Thursday, 4 May 2017

Kita dalam Elegi

aku percaya jika orang-orang setidaknya pernah menerima satu pertanyaan yang membuatnya diam, bukan karena tak punya jawaban, melainkan kepala sulit menemukan kata yang tepat untuk mewakilinya: kalimat-kalimat luruh seketika ketika diminta keluar. mengenai ini, dulu sekali, ceritaku pernah pulang dengan babak belur dari salah seorang editor. ia kemudian mengirimiku pesan, katanya aku harus tahu kapan menggunakan pernyataan yang benar-benar langsung tanpa majas berkias, dan yang butuh metafora. “...gunakan metafora, ketika kamu tahu ada hal-hal yang enggak bisa kamu gambarkan dengan penuh dan utuh jika hanya mengandalkan utak-atik kata, serupa hal yang sedemikian besar, kuat, dalam, atau apa pun hingga kamu butuh sesuatu untuk menguraikannya cocok pada ruangnya,” ujarnya. 

saat itu kupikir, editorku tengah bicara tentang kamu. dan hal-hal yang ia maksud adalah semacam perasaan yang diam-diam orang nikmati sekaligus hindari: jatuh cinta.

lalu, rasanya tiba-tiba semesta mengamininya, ikut merayakannya dengan tanda-tanda yang buatmu terhenyak: sabit yang terbunuh tiap malam demi surya pada paginya, trotoar sunyi yang punya jenis hening yang menenangkan karena pernah ada kenangan yang ranum lewat di sana dan purnama-purnama setelahnya tak pernah punya hening yang sepi, lautan yang selalu pulang pada pantainya, bangku taman kota yang tasnya mengelupas seakan bilang usia kamu dan aku pernah bersama di sana, dan bahasa-bahasa lainnya yang bikinmu menyadari jika ini semua terlalu asing juga indah untuk diterjemahkan sendirian. ia butuh dua yang jadi satu: kita. 

tapi, mencintai adalah penderitaan tersendiri, itulah mengapa ia hanya terjadi pada mereka yang berani. sesederhana itu: apakah kamu-aku demikian?

dalam empat jam lusa malam, kubilang kamu terburu-buru, kausebut aku mengulur-ulur. sedangkan perasaan, sayang, ia bertahan semana jauh orang-orang di dalamnya mampu menoleransi bagian kosong sebuah permainan bingo, sebagai bagian dari pencarian untuk ditemukan lengkapnya. sedangkan siapa saja di dalamnya hanya berupaya agar tidak lupa memberi tahu satu sama lain jika ada yang salah mengambil angka bingo-nya.

nyatanya kita tak pernah punya rasa yang terlampau kuat agar waktu tak semudah itu mengusiknya, kita tak pernah benar-benar memiliki waktu yang cukup panjang supaya rasa tak secepat itu selesai.

pada akhirnya rasa takut itu mampir untuk katakan mungkin saja kita tak lagi berjalan di ritme yang sama. kamu dan aku jatuh cinta seraya membayangkan bagaimana kita pergi satu sama lain. aku pernah mencoba mengundang bayangan-bayangan semacam itu untuk singgah – seperti dipaksa terbelah dari apa yang menjadi bagian dari dirimu: sebab aku kerap berpikir tempat paling sederhana dan liarku adalah di kedalamanmu. memisahkannya seperti memaksa lengan lepas dari tubuhnya, hingga ia lupa bagaimana caranya memeluk seseorang dengan utuh.
andai benar demikian - kamu letih bermain ketika bahkan aku baru mulai -, aku hanya ingin mencintaimu – berani dan merdeka – sekarang ini, bila pun kemudian kamu dan aku sampai pada garis finish yang berbeda, setidaknya di satu waktu, aku bisa menulis roman yang isinya aku pernah jatuh cinta pada seseorang, pernah memilikinya adalah kebahagiaan yang puisi: dan seumpama puisi, ia bisa berdiri sendiri menemukan pembacanya, tanpa harus benar-benar menengok siapa penulisnya. 

aku pernah jatuh cinta pada seseorang, pernah melihatnya pergi adalah kehilangan yang mungkin metafora pun menolak menjelaskannya.

aku (pernah) jatuh cinta pada seseorang: kamu.

0 Comments:

Post a Comment