Aku duduk di ujung kasur,
bersebelahan dengan jendela berkaca buram akibat embun dan sisa rintik gerimis
yang mengering di sana tanpa sempat kubersihkan. Kulempar ponsel ke atas nakas
dan mematikan koneksi jaringan. Terlampau banyak mulut-mulut yang berebut
mengambil tempat, sedangkan layar ponselku tak pernah punya cukup ruang –
alhasil mereka menempeli sekujur tubuhku lalu menelanjanginya, lantas membuat
siapapun berpikir: kamu tidak lagi butuh tayangan infotainment ketika sudah memiliki media sosial. Kamu dan aku bisa
kapan pun naik panggung. Ponsel itu masih bergetar. Aku beranjak.
sumber foto: wisegag.com |
Belakangan aku merasa
berantakan, seperti ada bagian dari kedalaman yang tak pernah rapi walau sudah
disusun berulang kali. Kehilangan masih mengisi segar di rongga dadaku. Dua
proyek yang menungguku masih berdebu di atas meja kerja. Panggilan-panggilan
mulai berhenti kujawab. Ajakan bertemu pelan-pelan kutepis. Janji-janji yang kubiarkan berserakan dan tak kutepati. Aku mendongakkan
kepalaku – kembang api di mana-mana, tahun baru sebentar lagi menyapa hai,
namun aku selalu merasa bagai dipeluk selamat tinggal. Aku terbayang seseorang
dengan busa kopi yang tidak sengaja tertinggal di pucuk hidungnya. Kemudian,
aku memeluk pulang diri sendiri.
Sudah lebih dari tiga bulan
aku menghentikan kebiasaan membaca puisi keras-keras pada seperempat malam –
salah satu caraku memberi terapi pada bagian-bagian dari diriku yang menolak
damai. Tapi aku masih ingat barang satu kalimat yang bicara soal hal-hal yang
diselindung rapat orang-orang dan menyebutnya: rahasia. Katanya, ia adalah doa
yang minta diampuni dari kerinduan. Buatku, adalah sesederhana jawaban
baik-baik saja.
Semuanya terasa janggal ketika aku berdiri terlalu dekat dengan tahun yang sebentar lagi sekarat. Obituari yang terlalu cepat, kesedihan yang terasa begitu melekat, ciuman-ciuman yang berubah sepat, dan mendadak sepi begitu gaduh meminta dekat. Kamu tahu, langit malam seakan runtuh dan gelapnya begitu pekat memangsaku dari dalam. Aku lupa caranya menjadi hangat.
Aku kembali ke kamar. Menarik
selimut tidur hingga sedagu. Kuhidupkan radio peninggalan marhum kakekku.
Sepotong lagu hits dari penyayi solo laki yang kupikir seksi, melantun memecah
sepi yang tak mau menamatkan diri. Aku teringat benam senja di lantai tiga
gedung kampusku, siluet seorang pria yang duduk di bahu jendela kamar apartemen
seraya menelisik pandang pada pantulan cahaya matahari jelang petang, dan
surat-surat sore dari orang asing yang tak pernah memberikan alamat balasannya.
Aku pun terlelap, bermimpi menemukan peta harta karun yang tidak membawaku
kemana-mana.
Aku terbangun menjelang subuh – keringat memandikan tubuhku dan aku menyadari sesuatu di pinggir pagi yang masih perawan. Kau pun tahu: ini tulisan yang jumpalitan melompati pikiranku ke pikiranmu, lalu seterusnya begitu. Dan ia menikmati dirinya yang sesekali tak memiliki tujuan, sebab orang-orang sekali saja butuh tersesat untuk kemudian menemukan.
catatan
:
akhir-akhir ini aku merasa begitu berantakan, ada kegaduhan di kepalaku yang
menolak diam bersamaan dengan angka-angka tenggat yang menghantuiku tiap malam,
ditambah suara-suara orang di luar sana yang melebihi volume keras lagu dangdut
tetanggaku yang diputar hampir tiap sore, dan pada ujung hari, aku menyadari
aku berputar-putar pada kehilangan dan kesedihan yang tak kuketahui asalnya
dari mana, tapi tumbuh subur seperti kenangan buruk yang kusiram dan kupupuki terus-terusan
di belakang rumah
0 Comments:
Post a Comment