Aku bangun dengan sebelah
tanganku terikat pada tiang ranjang. Aku mengerang – semua lelaki seperti itu:
mereka membantumu melepaskan pakaian tapi tidak menolongmu mengenakannya
kembali. Aku melepaskan diri dengan sedikit geram kesal. Saat itu subuh belum
datang, kamar masih oranye oleh penerangan lampu tidur yang hampir redup.
Ketika aku hendak beranjak, pria di sampingku menggeliat. Meraihku sekali lagi
ke dekapannya. Aku hampir siap sekali lagi ketika ia sampai di lekuk leherku
dan berbisik, dia mencintaiku. Aku
mendorongnya keras; menamparnya hingga ia benar-benar bangun. Mendadak ia
kedengaran seperti kau.
Dan kau selalu tahu: aku menolak kalimat aku cinta kau sehabis seks. Aku menolak aku cinta kau yang diucapkan tiga puluh dua kali pada enam puluh empat pasang telinga. Aku bukan tak berjuang, aku hanya menolak menahan orang yang memilih pergi.
sumber foto: tumblr |
Aku menyambar kimono malamku
dari atas lantai. Lalu berjalan menembus ruang tengah menuju teras yang dirayapi
halimun dari udara pagi yang masih perawan. Aku kedinginan dan tidak peduli.
Jalanan kompleks begitu sepi, kelenggangan di mana-mana mengambil tempat.
Perumahan yang tadinya ramai jadi terasa sangat kosong, ketika orang-orang yang
tadinya beraktivitas memilih tidur. Tadinya.
Aku meraih kotak rokok, menyalakan satu batang. Parumu sudah sembuh? Aku di sini dan tidak berubah. Aku menghisap
dalam-dalam tembakau itu, membakarnya di dalam paruku. Aku sedang mencarikannya rumah. Dia butuh aku, karenanya sekarang ini
aku akan sering ke sana menemaninya. Sesekali aku juga memberinya uang untuk
jajan sebentar. Aku berharap dia segera pulih. Sebentar lagi aku akan mengunjunginya.
Aku menghembuskan asapnya keluar dari dua lubang hidungku. Mengisapnya
lagi, dalam, sampai-sampai aku merasa siap tersedak olehnya. Andai dia diizinkan tinggal bersamaku. Kau
bagaimana? Sudah sembuh? Aku terbatuk. Kau
percaya padaku kan? Aku kembali mengisapnya, berkali-kali hingga setengah.
Lalu kubuang ke sembarang arah. Kuambil lagi sebatang, kunyalakan lagi. Kuisap
lagi dalam-dalam. Jadi kau lebih percaya
dia dibanding aku? Kau cinta aku, kau percaya aku. Aku meremas batang
tembakau yang terjepit di antara bibirku, bahkan sebelum ia setengah. Kubuang
puntung koyaknya. Kuinjak hebat hingga tak ada kepul yang menyisa.
Kepercayaan tidak diberikan, sayang. Ia dibangun. Dan kau tidak memberiku bahan-bahan untuk menjadikannya kokoh. Ia sering goyah dan aku kerap ragu.
Aku merapatkan ikatan tali kimono
di pinggangku. Rasanya belakangan ini sejak-sejak waktu, aku lebih mudah
menggigil. Mungkin ada perban yang terbuka dan lupa kututup, hingga udara mudah
masuk menusuk tulang, hingga udara mudah masuk membangun rumah di ruang kosong
di kedalaman. Udara yang dingin itu. Dan aku lupa – atau kehilangan – cara memeluk
diri sendiri. Aku menemukanmu di pesta. Dan
dia memiliki ciuman yang seharusnya hanya kita punya.
Sayang, cinta hanya sementara. Lukanya, tapi. Selamanya.
Suara derap kaki orang
terdengar dari kejauhan. Seorang pria paruh baya terlihat mengenakan celana
training, kaos polos, dan sepatu olahraga untuk lari paginya. Kulihat lagi,
seorang perempuan tua duduk di selasar di seberang rumah, mengamati si pria
paruh baya menyelesaikan putarannya. Mari
menikah. Kita bangun keluarga kecil bersama. Miliki anak lucu dan keliling
dunia. Si pria akhirnya lewat di depanku. Pandanganku mengekorinya. Kenapa selalu tidak. Apa lagi yang kau
tunggu. Lambaian tangan kecil diberikan si pria pada perempuan tua di
seberangnya. Aku tersenyum kecil.
Kita hidup dalam kemungkinan-kemungkinan, sayang. Aku takut aku hanya belum menemukan seseorang yang mampu membuatku menjawab iya.
Aku membungkus pandangan,
menundukkan kepala. Membawa langkah pergi masuk ke dalam rumah. Kau tahu apa yang lebih buruk dari
berita-berita di koran? Kita.*
--
*dikutip
dari sajak puisi karya Andi Gunawan
*tulisan
ini jadi puncakku merayakan patah hati (setiap malam yang diam-diam) selain dengan membaca puisi keras-keras,
merekamnya, lalu mendengarnya sekadar untuk menemani kesendirian yang semakin
sering mengajak bercanda ketika aku kehilangan cara tertawa
0 Comments:
Post a Comment