Siang itu (22/7), aku
berkesempatan untuk hadir dalam kelas menulis Expert Class yang diselenggarakan Gramedia Pustaka Utama di Jakarta
Creative Hub, sebagai rangkaian acara puncak atas kompetisi lomba menulis novel
YA & Teenlit Gramedia Writing Project angkatan 3. Salah satu permaterinya
adalah novelis laris Tere Liye. Dengan pakaian kasual santai ber-hoodie kelabu, Tere Liye memaparkan
materinya dengan penuh canda. Membuat kelasnya menjadi salah satu sesi yang
menyenangkan berisi tawa, juga pengetahuan yang bernas.
(kanan ke kiri: Aan Mansyur, Rosi L. Simamora, Tere Liye) |
Berpikir
Di Luar atau Tanpa Kotak
Buat Tere Liye, tema tulisan
bisa apa saja. Beragam dan bermacam-macam, terserah ingin berangkat dari topik
yang seperti apa. Namun kuncinya satu bagi mereka yang penulis baik: selalu
mampu menemukan sudut pandang spesial. Inilah letak perbedaan mereka yang awam
dengan kita yang ingin jadi penulis. Penulis selalu cukup peka dan kreatif
untuk berpikir beda: di luar kotak atau bahkan tanpa kotak itu sendiri. Sampai
pada penjelasan singkat dengan penuh penekanan atas ‘sudut pandang spesial’
itu, Tere Liye berhenti dan mendadak mengajak seluruh peserta untuk berlatih
membuat satu paragraf dari satu kata: hitam. Kami ditantang untuk menemukan
sudut lain yang menarik dari sebuah ‘hitam’, hanya dalam waktu kurang dari lima
menit.
Saat itu aku dengan terburu-burunya menulis, “...aku kehilangan kedua bola mataku kemarin. Setiap harinya adalah malam, dunia yang kukenal kemudian hanyalah hitam.” Begitu pula peserta lain, yang diminta membacakan hasilnya. Tanggapan Tere Liye kemudian menjadi bagian paling penting.
Menurutnya, mengapa rata-rata
memaknai hitam sebagai warna. Tere Liye bercerita, dia pernah mengisi lokakarya
di sebuah sekolah tinggi yang mana pesertanya hampir seratusan orang. Dia
melakukan tantangan kecil yang sama, dan sekitar puluhan orang bahkan hampir
sembilan puluh persennya menulis hal yang tak jauh berbeda; hitam diletakkan
sebagai warna atau makna kegelapan. Sampai kemudian dia menemukan satu anak
yang menceritakan bagaimana sepotong warna bernama hitam adalah si tukang
telat, hingga warna-warna lain memusuhinya. Itulah alasan mengapa hitam tak ada
dalam deret mejikuhibiniu-nya pelangi. Kami pun tertegun.
“Itu yang saya maksud menemukan sudut pandang spesial. Jadi, langkah pertama bagi penulis untuk mengolah ide jadi hasil yang menarik adalah sudut pandang spesial!” tegas Tere Liye sekali lagi.
suasana Jakarta Creative Hub yang hari itu jadi tempat dilaksanakannya Expert Class GWP #3 |
Penulis
x Koki
Selain hitam, Tere Liye banyak
memaparkan contoh kasus bagaimana penulis yang mampu menemukan sudut pandang
spesial dari sebuah ide, akan menemui keberhasilan menulis ceritanya. Salah
satunya adalah novel Ayat-ayat Cinta karya
H. El-Shirazy. Selama ini pola kisah romansa selalu berlatar kota metropolitan,
negara-negara Eropa dan Asia yang jadi tujuan wisata penuh keindahan. Tapi
pernahkah terpikir untuk memasukkan negara seperti Mesir, ditambahi bumbu
keagamaan dan adat yang ketat? H. El-Shirazy melakukannya. Keluar dari zona
nyaman pola cerita roman selama ini. Beliau menemukan sudut pandang spesial
yang tak didapatkan orang-orang.
“Bagi saya, pekerjaan penulis mirip dengan koki. Bahan makanan yang biasa saja bisa diolah jadi makanan lezat di tangan koki handal. Ide yang umum bisa saja dikemas jadi cerita menarik di tangan penulis yang punya sudut pandang spesial,” tutur Tere Liye sebagai penutup, lengkap dengan penekanannya di kalimat terakhir.
Sumpah keren banget kak. Sebelumnya, Hai aku Benita yg dri glorious author anniv. Aku udh baca, bagus banget. Mau tanya kak, gimana sih bikin blog kayak gini? Aku jg ada blog, tp gk bisa buat sebgs ini dgn hiasan kyk gini kak
ReplyDelete