sumber foto: pinterest / tumblr photography |
Suatu waktu aku mungil,
aku pernah membaca novel remaja dengan latar lokasi di Australia, yang mana
tokoh utama lelakinya bekerja sebagai penyiar radio yang diletakkan sebagai
pembuka cerita. Dengan seorang pendengar, si perempuan yang menikmati suara
akrab yang keluar dari pelantang telinga ponselnya, padahal nama si lelaki
begitu asing dengan wajah yang hanya bisa dibayangkan, karena mereka tak pernah
bertemu. Namun, ia berbisik tiap lagu siap diputar mengganti cuap penyiar, si
perempuan tak pernah menyangka jika mungkin saja seseorang bisa jatuh cinta
hanya dengan mengenali dan mendengarkan sepotong suara tiap malam. Aku terdiam
lama seraya menyalakan radio tua peninggalan marhum kakek. Aku selalu suka
filosofi radio – membayangkan diri bekerja di studio sederhana hingga lewat jam
tujuh, menulis skripnya, menyapa orang-orang yang asing dimana saja yang masih
ingat mereka punya radio, dan menunggu mereka berdecak karena si penyiar
terlalu lama bicara sedangkan rikues lagu belum diputar, atau justru sebaliknya:
diam-diam jatuh cinta pada suara itu. Pulang mendekati pukul sepuluh malam,
mampir sebentar ke toko roti yang diskon sebelum tutup, beserta kopi hangat di
gelas kertas.
Di akhir pekan, bangun
sesiang mungkin. Mengizinkan diri berantakan, lalu menulisi peristiwa-peristiwa
yang beruntungnya bisa jadi kenangan untuk dirapikan. Kemudian, duduk di lantai
kamar atau ruang tengah, membongkar kardus berisi kain perca, kertas warna,
koran bekas, majalah loak, dan lain-lain, memerlakukannya sebagai kerajinan
untuk kamu buat dengan bahagia, menghadiahkannya tiba-tiba kepada mereka yang
kamu cintai secara acak. Mungkin kartu ucapan, memo ‘jangan lupa bahagia hari
ini’, buku berisi tempelan potret polaroid untuk dia yang menyatu jadi ‘kita’.
Aku mencintai bau lem, tangan yang kotor karena coretan spidol dan cat air, serpihan kertas hasil potongan gunting. Itu deretan hal-hal yang mengingatkanku kalau beberapa bagian dari semesta membutuhkan waktu untuk jadi seperti sekarang, kalau cinta butuh perasaan panjang yang dirawat. Jauh dari serta-merta.
Pada janji-janji yang
ganjil di hari yang pinggir, bertemu dengan lelaki yang bisa kupanggil kekasih.
Mungkin seorang barista sederhana yang belum memiliki mobil dan tak pernah jadi
masalah, yang mengejutkanmu dengan latte
art, yang punya hobi makan bubur pinggir jalan, yang punya mimpi ingin
membangun kafe sendiri bergaya vintage
dengan fasilitas perpustakaan mini, yang menabung untuk bisa membangun keluarga
kecil di rumah sederhana yang ia tahu aku benci bertingkat dua, memelihara ikan
mas di akuarium bulat dan memilih kebun daripada kolam renang. Lalu memilih
untuk tidak menghabiskan waktu dengan menonton filem selama dua jam, tapi
mengundangmu datang ke kafe tempatnya bekerja saat shift malamnya selesai,
pergi ke lantai paling atas, melakukan ritual minum teh (dan dia kopi).
Terlibat obrolan semacam, “Bisakah dari sekarang kita menganggap bibirku adalah kuas favoritmu, dan bibirmu adalah kanvas yang siap?”, lalu bercinta di atas meja hingga lupa kita punya tubuh masing-masing yang minta tanda baca.
Ia mengantarku pada
seminar yang ternyata berjalan membosankan pada sebuah siang terik. Tak ada
percakapan di mobil, juga lantun lagu yang diputar. Diam, ia sibuk menyetir,
mencela serobot kendaraan-kendaraan lain dan berlomba membunyikan klakson yang
tak perlu, dan aku memandangi pohon-pohon yang bergerak cepat ke belakang, dan
langit biru yang awannya bagai bulu-bulu halus domba. Aku menyeletuk padanya
agar mengajakku naik balon terbang yang sejak dulu kutanyakan bagaimana cara
mendaratnya, alih-alih burung besi bertiket mahal kelas bisnis.
Aku terkesiap.
Pesananku dan dia sudah datang. Aku terlalu banyak bicara – cerita-cerita yang kusimpan dan kali ini
punya suara. Aku bilang, tapi orang-orang bilang radio belakangan ini
kehilangan napasnya dan kamu diminta mencari pekerjaan yang bisa kamu bawa
kemana-mana dan menjawab iklan perumahan elit Jakarta. Kamu dipaksa menjauhinya
sebelum kematiannya menyeretmu lebih jauh dan lupa menimbang mungkinkah kamu
bahagia. Aku katakan, tapi orang-orang berlomba memesan mahal custom barang-barang lucu yang dibuat
orang lain, yang lebih bagus daripada daur ulang tanganmu sendiri.
Aku sampaikan, tapi orang-orang bertanya apa mobil yang dipakai lelakimu, sekarang ada di perusahaan apa, apa agamanya, dinner di mana, siapa yang membayar, ketimbang apakah dia benar mencintaimu dan apakah kamu memang mencintainya.
Dia menatapku lama. Tak
ada yang menyentuh makanan di depan. Aku yang pertama memecah jeda,
“Sayang, kamu dan aku, hidup di dunia yang diam-diam meminta kita memainkan banyak peranan tapi tidak diri sendiri.”
UHLALALAA aku tau nich :3
ReplyDelete