dan kehangatan cinta bersama papa di bioskop.
Aku
tidak mungkin melangkah di lorong bioskop untuk memilih bangku kosong,
mengantre tiket di loker, mampir ke toiletnya yang bersih, membeli camilannya
yang mahal, dan lain-lain tanpa terluka, dihajar kenangan, dikoyak abis
kesepian yang diam-diam membuatku tidak waras.
Bioskop
bagiku bukan lagi tempat hiburan, melainkan ziarah. Berkas bayangan papa yang
duduk di bangku tunggu sambil bermain Facebook atau gim daring menamparku
habis-habisan. Berkas bayangan papa yang menepuk pundakku untuk pergi merokok
sebentar di parkiran bioskop menggulungku dalam-dalam.
Papa telah pergi dan menyisakan kenangan yang penuh perlawanan untuk mempertahankannya tanpa babak belur. Menonton bioskop tanpa papa seperti menumbuhkan duri-duri kecil yang membunuhku dari dalam.
Maka
itu, aku mulai keranjingan aplikasi film streaming yang dulu aku bilang bikin
lelah mata dan tidak menawarkan pengalaman menonton sepenuhnya. Tapi sekarang
justru menyelamatkanku dari kesedihan-kesedihan yang terus memanjang tiada jeda.
- Tangerang,
16.40 pm
Ditulis
sambil membayangkan aku dan papa ke luar bioskop sebagai penonton terakhir,
lalu menikmati setiap langkah di mal gelap dan sepi menuju tempat parkir. Aku
rindu asap rokok papa yang berkali-kali kukeluhkan menabrak wajahku. Aku rindu
papa yang mengebut di jalan tengah malam. Aku rindu pria yang kupanggil papa
tanpa gelar almarhum di depannya.
0 Comments:
Post a Comment