Saturday, 23 December 2017

Nikotopia dan Kenangan yang Memanjang Tentangnya

Aku sedang menunggu jajanan Taiwan temanku ketika kabar itu datang. Rasanya seperti hujan siang yang mampir tiba-tiba dan kau tak sempat mengangkat jemuran yang sebentar lagi kering. Layaknya keberangkatan seseorang yang negeri nun jauh, dan kau terlambat memberikan pelukan selamat tinggal karena itu bukan adegan film yang mana kesempatan selalu datang lebih dari dua kali. Bagai kopi yang mendingin karena tertinggal lama di meja selasar rumah dan kau lupa membawanya masuk. Lalu, setelahnya yang ada di ruang kepalamu hanya pengandaian-pengandaian.

Aku mengenalnya tepat seminggu sebelum Natal tahun lalu. Ia menghubungiku mengajak bertemu – alasannya sederhana: ia penasaran dengan tulisan-tulisanku, ingin mengenalku, dan tahu aku punya akses yang cukup dekat dengan tempat tinggalnya. Kami sempat mengobrol singkat lewat telepon dan ia bilang menyukai suaraku. Kami pun bertemu, membahas proyek yang tengah dikerjakan masing-masing serta kemungkinan untuk berkarya bersama dengan nama samaran.
Sewaktu itu, bersama sahabatnya yang juga temanku, kami bersepakat akan menulis trio: membuat sebuah novel horor yang disukai pasar, tahun depan ketika satu sama lain sudah selesai dengan kesibukan yang dipunya. Setelah diskusi hangat itu, kami jalan berbarengan menuju toko buku dan mengomentari tiap buku yang ada – sebegitu hebohnya hingga kami setuju toko buku adalah surga kecil yang membuat kami lupa sejenak tenggat-tenggat yang menghajar kami dari belakang. Ia menemaniku membeli boneka Santa dan kereta rusanya untuk hiasan Natal.
Kami pun berpisah – sebelum kemudian ia menghadiri salah satu talkshow yang menjadikanku narasumbernya. Ia paling aktif bertanya. Kuingat dulu ia pernah bilang bagaimana pun harus memiliki satu buku aku untuk dibaca, dan pada kesempatan itu aku menghadiahkannya novel pertamaku. Ia begitu bahagia sembari mengatakan akan membantuku membuat video trailer untuk buku terbaruku nanti. Dan, kudengar ia menelurkan buku antologi terbaru yang kubeli dan kujanjikan akan kuulas di blogku nanti. Ia banyak membahas cerita dibalik penulisannya serta impiannya menembus salah satu penerbit mayor. Kami saling menukar dukungan, membagikan cerita, dan mendiskusikan banyak hal. Dari kerja sama yang merepotkan dengan beberapa pihak sampai film-film yang jadi favorit dan menggairahkannya. Hingga kuingat pesan obrol kami terakhir yang saling berjanji: see us on top, Ver.

Aku membaca ulang pesan obrol itu tertanggal 30 Agustus 2017, tadi pagi sehabis bangun tidur ketika aku mendadak merindukannya dan merasa bahwa ia masih ada, dan sesekali akan mengirimiku pesan bertanya perihal novel-novel baru yang akan kutulis dan skenario yang sedang ia kerjakan. Mataku basah. Kabar itu kuterima malam kemarin saat dua teman membawakan kabar kepulangannya padaku, kemudian aku merasa malam terasa lebih panjang dari biasanya.

Seorang kawanku bilang, kawanku pergi ke toko buku siang itu dan mendadak memandangi lama sekali buku antologi yang bertuliskan nama dia. Tidak tahu apa yang mendorongnya demikian hingga kabar itu juga mampir padanya. Mungkin itu pertanda semesta, semacam bahasa alam yang mengabarkan ada seseorang yang sudah sampai rumah Tuhan hari itu.
Tak pernah terlintas sepintas saja di kepalaku akan menulis obituari yang isinya ingatan-ingatan indah tentangnya secepat ini. Temanku baru saja selesai mengambil pesanannya dan menghampiriku yang mematung di depan ponsel – berusaha mengirim pesan pada sahabat-sahabat untuk memastikan kabar itu hanya hoaks-hoaks. Namun jawaban sama kerap kuterima, ikhlaskan sebab ia sudah damai di sana.

“Ver, kamu masih mau nangis? Kita menepi aja dulu.”
“Enggak. Ia tidur damai selamanya di sana, tapi bagiku ia selalu bangun di kepala dan hati orang-orang yang mencintainya.”
“Tentu, Ver.”
“Lagipula, aku menolak ucapan selamat tinggal padanya. Untuknya: selamat jalan. Sebab ia tidak pergi meninggalkanku dan orang-orang, ia hanya sedang menempuh jalan menuju istana Tuhan lebih dulu dibanding aku dan yang lain. Sebab kematian bukan perihal kepergian dan tangisan, melainkan cara Tuhan memberi kesempatan bagi orang-orang untuk memaknai kehidupan.”

Aku dan temanku pun berjalan menelusuri pohon natal besar yang terpajang di tengah taman, menuntaskan perayaan Natal kecil yang tengah aku dan temanku nikmati sejenak. Sembari kuputar ulang kenang-kenang akannya, yang terasa tak pernah habis, sebab ia senantiasa hidup di kedalaman doa-doa dan harapan baik yang mengantarkannya pulang. Aku memanggilnya sahabatku, Kak Niko.
In Memoriam Nikotopia
22 Desember 2017
Sabbe Sankhara Anicca

1 comment:

  1. Orang baik tak pernah pergi dari hati kita meski sudah berada di dunia yang berbeda ya, Ver.

    Tahun 2017 kemarin beberapa penulis berpulang. Sediiiih rasanya :'(

    ReplyDelete