Pagi ini kau bangun seperti biasa. Boneka Santa Claus masih tiga dan berbaris rapi di pinggir ranjang. Ibu sudah sibuk di dapur merebus sup sayur katuk seperti pesannya kemarin. Gorden kamar yang belum dibuka. Ponsel di samping bantal. Dan, kau masih bernapas. Semua baik-baik saja, tapi mengapa rasanya ada yang salah?
Sumber foto: Favim |
Tanpa
membasuh tubuh, kau mengambil jaket panjang berukuran besar dan memutuskan ke
luar rumah begitu saja. Kaubilang pada ibu mau memberi makan kucing kompleks
seperti yang sudah-sudah, padahal tidak kaubawa apapun di kantong.
Kau
hanya berjalan dalam diam sepanjang pagi menuju siang. Di persimpangan
kompleks, kau berhenti untuk duduk di bahu jalan yang sudah dibangun dengan bata
bersemen tinggi yang kokoh. Lalu, kau mulai menggugat banyak hal.
“Menurutku, konsep kematian sangat tidak adil. Kita bukan hanya tidak tahu kapan mati, tapi juga tidak pernah tahu kabar seseorang yang sudah tiada. Apa yang dilakukannnya sekarang? Bagaimana kabarnya?”
Kau
tak henti-hentinya menatap langit yang kata kau lebih mampu menyimpan rahasia daripada
buku harian bergembok. Atau lebih tepatnya karena kau menganggap langit adalah
nisan paling tepat bagi orang-orang yang meninggal, karena bukankah katanya
masuk surga?
Kau
masih gelisah.
“Kau tahu apa yang paling terasa tidak benar setelah kau kehilangan seseorang? Dunia di sekelilingmu berjalan seperti tidak terjadi apa-apa, sementara dunia di kedalaman dirimu hancur berantakan. Seolah-olah semesta tidak berduka atas apa yang menimpamu.”
Kau
terdiam. Lama sekali sampai kukira kau tidak ada di sampingku. Lalu tiba-tiba kau
mulai menangis.
“Saat ia pergi, baru kusadari rutinitas adalah bukti konsistensi darinya. Bukan bentuk kebosanan yang kukeluhkan. Bagaimana harus kujelaskan ini? Penyesalan?”
“Aku lebih suka menyebutnya kerinduan,” ujarku pada akhirnya.
“Kupikir Tuhan punya konsep kematian yang adil. Kita tidak diberi tahu kapan kita mati untuk menghargai siapa yang masih kita miliki hari ini. Kita tidak diberi tahu bagaimana kabar ia yang sudah berpulang agar kita tidak hidup dengan terus menoleh ke belakang.”
“Bumi masih berputar, fajar masih terbit, senja masih terbenam, bulan masih menjadi sabit dan kemudian Kembali purnama. Semesta berjalan semestinya untuk memberi tahu jika hidup kita masih perlu berlanjut.”
Tiba-tiba
kau beranjak. Tidak menghirauku, berjalan begitu saja…
menembus tubuhku.
Saat itulah kulihat para malaikat bernyanyi tapi tidak ada satupun
yang terdengar oleh telingaku.
0 Comments:
Post a Comment