Thursday, 19 July 2018

Pagi Di Ruang Pleno DKJ


Ruang pleno di kantor Dewan Kesenian Jakarta, Sabtu (14/7) pagi itu sudah cukup ramai ketika aku sampai. Hampir setengah dari total peserta terpilih kelas penulisan sastra anak telah mengambil bangku masing-masing mengitari meja kelas, tak terkecuali aku. Sembari menunggu Mbak Redagaudiamo yang masih menikmati kopi pagi Cikini, kami menyimak obrolan santai dengan komite sastra DKJ, Mbak Aini Sani Hutasoit dan Paman Yusi Avianto Pareanom. Dari mereka, diketahui jika kelas sastra anak DKJ baru memasuki tahun kedua dengan tanggapan yang begitu baik dari masyarakat sejak pembukaannya, yang mana pesertanya selalu mencapai angka ratusan tiap tahun. Bahkan di tahun pertama, DKJ menerima aplikasi hingga 400-an pendaftar. Mendadak, kurasa bangga sekali bisa terpilih untuk duduk dan belajar di ruang pleno pagi itu.
Oleh Mbak Aini juga, disampaikan alasan diadakannya kelas sastra anak, 
“Sudah sejak lama DKJ fokus dengan sastra dewasa. Sampai kemudian kami menyadari sastra anak tak kalah penting eksistensinya dengan sastra dewasa. Belum lagi ditambah kegelisahan kami melihat anak-anak nusantara lebih mengingat karakter-karakter cerita anak dari luar Indonesia, dibanding yang dalam negeri. Untuk itu, kelas ini diadakan dengan harapan bisa membangkitkan semangat kepenulisan kreatif cerita anak dan memunculkan buku-buku anak ikonik untuk anak-anak  Indonesia.”
Banyak dari kami pun mengakuinya. Kuingat ketika kukecil dulu, yang kujagokan adalah tokoh-tokoh heroik dan konyol dari komik maupun cerita rakyat yang difilmkan, yang berasal dari luar. Bahkan tontonan animasi anak pada tiap minggunya dibombardir dengan cerita-cerita anak dari beragam negara, yang mana porsinya dari dalam negerti sangatlah sedikit. Atau bahkan, kurang kuingat.
Hal serupa juga ditambahkan Mbak Aini, perempuan yang hari itu mengenakan terusan batik biru muda, mengatakan jika dulunya beliau mengikuti serial anak di salah satu media, namun sekarang serial tersebut pun tak lagi terdengar. Menurut beliau, dunia cerita anak khususnya di Indonesia butuh dinyalakan lewat penyegaran dan pembaruan agar tak redup. Beliau berharap seluruh peserta kelas sastra anak baik angkatan pertama dan sekarang, bisa keluar sebagai penulis anak unggul yang memberi warna dan sumbangsih untuk cerita anak.
Diskusi awal sebelum kelas menjadi hangat dan seru. Terlebih ketika salah satu peserta menyinggung mengenai batasan cerita anak – apakah harus selalu mengandung unsur moral yang baik-baik? Sampai di sini kami semua sepakat, cerita anak lebih dari sekadar buku cerita moral. Walau sesungguhnya, justru batasan ‘harus bercerita baik-baik dalam buku anak’ itulah yang mengekang kebebasan berimajinasi penulis ketika menulis cerita anak – yang kuamini membuatku sulit sekali menulis genre ini. Apakah kamu juga demikian?
Paman Yusi yang mendengarnya pun menyela, 
“Maka itu, jika tidak penting-penting sekali, jangan membolos kelas ini.”
Kami semua tertawa, bertepatan dengan datangnya Mbak Reda dengan tote bag penuh berisi koleksi buku anak yang akan dibedah hari itu. Diskusi kecil pun usai, berganti jadi sesi sambutan sebelum kemudian bagian paling ditunggu dimulai oleh Mbak Reda: belajar menulis cernak! Dan, apa saja yang kudapat selama dua jam kelas intens tersebut, bisa teman-teman simak di sini. Semoga bermanfaat!

This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment