Belakangan ini sejak sebulanan
lalu, aku menua di sepanjang Slipi-Tanah Tinggi. Aku menggantung kepulanganku
pada halte berlantai seng kotor, tempat kucing-kucing liar memilih tidur seraya
menciumi tas orang-orang yang sekiranya cukup iba untuk memberi mereka makan. Aku
meletakkan keberangkatanku pada halte setengah jadi, tempat bus-bus kosong menunggu
orang-orang menemani kesepian di dalamnya. Lalu hampir setiap hari aku
melakukan perjalanan yang memanjang karena kemacetan, yang memendek oleh
pikiran-pikiran yang mampir mengajak bicara. Sesekali bentuknya pertanyaan yang
mendesak dicari jawabannya di antara desak orang yang bersikeras masuk walau
tubuh bus sudah begitu penuh, decak orang yang tak dapat bangku, depak orang
yang meminta ruang lebih luas; tidak pernah mudah. Sedangkan kau dan aku tahu,
semesta punya kegemaran membubuhi tanda tanya pada banyak hal tanpa menyediakan
jawabannya.
sumber gambar: http://www.visit-petersburg.ru/ |
hampir belasan tahun, aku mengingatnya tak pernah absen dari sesal-sesal yang masih menolak hangus. bagaimana caranya bebas mengikuti hati tanpa terbawa menuju tempat aku kehilangannya?
Aku membenarkan posisi tasku
yang terasa begitu berat ketika kauberdiri di dalam kendaraan besar yang
kelelahan tapi lupa caranya istirahat di tengah kota yang tak pernah tidur.
Sesekali mencari hiburan kecil mengintipi isi pesan singkat yang dipertukarkan
orang-orang yang masih melongok layar kaca ponsel di mana dan kapan pun
sekeliling menjepitnya. Atau mencuri dengar radio yang hidup tak mampu mati pun
segan yang terputar dengan sedikit sekali daya. Atau menerka mana orang yang
berpura terlelap agar tak dipilih petugas untuk bangun memberi tempat. Tiba-tiba
saja aku teringat dia yang menggunting obituari dari kertas koran kemarin
malam, lalu mengklipingnya bagai koleksi jurnal ilmiah yang disusunnya
sedemikian rapi. Kutengok pemandangan di luar jendela yang berlari menjauhi laju bus, kautahu
sampai di titik ini aku menemukan jika manusia memiliki hobi menyimpan apa-apa
yang menyakiti mereka.
aku selalu merasa sempit, kau tahu – disesaki tanggung jawab yang sekarang meminta jadi nomor satu, kenangan-kenangan yang sudah teronggok jadi sampah sekaligus saksi atas kebodohan dulu-dulu. tapi, memikirkannya membuatku selalu cukup luas untuk memberinya tempat. bagaimana kau sanggup hidup hanya memilikinya sebagai masa lalu?
Kenek bus membelah jalan yang
dipenuhi gelantungan kepala orang dengan mata jatuh di atas layar. Berjalan tak
peduli dengan permisi yang bagai cicit tikus yang tak kedengaran sebelum akhirnya
terlindas ban mobil pada pertengahan malam. Berbicara
kemudian dengan sang supir sebelum kemudian kembali dan mengumumkan
pemberhentian bus yang berubah rute. Aku diturunkan pada halte asing yang
lenggangnya terasa ganjil. Mendadak aku lupa alamat rumahku, bagaimana cara
pulang. Dan teriakan kehilangan mendadak terdengar begitu nyaring.
dia adalah bukti aku pernah mencintai seseorang begitu dalam hingga tenggelam dan tak tahu cara berenang dengan benar agar semuanya selamat di permukaan. bagaimana kau menjalani setiap hari dengan ingatan yang terus memberi tahu kau sebenarnya adalah sudah mati?
Seseorang asing menghampiriku
dengan sepeda motornya. Dia berhenti sejenak, kupikir hendak menjemputku. Namun
tidak, dia hanya mendekat menelusuri wajah pucatku lalu bertanya, “Apa kau
baik-baik saja?”
--
*ditulis setelah membaca 'perjalanan lain menuju bulan' karya Aan Mansyur
*mengenang seorang pria yang pernah menghubungiku untuk meminta tolong agar aku bisa mengontak seseorang yang dia bilang ' pernah kucintai dengan sangat salah'.
*beberapa potong kalimat di tulisan ini pernah kuposting dalam stories media sosial aku ketika sedang menaiki bus trans dalam perjuangan pulang yang melelahkan
0 Comments:
Post a Comment