Aku duduk di beranda rumah seorang perempuan paruh
baya untuk sebuah penelitian. Ia cerita ini malam ke sembilan puluh empat ia
mengecek diam-diam ponsel lelakinya dan menemukan kalimat-kalimat ranum
pujangga-pujangga yang terkirim bukan kepada nomornya.
sumber foto; iStock |
Dan, ini adalah malam ke enam ratus lima puluh tiga ia masih tidur bersama lelaki dengan panggilan sayang yang masih, sembari mencintainya dengan penuh kekhawatiran. “Ver, aku memilih tidak bertengkar dengannya sebab aku hanya tak dapat membayangkannya pergi.”
Di seberang meja, sahabat dekatku tengah bertemu
dengan kawan seperjalanannya dulu dalam sebuah tur yang melahirkan kenangan-kenangan
yang ia simpan rapi di ruang kepalanya untuk diputar tanpa jeda tanda baca.
Walau kadang-kadang agak lambat dan acak di tengah-tengah karena sudah
terlampau lama dan tua, ia tak pernah bosan.
Sahabat dekatku akan merawat dan memeliharanya berulang-ulang agar tidak sampai rusak, sembari menyimpan kata-kata serupa aku jatuh cinta padamu, sendirian. “Gab, aku tak mungkin menyatakannya sebab aku hanya tak kuasa membayangkannya pergi.”
sumber foto: pinterest |
Dia mengembalikan kunci mobil pinjamannya pada si
bos. Gantinya, ia melembur. Temanku itu tinggal hingga separuh malam menjelang
subuh di kantor, hampir setiap akhir pekan menuju Senin. Tatapannya sayu,
kelopak bawah matanya menghitam, tapi tetap tidak berhasil menyamarkan binar
yang menolak redup di sana. Tubuhnya membungkuk kelelahan, namun selalu bisa
terjaga seolah cadagang tenaganya tak pernah menunjukkan nol persen. Radio
kantornya menyala lagu yang selalu saja sama yang salah satu liriknya punya
kalimat; semua karena cinta.
Ia masih bekerja, demi pinjaman-pinjaman agar tampak tampil layaknya si bos, tanpa benar-benar orang tahu, termasuk wanitanya. “Ro, aku tak ingin dia tahu sebab aku hanya tak mampu membayangkannya pergi."
Aku pulang, melangkah ke dalam kamar yang tak pernah
kupasang lampu, jadi sengaja kubuka lebar jendela yang kusennya sudah usang dan
berderit tiap dimainkan udara malam, membiarkan berkas cahaya sabit masuk atau
sesekali daun cokelat kering berkunjung. Melepas jaket yang basah oleh hujan di
kota lain tadi. Lalu membuangnya ke sembarang arah, sama seperti ketika kamu
melempar kemeja hitammu ke kolong kasur. Lalu aku memungutnya, mengenakannya
sekarang.
Mendekap tubuh sendiri seakan itu adalah kamu yang tak pernah bisa kubayangkan pergi. Bukan karena apa-apa, aku hanya tak pahami bagaimana mencintai sambil berpikir tentang suatu waktu engkau akan meninggalkanku*.
(*) garis miring berbintang, kalimat ini diambil
dari puisi Weslly Johannes berjudul Membayangkan
Kau Pergi
(*) tulisan ini terinspirasi dari puisi Weslly
Johannes berjudul Membayangkan Kau Pergi
0 Comments:
Post a Comment