Friday, 4 August 2017

Langit Malam Itu Berwarna Biru

Di lahan parkir sebuah mall, aku melompati tali pembatas antara kendaraan dan ruang jalan. Tidak terlalu tinggi, bahkan tidak mencapai betis. Aku berjalan masuk ke lobi pusat perbelanjaan itu akhirnya. Rasanya tak ada yang istimewa, tapi lompatan kecil pada tali pembatas itu mengantarku pada waktu yang dulu sekali ketika masing-masing dari ujung tali dipegangi oleh dua orang teman sepermainanku. Mulai dari sebatas pinggang, dada, telinga, kepala, hingga puncak merdeka. Aku memejamkan mata, masih segar salah satu di antara mereka berteriak, ver, lo ‘kan jago, masak kayak gini harus jaldu-jalti. Kapan terakhir kau melempar kerikil ke arah jendela kamar teman tetanggamu untuk memaksanya keluar bermain? Jangan menghitungnya. Aku takut menyadari tenggat-tenggat yang menolak selesai, nyatanya telah perlahan memangsa dari belakang. Sayang, kemudian aku terkesiap. Aku rindu. 

sumber foto: teenage mess tumblr
Setelah itu, apa pun yang ditulis di sini hanyalah nostalgia.

Pulang, aku sengaja membuka pagar sedikit lebih lama. Menengok beberapa blok rumah, tempat dulunya aku berlari ke sana seusai mengerjakan peer demi memamerkan mainan baru atau meneriaki nama teman di dalam untuk mengajaknya keluar berbalap sepeda. Tapi rumah itu sudah sepi – mereka sudah pindah untuk kuliah di kota, sesekali pulang tiap akhir bulan ketika senja sudah memudar sepenuhnya, tepat ketika aku masih di jalan menempuh perjalanan pulang dari pertemuan yang menghabiskan tenaga.
Aku melangkah pelan menuju kamar, kelelahan menempeli tiap gerak tubuhku. Terus begitu, semakin lambat. 
Menyadari kenangan yang tiba-tiba jadi lebih berat: bagaimana mungkin waktu mampu menelan orang-orang sekaligus menyuburkan memori tentang mereka yang sudah lama lewat?
Aku menyandarkan punggung ke dinding, mengingat betapa kelebat kabar selain kesibukan yang menghilangkan orang-orang juga kabar-kabar pulang selamanya.
Kau datang bergabung denganku, duduk di sebelah dalam diam sebelum kau bagi juga kenangan kecilmu. Katamu kau dulu punya teman masa kecil yang buat kau jatuh cinta pertama kali, berpikir dia akan jadi sejatinya kau seperti roman novel-novel yang menjanjikan akhir bahagia. Nyatanya itu hanya ilusi yang hilang ketika kita tak lagi memperhatikannya. Kini dia sudah menikah, punya anak, dan mungkin melupakan apa yang pernah kita yakini menahun silam. Lalu kau bisikkan padaku, orang datang dan pergi, mereka yang dulu dekat kini jauh hingga tak paham bagaimana melipat jarak. Kalau begitu, kadang kala yang dibutuhkan hanya sepotong doa sederhana sebelum tidur yang berisi harapan-harapan baik buat mereka. Itu cara menyentuh mereka sekaligus mengurusi kerinduan janggal yang memuncak. 

Sejenis langkah untuk mendamaikan kecamuk nostalgia ketika janji pertemuan hanyalah berupa kemungkinan-kemungkinan.

“Sesekali aku pun suka mengenangnya; mereka yang hadir untuk menciptakan taman bermain untuk menyuapi kanak-kanak dalam diriku dulu. Ingatan-ingatan yang sudah berdebu ketika aku sedang membereskan isi kepala, tapi aku tetap memilih mereka tinggal dan menghuni ruang istimewa tersendiri di sana. Kadang kujaga dalam doa, agar semuanya baik-baik saja. Jika pun tidak, kupikir itu sudah jadi cara terbaik mendamaikan diri menghadapi kesedihan-kesedihan.”
Mulutku terkunci, seperti biasa. Aku memilih diam, membiarkan suara beratmu menyatu dengan keheningan yang merumahkan diri di setiap ruang.

“Sayang, lagipula ketika kausiap menjadikan kelebat-kelebat memori itu sebagai kenangan, itu berarti kau sudah sedia disodori kehilangan yang menyertainya.”

Tertegun. Aku bangkit. Kau membantuku. Kita kembali melangkah ke luar. Berhenti di selasar, menengok langit malam itu yang di kacamata kau dan aku berwarna biru.

1 comment: