Bagaimana aku menerima kabar kematianmu? Kira-kira
seperti ini: aku pergi tidur sekitar pukul setengah satu subuh dan memimpikan
lorong rumah sakit dengan banyangan hitam yang mengejarku tanpa ampun, lalu aku
terbangun untuk pergi ke toilet sejenak, kembali lelap untuk satu jam penuh
kegelisahan, dan suara-suara asing memanggil namaku dari depan rumah. Katanya,
kau sudah tiada. Begitu saja.
Saat itu, seluruh tubuhku berteriak – kencang sekali.
Dadaku berdentum begitu hebat karena mendadak ada air bah yang memenuhiku
begitu cepat. Kupanggil terus namamu hingga setengah jam lamanya dan ibu membiarkanku
sembari menelepon keluarga yang tidak mau mengangkat panggilan pada pagi buta. Diam-diam
aku mengirim pesan singkat dan menelepon nomor ponselmu, tapi tidak pernah ada
jawaban bahkan sampai hari ini. Kau benar-benar sudah pergi dan membikin rahasia
dengan Tuhan perihal kabarmu yang tak boleh kutahu.
Sumber foto: Tumblr |
Bagaimana aku menemanimu pada hari-hari istirahatmu? Aku menyaksikanmu dimandikan dan dipakaikan baju khas Cina berwarna biru seharga jutaan rupiah. Pakaian bagus yang bahkan tak pernah kau pikirkan akan kenakan pada hari Imlek sekalipun. Aku mengelilingi tempat tidur terakhirmu, membaringkanmu bersama pakaian-pakaian favorit yang sering kau gunakan setiap hari, menaburi bunga dan wewangian. Teringat sekitar dua minggu lalu sebelum hari itu, kita berbelanja bersama ke minimarket dekat rumah dan kau minta dibelikan parfum yang tak jadi kubelikan karena kupikir belum akan kau pakai selama di rumah saja. Dan aku –
…hidup dalam pengandaian dan penyesalan tanggung. Aku bermain dengan segala kemungkinan yang memenuhi kepala bahwa bisa saja kamu hanya pergi ke luar kota sebentar dan akan pulang tahun depan. Namun, ingatan tentang aku yang duduk di perahu cepat dan membawamu dalam guci ke tengah laut seketika menelanku hingga aku lupa cara menjalani hari ini.
Bagaimana aku melanjutkan hidup tanpamu? Hari keempat
atau kelima, ibu pergi membeli nasi goreng ke gerobak makanan langgananmu yang berada
di depan vihara. Dari penjualnya, ibu ceritakan jika Minggu sore kau datang ke
sana. Katanya membeli sebungkus kwetiau, bahkan kau sempat mengirim pesan
singkat pada penjualnya yang bertanya apakah gerobaknya sudah buka.
Bahkan ketika kau sudah tiada kau masih bisa pulang hanya sekadar membeli sebungkus makan malam seperti biasa untukku. Tak tahukah saat kau sedang beli kwetiau, aku pun serupa: sedang menyiapkan buah-buah dan kue-kuean di rumah duka untukmu. Selamat jalan dan pulang, Papa. Lenganku selalu terbuka menyambutmu dengan penuh.
29.12.20 – 15.00
Tangerang
0 Comments:
Post a Comment