Thursday, 19 July 2018

ACOTAR: Pilihan Segar untuk Pecinta Serial Romance-Fantasy

Judul               : A Court of Thorn and Roses (ACOTAR)
Pengarang       : Sarah J. Maas
Tebal Buku      : 587 halaman
Penerbit           : Bhuana Sastra (imprint Bhuana Ilmu Populer Gramedia)
Tahun Terbit    : Februari 2018


Beberapa hari lalu dikirim buku ini oleh BIP Gramedia untuk kubaca dan kuulas. Ini perkenalan pertamaku dengan series-seriesnya Sarah J. Maas, setelah penasaran melihat buku-bukunya berseliweran pada foto-foto apik bookstagammer Indonesia. Seusai menyelaminya, aku punya beberapa poin ulasan buat novel yang pernah masuk nominasi Goodreads Choice Award for Fantasy and Sci-Fi 2015 ini.
Novel ini mengadopsi ulang cerita Beauty and The Beast yang diramu dengan aksi heroine ala Katniss Everdeen (terutama pembuka ceritanya, langsung mengingatkanku pada Katnis) dan karakter kisah percintaannya kental akan gaya saga Twilight. Tapi dieksekusi dengan segar dan menarik.
Sekitar seperempat cerita, khususnya pendekatan antara Feyre dan Tamlin cukup berjalan lambat – tapi buatku sendiri, tidak sampai membuatku lelah. Karena kupikir ini perlu agar tidak terjadi ‘instant love’, terlebih ketika Feyre diatur sejak awal membenci dunia peri, serta ini kupandang sebagai cara Maas menjelaskan keadaan dunia peri. Terutama juga, ada petunjuk-petunjuk yang disebar sepanjang cerita yang akhirnya terjawab menjelang ending.
Ada adegan yang kontroversial, mengingatkanku pada sekte yang memang punya ritual ini: melakukan persenggamaan untuk kesuburan tanah peri tiap tahunnya. Baiklah, adegan ini sedikit buatku mengerutkan dahi.

Bagian paling kusuka dari novel ini adalah saat bab sudah menyentuh halaman 300-an ke atas: ketika adegan demi adegan sudah cukup membuat tegang, rahasia sihir yang melingkupi dunia peri terungkap serta kenekadan Feyre ke Kaki Gunung untuk melawan Amarantha, dan menyelematkan Prythian (juga tentunya, Tamlin). Tokoh antagonisnya buatku sukses dibawakan Maas dengan baik.
Kuakui Maas punya kemampuan deskripsi yang mendetil dan imajinasi nan luas. Karakter yang dibangun cukup kuat walau buatku masih terbayang-bayang Beast x Edward Cullen dalam karakter lelakinya.
Awalnya jatuh cinta dengan Tamlin, tapi saat menjelang akhir, Ryhsand lebih mempesona (yang buas-buas memang bikin tertarik, tapi yang misterius dan gelap justru lebih menantang dijelajahi #uhuk).
Dari segi fisik buku, BIPGramedia memberikan jenis dan ukuran font yang pas untuk dibaca mata, serta terjemahan yang enak dibaca (sebab kutahu ini tidak mudah, yang menerjemahkannya perlu paham plot pikir Maas). Walau masih kutemukan tiga typo dalam buku ini.
Kalau kita dasarnya suka roman dengan bumbu fantasi, kupikir novel ini akan cocok buat kita – menemukan karakter idola baru, menyelami kisah cinta dua dunia seraya terhanyut dalam petualangan fantasinya satu persatu.
Simpulannya, buku ini layak diberi kesempatan untuk dibaca sampai habis dan ditunggu seri kedua dan ketiganya.
Bintang? 3,8 dari 5
Aku merekomendasikannya!
Selamat jatuh cinta pada Tamlin dan Rhysand! 




0 Comments:

Post a Comment