Diiringi
tepukan kendang dengan irama khas gamelan Bali, Eva memadukan gerak dinamis
pinggul, bahu, tangan, dan kepala dengan begitu enerjik. Melangkah ke
depan-belakang hingga samping kanan-kiri, gadis dua puluh tahun itu
berpindah-pindah membuat formasi tertentu bersama ketiga temannya. Kebaya biru
cerah bergaya khas Pasundan dengan selendang yang membaluti lengannya, Eva dan
teman-teman tampak menawan membawakan tarian di atas panggung pementasan.
Sepintas, gerakan bahu yang kerap dipakai membuat penonton menebak itu adalah
Jaipong dari Karawang. Namun jika dicermati, latar musik yang menonjolkan suara
kendang itu sekilas mengingatkan orang-orang pada tari Ketuk Tilu dari Sunda.
Nyatanya bukan.
Eva berbisik di belakangku yang tengah menikmati dokumentasi pementasan tarinya, bahwa itu adalah tari bajidor kahot. Sebuah tari yang lahir dari perkawinan Jaipongan dan Ketuk Tilu, sepenggal tari yang tercipta dari kombinasi dua kekayaan tari tradisional dua daerah Karawang-Sunda. “Bajidor Kahot adalah tari kreasi yang memadukan dua tari daerah. Ia indah sekaligus menantang. Serta tentunya, salah satu favoritku!” ujar Eva terdengar nada antusias yang menyelip pada ucapannya.
Berawal
dari Bajidor Kahot, seorang gadis
remaja bernama lengkap Eva Novira Afiati akhirnya bercerita banyak perihal
pekerjaannya sebagai pelatih tari daerah di Sanggar Tari Karina Enterprise. Ia tuturkan
bagaimana tari tradisional dari daerah-daerah memberi cermin akan kekayaan
Nusantara, serta berbagi pandangan mengenai eksistensinya di tengah modernitas
zaman.
Menemukan Diri Sendiri dalam
Jaipong
“Sudah sekitar empat tahun aku
gabung di Sanggar Tari Karina sebagai pelatih Jaipongan. Aku enggak serta-merta
terjun begitu saja ke profesi ini, perjalanannya panjang. Kalau dibilang suka
dengan tari tradisional, sudah dari SMP aku tertarik. Cuman, belum benar-benar
ngelirik. Bahkan dulunya aku itu lebih fokus modern dance, sebelum akhirnya aku nyoba tari daerah dan nemuin
kalau passion aku di sini. Aku pun jatuh
cinta dan memilih serius menggelutinya lebih dari sekadar peserta ekskul
sekolah,” buka gadis kelahiran Wonogiri itu.
Eva dengan kostum tari Jaipong (foto: dok.pribadi) |
Berkat keseriusannya itu, semasa
sekolah ia kerap meraih juara satu diberbagai perlombaan tari bersama timnya.
Mulai dari juara satu FLS2N tingkat Kabupaten Tangerang tahun 2011 dan 2013
sampai meraih peringkat pertama di ajang perlombaan opening BFI Finance 2015. Melihat
prestasi Eva, sekolahnya pun merekomendasikannya untuk bergabung di sanggar
tari Karina Enterprise binaan pemerintah daerah Kabupaten Tangerang. Ia pun
dipercaya melatih tari tradisional Jaipong setiap akhir pekan dengan durasi
kurang lebih dua jam setiap pertemuannya. Sekarang ini, sudah ada sekitar empat
puluh anak muda yang menjadi murid tetap Eva.
Ia pun mengakui, memperkenalkan dan
mengajar anak-anak tiap minggunya bukan perkara mudah. Bahkan sangat
melelahkan, karena tantangan terbesarnya tidak hanya membawakan
gerakan-gerakan, tapi juga mencari tim gamelan yang bisa memainkan aransemen
musik Jaipongan yang apik nan sesuai dengan tarian. Namun Eva menolak menyerah,
ia melihat Sanggar Tari Karina adalah surga kecil yang memberi cermin akan
kekayaan tari dari Indonesia. Maka ia akan berjuang mempertahankannya,
menyuburkannya, dan melestarikan apa yang ada di dalamnya sebagai hadiah
sederhananya bagi budaya Nusantara di tengah gerusan modernitas era milenial.
“Jaipongan bukan hanya soal gerak, tapi juga musik. Jaipongan adalah hasil harmoni dari keduanya. Dan, dalam menyajikannya aku dan teman-teman enggak mau setengah-setengah. Biasanya aku dan senior-senior akan saling bantu, jadi walaupun capek enggak akan kerasa banget. Mungkin itu juga salah satu alasannya aku bertahan. Jaipong bukan cuma tempatku jadi diri sendiri, tapi juga wadah aku menemukan teman sebagai saudara, dan sahabat sebagai keluarga kedua.”
Tari Modern vs Tari Tradisional
Bicara jauh soal profesi Eva sebagai
pelatih Jaipong, Eva mengaku jika mengajak anak-anak milenial sekarang untuk
belajar tari daerah adalah pekerjaan rumah yang perlu diberi perhatian. Ia
mudah sekaligus menyulitkan. Mudah di satu sisi dikarenakan masih banyak
lingkungan yang kental dengan kebudayaan daerah, sehingga orang tua dan
sekolah-sekolah mendukung untuk mendorong anak-anak yang ada belajar tari
tradisional. Sementara itu, kesulitannya terletak pada anak-anak itu sendiri
yang kerap dikendalikan oleh mood
instan dan lebih tertarik belajar cover
dance Barat maupun Asia Timur. Eva sendiri sesungguhnya memahami hal itu.
Mengingat ia sendiri dulunya pernah menyemplungkan diri pada dunia tari modern
sebelum memutuskan serius memelajari tari daerah bukan untuk hobi saja tapi
juga pelestarian budaya.
“Pada dasarnya mengapa modern dance lebih menarik perhatian anak-anak remaja, karena musiknya mudah untuk di mix and match, diaransemen ulang sesuai keinginan dan gaya. Beat musik modern pun lebih ramah dengan telinga remaja-remaja. Berbeda dengan tari tradisional, yang kerap memiliki pakem-pakem tertentu baik dari segi musik maupun gerakannya,” papar perempuan yang mengidolakan Didik Nini Thowok ini.
Namun Eva secara tegas mengatakan
jika alasan tersebut tetap tak bisa dijadikan dasar untuk meninggalkan tari
tradisional. Kalau dibilang kurang menarik, Eva bisa memberikan segudang alasan
bahwa tari daerah tidak kalah keren. Contohnya Jaipong, salah satu tari daerah
tersebut memiliki beragam gerakan yang bisa dipilih dan tidak akan membosankan.
Bahkan Jaipong telah mengalami perkembangan sesuai zamannya. Jika dulu Jaipong
lebih sering dipentaskan buat upacara-upacara hingga terkesan kaku, sekarang
sudah ada Jaipong Ronggeng. Ialah jenis Jaipong yang lebih modern dan sengaja
dipentaskan untuk hiburan. Belum lagi tiap pelatih Jaipong biasanya memasukkan
sendiri kreasi dan ciri khas mereka ke dalamnya, membuat Jaipong punya tampilan
berbeda-beda di panggung. Di titik inilah, Jaipong sebenarnya luwes dengan
zaman. Eva pun menantang anak remaja sekarang untuk membuat cover dance Jaipong kreasi sendiri.
“Aku marah kalau ditanya ‘apakah tari tradisional akan eksis hingga ke depannya?’. Pertanyaan itu seakan mendesak kita untuk menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’. Padahal bukan kedua itu jawabannya. Buatku, bukan perkara tidak akan eksis atau bakal eksis, melainkan memang ‘HARUS’ eksis. Karenanya ini jadi peer kita bersama, menjadikan pelestarian budaya bukan sebagai pilihan tapi kewajiban. Sekaya apa pun budaya Nusantara akan lenyap jika tak ada yang menjaganya tetap lestari. Ini memang ajakan klasik, tapi akan selalu relevan: kalau bukan kita, siapa lagi?” tandas Eva, tegas.
Tidak Ada Penari yang Gagal
Berkenaan dengan semangat Eva untuk
menjaga eksistensi tari daerah, Eva tidak hanya mengabdikan diri menjadi
pelatih tari Jaipong. Ia bersama teman-teman di Sanggar Tari Karina juga aktif
pergi mengunjungi sekolah-sekolah untuk menawarkan pembukaan ekskul tari daerah
bagi sekolah yang belum memilikinya. Di tengah giatnya Eva mengenalkan tari
daerah pada anak-anak milenial lewat jalur sekolah dan sanggar, membuat Eva
menemukan banyak fakta penuh kejutan.
Eva bersama
teman-temannya ketika membawakan tari Jaipong untuk pembukaan rapat besar suatu
perusahaannya (foto: dok.pri)
|
“Kupikir salah satu penyebab tari daerah sulit menjadi tren di kalangan milenial karena kita kurang melihat tari daerah sebagai budaya bersama untuk diperjuangkan kehadirannya. Misalkan, aku masih banyak menemui sekolah yang menolak menyediakan ekskul tari daerah, alasannya macam-macam termasuk tidak ingin menyediakan dana tambahan. Ini fakta menyedihkan. Solusinya, pemerintah bisa mengeluarkan peraturan pada sekolah-sekolah untuk mewajibkan adanya ekskul ini dan harus mengalokasikan dananya. Itu dari segi lingkungannya, harus mewadahi dan kondusif. Lalu untuk anak-anaknya, kita bisa memperbanyak kompetisi bertemakan tari daerah, sehingga mereka bisa tertarik untuk belajar demi ikut lomba. Tentunya juga dengan melakukan promosi besar-besaran akan tari daerah, untuk mengubah stigma bahwa tari tradisional itu kuno nan sulit jadi keren dan mudah,” tutur mahasiswa semester satu jurusan manajemen di STIE ISM itu.
Bagi Eva, orang-orang yang
mengatakan tari daerah itu sulit, adalah orang-orang yang malas mencoba. Tidak
ada yang sulit, hanya mereka yang tidak membangun niat untuk itu. Oleh
karenanya, Eva kerap menyuarakan pada anak didiknya bahwa tak ada penari yang
gagal ataupun jelek tariannya. Semuanya tergantung seberapa besar kita menaruh
ketulusan untuk memelajarinya dan membawakannya. Ia juga berpesan, sebelum
menari yang harus dipersiapkan dan dipikirkan bukan hanya soal gerakan yang
sudah dihafal, melainkan juga apakah hati, niat, dan mood sudah benar-benar ada
di sana? Jika iya, ingin menggeluti tari daerah atau budaya tradisional apa
pun, pasti bisa. Karena apa saja yang berangkat dari hati selalu berbuah
keajaiban. Sebab apa pun yang berawal untuk persembahan bagi negara tercinta
Indonesia, pasti selalu ada jalannya.
Waktu sudah menunjukkan setegah tiga
siang ketika akhirnya kami mengakhiri obrolan sarat inspirasi itu. Sebelum
benar-benar pamit, kusempatkan diri mengatakan pada Eva jika Indonesia butuh
anak muda milenial seperti dirinya. Bahwa di tengah maraknya berita mengenai
pencaplokan budaya negeri oleh tetangga, serta kepunahan-kepunahan budaya di
pelosok Nusantara, sebenarnya Indonesia masih punya harapan. Jadi ketika
ditanya apakah budaya tradisional masih punya tempat di hati generasi milenial?
Masih. Kehadiran remaja seperti Eva sudah membuktikannya.
Maka,
selama harapan itu ada dan kerap dipelihara oleh anak-anak muda layaknya Eva,
kekayaan budaya tradisional Indonesia niscahya terawat dan terjaga. Kita hanya
butuh mulai dari diri sendiri, sekarang, saat ini juga demi hari esok dan masa
depan panjang Indonesia nanti.(*)
--
*artikel ini keluar sebagai juara 1 lomba menulis feature dalam ajang Festival Budaya Nusantara UMN 2017
*terima kasih untuk Eva, yang sudah meluangkan waktunya untuk kuwawancara demi keperluan artikel, serta untuk Ghea Chyntia yang membantu mencarikan kontak Sanggar Tari dan narsum yang kubutuhkan
0 Comments:
Post a Comment