Thursday, 29 June 2017

Merayakan Kematian

Dulu sekali, aku pernah menonton sebuah acara ajang pencarian bakat. Seorang pemuda menampilkan bagian dari dirinya yang ia rasa paling baik: suaranya. Ia nyanyikan sepotong lagu mengenai Tuhan, kedengarannya pilu. Salah satu juri tampak berkaca-kaca, ia berkomentar bahwa kepergian selalu punya nada-nada rendah yang bicara tentang kesedihan. Namun berbeda dengan rekannya yang lain, wajahnya disinggahi seri dan senyum lebar, dikatakannya mengapa orang-orang memberi makna yang menakutkan dan cenderung gelap pada kematian. Padahal, ketika siapa pun tiada, mereka punya salah satu kesempatan berharga bertemu Dia secara langsung; yang kamu dan aku yakini dan percayai sebegitu damainya selama ini. Lantas, mengapa menyambutNya dengan tangisan, ketika kamu dan aku tahu sesungguhnya salah satu di antara kita hanya pulang ke rumah lebih awal. 
foto: tumblr happy faces
Juri-juri lainnya tampak mengangguk dengan sedikit tertegun menyimak paparan kecil rekan mereka, mungkin menerima sepenggal kebenaran di sana. Aku terdiam lama sebelum akhirnya memutuskan beranjak dari layar televisi, berjalan keluar menuju selasar rumah. 
“Dibanding menyebutnya upacara, aku lebih suka menamainya pesta kematian. Tematiknya kedukaan, dengan kode busana yang menolak warna pelangi. Kau harus datang dengan lebam senja, abu mendung, dan arang malam. Ia punya kesantunan untuk dilarang tertawa. Sapaan apa kabar berganti turut berduka semoga kau kuat yang seribu kali singgah. Digelar setiap tujuh, empat puluh, hingga seratus hari. Siapapun diundang asal ia menyetok air matanya. Ini kesedihan yang begitu istimewa, lihat, ia butuh perlakuan sedemikian khusus.”


Teringat seorang teman yang begitu jauh, pernah mengirimiku pesan via Twitter menanyakan cara menghibur atau memberi kalimat-kalimat penenang bagi sahabatnya yang baru ditinggal orang terdekatnya, bukan yang biasanya, atau celetuk sembarang sahabat dekat. Kupindai pandangan ke arah ujung kompleks, lenggang – rasanya begitu tenang, tapi kamu tentu tahu, hal-hal yang damainya begitu sempurna selalu terasa ganjil. Aku memejamkan mata, terakhir menghadiri pesta yang kamu jauhi itu, mungkin sudah hampir lima tahunan yang lalu. 

Orang-orang menggelar pesta untuk menandai momen-momen yang akan disimpan jadi kenangan, untuk memori yang akan jadi berharga. Begitu juga kesedihan. Kamu dan aku punya duka yang dihormati, karenanya, ia butuh pesta.  Ia perlu hal-hal yang kamu bilang: spesial.

“Aku selalu benci pesta. Dalam riuh pesta, ada kalanya kau merasa begitu sepi di antara ramainya sorak orang-orang yang berlomba mengadu kegembiraan. Dalam senyap pesta, ada saatnya kau merasa begitu ramai di antara lenggangnya isak orang-orang yang berkompetisi mengadu tangisannya.”
Aku mendongakkan kepala. Terkesiap, rasanya aku mendapat kupu-kupu bercorak polka putih dengan sayap hitam yang lewat sekelebat saja. Apa mungkin nenek, yang menahun pergi tapi rasanya masih begitu pasti di sini. 
foto diambil dari after midnight tumblr
 Kau tidak membenci pestanya, kau hanya tidak suka pesta jenis ini datang tanpa rencana.
“Mungkinkah terlintas di benakmu, nisan dibuat bukan untuk mereka yang mati, tapi kita yang hidup? Nisan – lengkap dengan epitaf dan iringan euloginya – dibutuhkan bagi kamu dan aku di sini, sebagai monumen kenangan akan seseorang. Menegaskan jika satu-satunya hal paling buruk dari akbar pemakaman sesungguhnya bukanlah tentang kematian seseorang, tapi mereka yang memelihara kehilangan di sana. Aku tak percaya orang-orang takut kehilangan. Buktinya, mereka masih merawatnya setelah mendapatkannya, bahkan menyuburkannya; mengurung diri, berpikir membunuh kehidupannya, dan dan dan. Tak ada kehilangan yang memanjang kecuali kau merawatnya.”

Aku selalu suka bunga di pemakaman. Aku selalu jatuh cinta pada bunga di pernikahan. Kamu tahu, bunga salah satu bagian dari semesta yang menemani prolog dan epilog menjadi manusia. Ia ada ketika kamu lahir sebagai bentuk mekarnya dirimu, sekaligus hadir saat kamu pergi sebagai wujud layunya dirimu: di dunia. Bunga punya dua mata – kamu tak pernah benar-benar hanya menerimanya satu. Selayaknya: kamu kehilangan, kamu mengisi ulang. Kamu melepas, kamu ikhlas.

Ver,”
Orang-orang memiliki caranya sendiri menghadapi kesedihan. Seorang bapak di Tiongkok mengajak putrinya bermain di liang kubur yang sudah disiapkannya untuk putrinya yang sakit-sakitan. Kawan dekat menyumbangkan sekardus mie instan tiap bulannya ke masing-masing panti yang berbeda atas nama Ibunya yang sudah pulang menahun silam. Sebuah keluarga menyewa kelompok tangis untuk meraung di pemakaman. 

Kamu memilih merawatnya utuh lalu menyimpannya di bilik dalam dirimu dan memutuskan tidak akan sembuh seumur hidup.

“Bangunlah, bangkit, sayang. Tidur dan diam, hanya untuk mereka yang mati. Dan, dengan berat hati kukatakan: kamu masih hidup.”
Sayup kudengar suara televisi dimatikan, lampu dipadamkan, dan nyaring dari balik bilik kamar seorang perempuan paruh baya memanggilku masuk. Aku memutar langkah, melenyapkan diri ke dalam rumah. Mungkin seperti itu kamu dan dia. 

Kamu pulang ke rumah untuk istirahat dan berangkat kerja esok pagi, dia pulang ke rumah yang berbeda untuk istirahat dan jadi malaikat yang bertugas esok fajar. Kamu dan dia: pulang pada rumah yang berbeda. Dia hanya pindah, itu alasan kemarin kamu dan aku mengantarnya, lalu mengatakan selamat jalan alih-alih selamat tinggal.
Sebab, tak ada yang pergi.


*tulisan ini untuk mengenang sahabatku di sekolah dasar dulu yang  meninggal sekitar satu atau dua tahun lalu, dan baru kuketahui sebulanan yang lalu ketika hendak mengontaknya lagi via Facebook.

*juga kupersembahkan kepada seseorang yang mengalami kehilangan terbesarnya, dan seminggu awal keras kepala berdebat mengenai kematian denganku, lewat ini ingin kusampaikan padanya aku mencintainya bersama kehilangan-kehilangan yang ia pilih untuk tidak disembuhkan


*dari mereka yang kehilangan, aku belajar bahwa kematian tidak membuat kehidupan jadi sia-sia bagai penungguan pada ajal, sebaliknya, kehadirannya -  yang mengintai dari balik dinding kafe tempat kamu dan aku pertama berkencan, mengintip dari meja kerja apartemenmu, membidik dari bilik toilet umum yang baru kamu pakai, dan dalam ketiba-tibaan yang tak kamu dan aku beri rencana - , adalah cara Tuhan membantu kamu dan aku memaknai kehidupan, ia bukti nyata anugerah memang ada.
This entry was posted in

1 comment: