Aku sedang menunggu jajanan
Taiwan temanku ketika kabar itu datang. Rasanya seperti hujan siang yang mampir
tiba-tiba dan kau tak sempat mengangkat jemuran yang sebentar lagi kering.
Layaknya keberangkatan seseorang yang negeri nun jauh, dan kau terlambat
memberikan pelukan selamat tinggal karena itu bukan adegan film yang mana
kesempatan selalu datang lebih dari dua kali. Bagai kopi yang mendingin karena
tertinggal lama di meja selasar rumah dan kau lupa membawanya masuk. Lalu,
setelahnya yang ada di ruang kepalamu hanya pengandaian-pengandaian.
Aku mengenalnya tepat seminggu
sebelum Natal tahun lalu. Ia menghubungiku mengajak bertemu – alasannya sederhana:
ia penasaran dengan tulisan-tulisanku, ingin mengenalku, dan tahu aku punya
akses yang cukup dekat dengan tempat tinggalnya. Kami sempat mengobrol singkat
lewat telepon dan ia bilang menyukai suaraku. Kami pun bertemu, membahas proyek
yang tengah dikerjakan masing-masing serta kemungkinan untuk berkarya bersama
dengan nama samaran.
Sewaktu itu, bersama
sahabatnya yang juga temanku, kami bersepakat akan menulis trio: membuat sebuah
novel horor yang disukai pasar, tahun depan ketika satu sama lain sudah selesai
dengan kesibukan yang dipunya. Setelah diskusi hangat itu, kami jalan berbarengan
menuju toko buku dan mengomentari tiap buku yang ada – sebegitu hebohnya hingga
kami setuju toko buku adalah surga kecil yang membuat kami lupa sejenak
tenggat-tenggat yang menghajar kami dari belakang. Ia menemaniku membeli boneka
Santa dan kereta rusanya untuk hiasan Natal.
Kami pun berpisah – sebelum kemudian
ia menghadiri salah satu talkshow
yang menjadikanku narasumbernya. Ia paling aktif bertanya. Kuingat dulu ia
pernah bilang bagaimana pun harus memiliki satu buku aku untuk dibaca, dan pada
kesempatan itu aku menghadiahkannya novel pertamaku. Ia begitu bahagia sembari
mengatakan akan membantuku membuat video trailer untuk buku terbaruku nanti. Dan,
kudengar ia menelurkan buku antologi terbaru yang kubeli dan kujanjikan akan
kuulas di blogku nanti. Ia banyak membahas cerita dibalik penulisannya serta
impiannya menembus salah satu penerbit mayor. Kami saling menukar dukungan,
membagikan cerita, dan mendiskusikan banyak hal. Dari kerja sama yang
merepotkan dengan beberapa pihak sampai film-film yang jadi favorit dan
menggairahkannya. Hingga kuingat pesan obrol kami terakhir yang saling
berjanji: see us on top, Ver.
Aku membaca ulang pesan obrol itu tertanggal 30 Agustus 2017, tadi pagi sehabis bangun tidur ketika aku mendadak merindukannya dan merasa bahwa ia masih ada, dan sesekali akan mengirimiku pesan bertanya perihal novel-novel baru yang akan kutulis dan skenario yang sedang ia kerjakan. Mataku basah. Kabar itu kuterima malam kemarin saat dua teman membawakan kabar kepulangannya padaku, kemudian aku merasa malam terasa lebih panjang dari biasanya.
Seorang kawanku bilang,
kawanku pergi ke toko buku siang itu dan mendadak memandangi lama sekali buku antologi
yang bertuliskan nama dia. Tidak tahu apa yang mendorongnya demikian hingga
kabar itu juga mampir padanya. Mungkin itu pertanda semesta, semacam bahasa
alam yang mengabarkan ada seseorang yang sudah sampai rumah Tuhan hari itu.
Tak pernah terlintas sepintas
saja di kepalaku akan menulis obituari yang isinya ingatan-ingatan indah
tentangnya secepat ini. Temanku baru saja selesai mengambil pesanannya dan
menghampiriku yang mematung di depan ponsel – berusaha mengirim pesan pada
sahabat-sahabat untuk memastikan kabar itu hanya hoaks-hoaks. Namun jawaban
sama kerap kuterima, ikhlaskan sebab ia sudah damai di sana.
“Ver, kamu masih mau nangis? Kita menepi aja dulu.”“Enggak. Ia tidur damai selamanya di sana, tapi bagiku ia selalu bangun di kepala dan hati orang-orang yang mencintainya.”“Tentu, Ver.”“Lagipula, aku menolak ucapan selamat tinggal padanya. Untuknya: selamat jalan. Sebab ia tidak pergi meninggalkanku dan orang-orang, ia hanya sedang menempuh jalan menuju istana Tuhan lebih dulu dibanding aku dan yang lain. Sebab kematian bukan perihal kepergian dan tangisan, melainkan cara Tuhan memberi kesempatan bagi orang-orang untuk memaknai kehidupan.”
Aku dan temanku pun berjalan
menelusuri pohon natal besar yang terpajang di tengah taman, menuntaskan
perayaan Natal kecil yang tengah aku dan temanku nikmati sejenak. Sembari
kuputar ulang kenang-kenang akannya, yang terasa tak pernah habis, sebab ia
senantiasa hidup di kedalaman doa-doa dan harapan baik yang mengantarkannya
pulang. Aku memanggilnya sahabatku, Kak Niko.
In Memoriam Nikotopia
22 Desember 2017
Sabbe Sankhara Anicca
Sabbe Sankhara Anicca
Orang baik tak pernah pergi dari hati kita meski sudah berada di dunia yang berbeda ya, Ver.
ReplyDeleteTahun 2017 kemarin beberapa penulis berpulang. Sediiiih rasanya :'(