Aku
tidak mahir menghadapi perubahan, sementara kata banyak orang kehidupan justru
berjalan karena adanya yang berubah. Maka, di sinilah aku: duduk di tepi jalan
kompleks perumahan menjelang petang, mengenakan pakaian jogging, membawa
makanan kucing, dan membiarkan kesibukan berlalu lalang di depanku. Aku bergeming
dan diam-diam merekam perubahan untuk kukabarkan padamu.
Sumber foto: Running In The Night —  (tumblr.com) |
Ini adalah bagian-bagian yang berubah sejak kamu pergi – aku sengaja mencatatnya dan memberitahumu supaya saat keajaiban datang yang memungkinkanmu pulang ke rumah, kamu tidak akan tertinggal tentang apa-apa saja yang tidak lagi sama.
Nasi
uduk langgananmu di persimpangan Jl. Aster yang kamu bilang abang penjualnya
ganjil karena baru memasak sehabis maghrib dan lauk pauknya siap sedia saat
jelang pukul delapan malam, sudah tutup. Mungkin bangkrut akibat
kebiasaan janggalnya itu. Siapa yang mau makan nasi uduk malam hari dengan jam
buka sampai subuh? Ya, ada. Itu kamu – eh tidak, kita!
Tidak
hanya tempat nasi uduk favoritmu saja yang berubah, tapi juga rumah makan
vegetarian kesukaanku. Ia sudah tidak buka lagi dan berpindah untuk jualan dari
rumahnya. Aku dan ibu harus bersusah payah mempelajari dan menghafal rute baru
jika ingin tetap makan dari sana.
Gerobak
keripik singkong yang letaknya di depan gedung tempat les bahasa Inggris saat
aku kecil dulu, kini menjual sebungkus singkong goreng tipis sebesar enam ribu
rupiah. Sudah naik seribu rupiah dari terakhir kali kamu mampir. Tahu bulat
yang biasanya berkeliling tiap sore di kompleks juga tak lagi lewat depan
rumah, begitu pun ibu-ibu Yakult bersepeda tak lagi berkunjung ke rumah kita
untuk menawarkan jualannya.
Perubahan-perubahan
kecil ini diikuti juga oleh yang besar-besar, asal kamu tahu. Giant akhir Juli
nanti dikabarkan akan tutup total. Padahal, kita belum sempat belanja bulanan
terakhir kalinya di sana. Orang yang selama ini membuatmu menggerutu di depan
televisi, Menteri Kesehatan kita, sudah dicopot dan berganti orang. Aku belum
sempat bertanya padamu bagaimana pendapatmu mengenai sosok baru ini, tapi kamu sudah
memilih pergi terlebih dulu.
Oh,
ada lagi. Sinetron yang sering kita tonton sebelum tidur juga sudah tamat.
Beberapa tokoh antagonisnya berubah menjadi baik sebelum berakhir bahagia.
Tokoh utama hidup damai dengan keluarga besarnya. Aku menontonnya sampai
selesai untukmu.
Di
samping itu semua, banyak kabar dari teman-temanku dan kamu yang juga berubah.
Walau orang-orang bilang bukan ‘kabar perubahan’ melainkan ‘kabar terbaru’,
buatku tetap saja yang baru mengandung ubah. Ibu dari salah satu sahabat
sekolahku meninggal. Bapak penjual nasi uduk yang tidak terlalu kamu sukai
dagangannya karena menurutmu terlampau mahal untuk nasi uduk topping
jengkol seharga lima belas sampai delapan belas ribu, juga meninggal. Tetangga seberang
rumah kita lebih sering menutup pagar pintu dibanding membukanya semenjak tahu
kamu tak akan lagi berkunjung.
Sampai
di sini dulu cicilan kabar perubahan yang kusampaikan padamu. Satu per satu agar kamu
tidak terkejut betapa banyak yang berganti ketika kamu pergi dan aku masih di
sini. Jangan tanya bagaimana rasanya menyaksikan perubahan-perubahan yang
(lagi-lagi) kata orang, membentuk denyut kehidupan, tanpa kamu bersamaku. Sebab,
apa yang berada di kedalamanku juga telah berubah.
Ada sisa-sisa kesedihan yang seberapa keras pun aku berusaha mengeluarkannya tetap saja gagal karena sudah mendekam di dada dan menjadi batu. Ini perubahan yang pasti dan abadi sejak kamu pergi.
Tangerang,
15.48 pm
0 Comments:
Post a Comment