Ruang pleno di kantor Dewan
Kesenian Jakarta, Sabtu (14/7) pagi itu sudah cukup ramai ketika aku sampai.
Hampir setengah dari total peserta terpilih kelas penulisan sastra anak telah
mengambil bangku masing-masing mengitari meja kelas, tak terkecuali aku.
Sembari menunggu Mbak Redagaudiamo yang masih menikmati kopi pagi Cikini, kami
menyimak obrolan santai dengan komite sastra DKJ, Mbak Aini Sani Hutasoit dan
Paman Yusi Avianto Pareanom. Dari mereka, diketahui jika kelas sastra anak DKJ
baru memasuki tahun kedua dengan tanggapan yang begitu baik dari masyarakat
sejak pembukaannya, yang mana pesertanya selalu mencapai angka ratusan tiap
tahun. Bahkan di tahun pertama, DKJ menerima aplikasi hingga 400-an pendaftar. Mendadak,
kurasa bangga sekali bisa terpilih untuk duduk dan belajar di ruang pleno pagi
itu.
Oleh Mbak Aini juga,
disampaikan alasan diadakannya kelas sastra anak,
“Sudah sejak lama DKJ fokus dengan sastra dewasa. Sampai kemudian kami menyadari sastra anak tak kalah penting eksistensinya dengan sastra dewasa. Belum lagi ditambah kegelisahan kami melihat anak-anak nusantara lebih mengingat karakter-karakter cerita anak dari luar Indonesia, dibanding yang dalam negeri. Untuk itu, kelas ini diadakan dengan harapan bisa membangkitkan semangat kepenulisan kreatif cerita anak dan memunculkan buku-buku anak ikonik untuk anak-anak Indonesia.”
Banyak dari kami pun
mengakuinya. Kuingat ketika kukecil dulu, yang kujagokan adalah tokoh-tokoh
heroik dan konyol dari komik maupun cerita rakyat yang difilmkan, yang berasal
dari luar. Bahkan tontonan animasi anak pada tiap minggunya dibombardir dengan
cerita-cerita anak dari beragam negara, yang mana porsinya dari dalam negerti
sangatlah sedikit. Atau bahkan, kurang kuingat.
Hal serupa juga ditambahkan
Mbak Aini, perempuan yang hari itu mengenakan terusan batik biru muda,
mengatakan jika dulunya beliau mengikuti serial anak di salah satu media, namun
sekarang serial tersebut pun tak lagi terdengar. Menurut beliau, dunia cerita
anak khususnya di Indonesia butuh dinyalakan lewat penyegaran dan pembaruan agar
tak redup. Beliau berharap seluruh peserta kelas sastra anak baik angkatan
pertama dan sekarang, bisa keluar sebagai penulis anak unggul yang memberi warna
dan sumbangsih untuk cerita anak.
Diskusi awal sebelum kelas
menjadi hangat dan seru. Terlebih ketika salah satu peserta menyinggung
mengenai batasan cerita anak – apakah harus selalu mengandung unsur moral yang
baik-baik? Sampai di sini kami semua sepakat, cerita anak lebih dari sekadar
buku cerita moral. Walau sesungguhnya, justru batasan ‘harus bercerita
baik-baik dalam buku anak’ itulah yang mengekang kebebasan berimajinasi penulis
ketika menulis cerita anak – yang kuamini membuatku sulit sekali menulis genre
ini. Apakah kamu juga demikian?
Paman Yusi yang mendengarnya
pun menyela,
“Maka itu, jika tidak penting-penting sekali, jangan membolos kelas ini.”
Kami semua tertawa, bertepatan
dengan datangnya Mbak Reda dengan tote
bag penuh berisi koleksi buku anak yang akan dibedah hari itu. Diskusi
kecil pun usai, berganti jadi sesi sambutan sebelum kemudian bagian paling
ditunggu dimulai oleh Mbak Reda: belajar menulis cernak! Dan, apa saja yang
kudapat selama dua jam kelas intens tersebut, bisa teman-teman simak di sini.
Semoga bermanfaat!
0 Comments:
Post a Comment