Dulu sekali, aku pernah
menonton sebuah acara ajang pencarian bakat. Seorang pemuda menampilkan bagian
dari dirinya yang ia rasa paling baik: suaranya. Ia nyanyikan sepotong lagu
mengenai Tuhan, kedengarannya pilu. Salah satu juri tampak berkaca-kaca, ia berkomentar
bahwa kepergian selalu punya nada-nada rendah yang bicara tentang kesedihan.
Namun berbeda dengan rekannya yang lain, wajahnya disinggahi seri dan senyum
lebar, dikatakannya mengapa orang-orang memberi makna yang menakutkan dan
cenderung gelap pada kematian. Padahal, ketika siapa pun tiada, mereka punya
salah satu kesempatan berharga bertemu Dia secara langsung; yang kamu dan aku
yakini dan percayai sebegitu damainya selama ini. Lantas, mengapa menyambutNya
dengan tangisan, ketika kamu dan aku tahu sesungguhnya salah satu di antara
kita hanya pulang ke rumah lebih awal.
foto: tumblr happy faces |
Juri-juri lainnya tampak
mengangguk dengan sedikit tertegun menyimak paparan kecil rekan mereka, mungkin
menerima sepenggal kebenaran di sana. Aku terdiam lama sebelum akhirnya
memutuskan beranjak dari layar televisi, berjalan keluar menuju selasar rumah.
“Dibanding
menyebutnya upacara, aku lebih suka menamainya pesta kematian. Tematiknya
kedukaan, dengan kode busana yang menolak warna pelangi. Kau harus datang
dengan lebam senja, abu mendung, dan arang malam. Ia punya kesantunan untuk
dilarang tertawa. Sapaan apa kabar berganti turut berduka semoga kau kuat yang
seribu kali singgah. Digelar setiap tujuh, empat puluh, hingga seratus hari.
Siapapun diundang asal ia menyetok air matanya. Ini kesedihan yang begitu
istimewa, lihat, ia butuh perlakuan sedemikian khusus.”
Teringat seorang teman yang
begitu jauh, pernah mengirimiku pesan via Twitter menanyakan cara menghibur
atau memberi kalimat-kalimat penenang bagi sahabatnya yang baru ditinggal orang
terdekatnya, bukan yang biasanya, atau celetuk sembarang sahabat dekat.
Kupindai pandangan ke arah ujung kompleks, lenggang – rasanya begitu tenang,
tapi kamu tentu tahu, hal-hal yang damainya begitu sempurna selalu terasa
ganjil. Aku memejamkan mata, terakhir menghadiri pesta yang kamu jauhi itu,
mungkin sudah hampir lima tahunan yang lalu.
Orang-orang menggelar pesta untuk menandai momen-momen yang akan disimpan jadi kenangan, untuk memori yang akan jadi berharga. Begitu juga kesedihan. Kamu dan aku punya duka yang dihormati, karenanya, ia butuh pesta. Ia perlu hal-hal yang kamu bilang: spesial.
“Aku
selalu benci pesta. Dalam riuh pesta, ada kalanya kau merasa begitu sepi di
antara ramainya sorak orang-orang yang berlomba mengadu kegembiraan. Dalam
senyap pesta, ada saatnya kau merasa begitu ramai di antara lenggangnya isak orang-orang
yang berkompetisi mengadu tangisannya.”
Aku mendongakkan kepala.
Terkesiap, rasanya aku mendapat kupu-kupu bercorak polka putih dengan sayap
hitam yang lewat sekelebat saja. Apa mungkin nenek, yang menahun pergi tapi
rasanya masih begitu pasti di sini.
foto diambil dari after midnight tumblr |
Kau tidak membenci pestanya, kau hanya tidak suka pesta jenis ini datang tanpa rencana.
“Mungkinkah terlintas di benakmu, nisan dibuat
bukan untuk mereka yang mati, tapi kita yang hidup? Nisan – lengkap dengan
epitaf dan iringan euloginya – dibutuhkan bagi kamu dan aku di sini, sebagai
monumen kenangan akan seseorang. Menegaskan jika satu-satunya hal paling buruk
dari akbar pemakaman sesungguhnya bukanlah tentang kematian seseorang, tapi
mereka yang memelihara kehilangan di sana. Aku tak percaya orang-orang takut
kehilangan. Buktinya, mereka masih merawatnya setelah mendapatkannya, bahkan
menyuburkannya; mengurung diri, berpikir membunuh kehidupannya, dan dan dan.
Tak ada kehilangan yang memanjang kecuali kau merawatnya.”
Aku selalu suka bunga di pemakaman. Aku selalu jatuh cinta pada bunga di pernikahan. Kamu tahu, bunga salah satu bagian dari semesta yang menemani prolog dan epilog menjadi manusia. Ia ada ketika kamu lahir sebagai bentuk mekarnya dirimu, sekaligus hadir saat kamu pergi sebagai wujud layunya dirimu: di dunia. Bunga punya dua mata – kamu tak pernah benar-benar hanya menerimanya satu. Selayaknya: kamu kehilangan, kamu mengisi ulang. Kamu melepas, kamu ikhlas.
“Ver,”
Orang-orang memiliki caranya
sendiri menghadapi kesedihan. Seorang bapak di Tiongkok mengajak putrinya
bermain di liang kubur yang sudah disiapkannya untuk putrinya yang
sakit-sakitan. Kawan dekat menyumbangkan sekardus mie instan tiap bulannya ke
masing-masing panti yang berbeda atas nama Ibunya yang sudah pulang menahun
silam. Sebuah keluarga menyewa kelompok tangis untuk meraung di pemakaman.
Kamu memilih merawatnya utuh lalu menyimpannya di bilik dalam dirimu dan memutuskan tidak akan sembuh seumur hidup.
“Bangunlah,
bangkit, sayang. Tidur dan diam, hanya untuk mereka yang mati. Dan, dengan
berat hati kukatakan: kamu masih hidup.”
Sayup kudengar suara televisi
dimatikan, lampu dipadamkan, dan nyaring dari balik bilik kamar seorang
perempuan paruh baya memanggilku masuk. Aku memutar langkah, melenyapkan diri
ke dalam rumah. Mungkin seperti itu kamu dan dia.
Sebab, tak ada yang pergi.Kamu pulang ke rumah untuk istirahat dan berangkat kerja esok pagi, dia pulang ke rumah yang berbeda untuk istirahat dan jadi malaikat yang bertugas esok fajar. Kamu dan dia: pulang pada rumah yang berbeda. Dia hanya pindah, itu alasan kemarin kamu dan aku mengantarnya, lalu mengatakan selamat jalan alih-alih selamat tinggal.
*tulisan
ini untuk mengenang sahabatku di sekolah dasar dulu yang meninggal sekitar satu atau dua tahun lalu,
dan baru kuketahui sebulanan yang lalu ketika hendak mengontaknya lagi via
Facebook.
*juga
kupersembahkan kepada seseorang yang mengalami kehilangan terbesarnya, dan
seminggu awal keras kepala berdebat mengenai kematian denganku, lewat ini ingin
kusampaikan padanya aku mencintainya bersama kehilangan-kehilangan yang ia pilih
untuk tidak disembuhkan
*dari mereka yang kehilangan, aku belajar bahwa kematian tidak membuat kehidupan jadi sia-sia bagai penungguan pada ajal, sebaliknya, kehadirannya - yang mengintai dari balik dinding kafe tempat kamu dan aku pertama berkencan, mengintip dari meja kerja apartemenmu, membidik dari bilik toilet umum yang baru kamu pakai, dan dalam ketiba-tibaan yang tak kamu dan aku beri rencana - , adalah cara Tuhan membantu kamu dan aku memaknai kehidupan, ia bukti nyata anugerah memang ada.
Gelap banget ya
ReplyDelete