in memoriam of Miki Moppy |
Lalu diikuti percakapan-percakapan seolah Miki masih ada, kemudian diiringi penyesuaian untuk kebiasaan-kebiasaan yang mendadak lenyap. Lenggang ada di mana-mana, dan rasanya jadi ganjil yang menyiksa.
Ingatan akan Miki yang menyambutku pulang
dari festival jajanan, yang berbau napas pagi tapi masih dengan percaya dirinya
menggonggong meminta sarapan, yang menunggui janjiku memberinya makan pisang
sehari dua kali, dan lain-lain, justru menyeretku pada kerinduan yang bergerigi
tajam – setiap merindu, sesering itu juga aku harus siap terluka.
Aku
memang punya kebiasaan membayangkan beragam versi kepergian untuk apapun yang
kucintai, dan kehilangan Miki dalam sebuah kecelakaan yang begitu cepat dan
tiba-tiba tak pernah ada di kepala. Kupikir ia akan pulang dalam beberapa tahun
ke depan ketika ia menua di pangkuan, namun skenario semesta (selalu) punya
garis cerita lain untuknya dan kematian sudah memilih tempat. Kepergian pada
sesuatu yang kau cintai dan sayangi tak pernah mudah dihadapi, terlebih lagi
kenangan akannya begitu dekat kau sentuh.
Aku sempat tidak tahu bagaimana cara berdiri tegak mengatakan pada kenang yang menolak menjadi sepia itu kalau aku sudah cukup penuh menerima semuanya – hingga babak belur membiru, meluka memerah darah.
Sampai kuputuskan untuk pelan-pelan
merapikan potongan dan fragmen memori yang berantakan oleh air mata dengan
menuliskannya. Sehingga kesedihan yang menumpuk di kepala menemukan tempat lain
selain dalam diriku, untuk bermuara. Maka, selama tiga hari pertama kepergian
Miki, aku kerap menuliskan ini semua – bagian-bagian dari kesedihan dan
kedukaanku, untuk kemudian kubagi bersama pada siapa pun yang ingin memeluk
kehilangannya bersamaku, juga sebagai caraku mengendapkannya dan memeliharanya
abadi dalam ingatan.
Selamat mendekap memori akan momen-momen singkat Miki beserta menemaniku kehilangannya. Terima kasih!
0 Comments:
Post a Comment