Malam itu, kamu mengantarku
pulang setelah hari yang panjang. Di balik kaca jendela mobil yang dikemudikan
seseorang asing buatku namun melihatmu tumbuh sedari remaja, kubilang padamu –
malam berhasil memaksa kota untuk bersalin baju. Lihatlah, gedung tua itu yang
tubuhnya retak di bawah dada dan bagian
belakang punggung, yang sesekali basah dan kupikir itu air matanya, kini samar
di bawah hitam hingga tampak berdiri utuh tanpa luka. Kamu hanya butuh
menggantunginya satu atau dua lampu oranye, ia akan terlihat seperti punya
jendela kosong yang mengajak siapapun yang menengok untuk bercerita.
Dan, sayang, malam sesekali bisa mengubahmu jadi pujangga paling romatik di kota atau para pecinta yang baru menyadari mereka jatuh cinta sambil berduka cita.
Kamu mengernyit. Wajahmu hanya
separuh di mataku, dan setengahnya lagi dipinjam malam. Begitukah cara langit
gelap menyentuhmu? Merebutmu sebagian, dan sisanya adalah tebakan-tebakan penuh
kerinduan. Mari berhenti sejenak, sampai di sini ada hal-hal yang ingin
kuberitahu padamu.
sumber: pinterest |
Setidaknya sudah tiga kali
mereka bilang kita tidak akan berhasil. Tak ada petang untuk malamku dan
siangmu – jembatan itu terlihat terbakar. Dan kamu tertawa ketika aku membalas,
ciuman panas memang bisa membakar apa-apa yang di sekitar. Kita sama-sama
memahami jika aku tak percaya ramalan – satu-satunya alasan aku terus menulis
tentang kita, karena aku tahu aku bisa menciptakan dan menyusun akhir cerita
kita sendiri. Namun di luar itu, kamu harus percaya apa yang muncul di kepalaku
setiap selesai kubisikkan selamat menghitung domba sebelum tidur; aku punya
kebiasaan menolak lelap karena belakangan ini ide-ide perpisahan kita hadir
timbul tenggelam, dan semakin hari terasa kian nyata.
Kamu berdiri di ujung fajar
mengenakan kaus yang kubilang berbau seperti jahe atau jamu dengan celana hitam
favoritmu yang kamu pilih saat kutemani, dan aku minum teh beraroma sitrus
seraya menunggu senja menurunkan diri – sayang, orang-orang melihat kita
sebagai gambaran untuk suatu yang pasti dan lupa kalau terbit dan benam tak
pernah bertemu dan punya cerita soal kebersamaan menjalani hari. Aku takut,
kita terlampau begitu berbeda hingga jalan kamu dan aku hanya saling menabrak
dan meninggalkan bekas-bekas yang membiru; kita saling mencintai sambil melukai
satu sama lain. Atau terlalu sama, sampai kita hidup terus bersisian, jalan
berdampingan, dan lupa kalau kisah butuh ujung yang berlawanan untuk sampai di
satu titik yang mereka sebut: pertemuan dan kepulangan. Aku sangsi kita punya
itu.
Kamu pergi jauh. Kamu bilang untuk mengisi rentang kekosongan karena aku memintamu menunggu dan kamu memilih menantinya di sana. Dan kita memakai jargon-jargon manis yang dijual iklan benda-benda lucu hadiah valentine seperti pakaian sehari-hari untuk menutupi kesalah yang kamu dan aku rajut bersama. Kita mengenakannya untuk memaafkan satu sama lain atau bahkan: diri sendiri. Karena mungkin saja, aku lalai mencintaimu dengan benar, dan kamu lelah menjalaninya.
Mari kuucapkan lebih nyaring:
aku bermimpi dengan mata terbuka, membayangkanmu melihat separuh dari diriku
yang kamu favoritkan di wajah orang lain. Kamu menemukan genapnya
jawaban-jawaban tergantung di dada perempuan yang kamu temui setelah aku, di
depan toko roti tempat biasa kamu pulang berkantor. Kamu berada di atasku dan
aku menciumi rasa vanilla asing yang sebelumnya tak pernah kutemui di bibirmu.
Kamu lupa caranya menunggu karena denganku terasa selalu dalam waktu tunggu.
Dan, aku menemukan selama ini kita menyimpan kematian-kematian kecil, hanya
saja aku dan kamu sanggup membelah diri jadi banyak dan mulai lagi dari awal.
Sayang, lambat laun tampak seperti rasa rindu yang terus menggigil dan aku kehilangan tubuhmu untuk menyelimutiku, jadi dingin itu terus menusuk dan perlahan aku mati. Atau mungkin tubuhmu ada di sini, hanya saja juga mengigil, rasanya sama: dingin – dan kita sampai pada persimpangan, salju sudah menebal, cuaca terus menimbun es, dan matahari menolak terbit, lalu aku pun menyadari kita sudah tidak ingat lagi cara memakai korek api.
Aku bangkit dari kasur –
kulirik weker digital di atas nakas kamar: sudah pukul tiga. Pagi masih
kehilangan penglihatannya dan kudengar suara pentung dari pos ronda menyelip di
antara dengkuran. Aku tak bisa tidur kemarin, lalu kutelepon kamu yang dijawab
dengan seperempat nyawa. Kira-kira seperti ini percakapan kita.
“Bolehkah aku bertanya
sesuatu?”
“Untukmu
boleh apa saja.”
“Setiap
kali kita mengucap selamat tidur, mengapa terasa seperti kecupan perpisahan?”*
--
*percakapan ini dinukil dan
diterjemahkan dari puisi ‘Souls/Jiwa’ karya Lang Leav
0 Comments:
Post a Comment