Monday, 10 April 2017

Impian-impian Kecil yang Tak Sempat Kuceritakan

Sabtu malam kemarin, aku sempat jalan dengan seseorang, menemaninya merayakan tanggal yang hidup oleh kelahirannya. Kita terlibat percakapan kecil yang menyenangkan selama berjam-jam; hal-hal lucu mengenai kepindahan, rindu yang panjang dengan pertemuan yang singkat, kesedihan yang sudah berdamai, dan lain-lain. Pada obrolan itu, di sisi tengah tempat makan pusat belanja elektronik, di antara meja-meja orang yang menunggu pesanan dengan gelisah, tanpa kusadari aku menyatakan impian-impian kecil: mimpi yang lupa pernah aku punyai.
sumber foto: pinterest / tumblr photography

Suatu waktu aku mungil, aku pernah membaca novel remaja dengan latar lokasi di Australia, yang mana tokoh utama lelakinya bekerja sebagai penyiar radio yang diletakkan sebagai pembuka cerita. Dengan seorang pendengar, si perempuan yang menikmati suara akrab yang keluar dari pelantang telinga ponselnya, padahal nama si lelaki begitu asing dengan wajah yang hanya bisa dibayangkan, karena mereka tak pernah bertemu. Namun, ia berbisik tiap lagu siap diputar mengganti cuap penyiar, si perempuan tak pernah menyangka jika mungkin saja seseorang bisa jatuh cinta hanya dengan mengenali dan mendengarkan sepotong suara tiap malam. Aku terdiam lama seraya menyalakan radio tua peninggalan marhum kakek. Aku selalu suka filosofi radio – membayangkan diri bekerja di studio sederhana hingga lewat jam tujuh, menulis skripnya, menyapa orang-orang yang asing dimana saja yang masih ingat mereka punya radio, dan menunggu mereka berdecak karena si penyiar terlalu lama bicara sedangkan rikues lagu belum diputar, atau justru sebaliknya: diam-diam jatuh cinta pada suara itu. Pulang mendekati pukul sepuluh malam, mampir sebentar ke toko roti yang diskon sebelum tutup, beserta kopi hangat di gelas kertas.
Di akhir pekan, bangun sesiang mungkin. Mengizinkan diri berantakan, lalu menulisi peristiwa-peristiwa yang beruntungnya bisa jadi kenangan untuk dirapikan. Kemudian, duduk di lantai kamar atau ruang tengah, membongkar kardus berisi kain perca, kertas warna, koran bekas, majalah loak, dan lain-lain, memerlakukannya sebagai kerajinan untuk kamu buat dengan bahagia, menghadiahkannya tiba-tiba kepada mereka yang kamu cintai secara acak. Mungkin kartu ucapan, memo ‘jangan lupa bahagia hari ini’, buku berisi tempelan potret polaroid untuk dia yang menyatu jadi ‘kita’. 
Aku mencintai bau lem, tangan yang kotor karena coretan spidol dan cat air, serpihan kertas hasil potongan gunting. Itu deretan hal-hal yang mengingatkanku kalau beberapa bagian dari semesta membutuhkan waktu untuk jadi seperti sekarang, kalau cinta butuh perasaan panjang yang dirawat.  Jauh dari serta-merta.
Pada janji-janji yang ganjil di hari yang pinggir, bertemu dengan lelaki yang bisa kupanggil kekasih. Mungkin seorang barista sederhana yang belum memiliki mobil dan tak pernah jadi masalah, yang mengejutkanmu dengan latte art, yang punya hobi makan bubur pinggir jalan, yang punya mimpi ingin membangun kafe sendiri bergaya vintage dengan fasilitas perpustakaan mini, yang menabung untuk bisa membangun keluarga kecil di rumah sederhana yang ia tahu aku benci bertingkat dua, memelihara ikan mas di akuarium bulat dan memilih kebun daripada kolam renang. Lalu memilih untuk tidak menghabiskan waktu dengan menonton filem selama dua jam, tapi mengundangmu datang ke kafe tempatnya bekerja saat shift malamnya selesai, pergi ke lantai paling atas, melakukan ritual minum teh (dan dia kopi). 
Terlibat obrolan semacam, “Bisakah dari sekarang kita menganggap bibirku adalah kuas favoritmu, dan bibirmu adalah kanvas yang siap?”, lalu bercinta di atas meja hingga lupa kita punya tubuh masing-masing yang minta tanda baca.
Ia mengantarku pada seminar yang ternyata berjalan membosankan pada sebuah siang terik. Tak ada percakapan di mobil, juga lantun lagu yang diputar. Diam, ia sibuk menyetir, mencela serobot kendaraan-kendaraan lain dan berlomba membunyikan klakson yang tak perlu, dan aku memandangi pohon-pohon yang bergerak cepat ke belakang, dan langit biru yang awannya bagai bulu-bulu halus domba. Aku menyeletuk padanya agar mengajakku naik balon terbang yang sejak dulu kutanyakan bagaimana cara mendaratnya, alih-alih burung besi bertiket mahal kelas bisnis.
Aku terkesiap. Pesananku dan dia sudah datang. Aku terlalu banyak bicara – cerita-cerita yang kusimpan dan kali ini punya suara. Aku bilang, tapi orang-orang bilang radio belakangan ini kehilangan napasnya dan kamu diminta mencari pekerjaan yang bisa kamu bawa kemana-mana dan menjawab iklan perumahan elit Jakarta. Kamu dipaksa menjauhinya sebelum kematiannya menyeretmu lebih jauh dan lupa menimbang mungkinkah kamu bahagia. Aku katakan, tapi orang-orang berlomba memesan mahal custom barang-barang lucu yang dibuat orang lain, yang lebih bagus daripada daur ulang tanganmu sendiri. 
Aku sampaikan, tapi orang-orang bertanya apa mobil yang dipakai lelakimu, sekarang ada di perusahaan apa, apa agamanya, dinner di mana, siapa yang membayar, ketimbang apakah dia benar mencintaimu dan apakah kamu memang mencintainya.
Dia menatapku lama. Tak ada yang menyentuh makanan di depan. Aku yang pertama memecah jeda, 
“Sayang, kamu dan aku, hidup di dunia yang diam-diam meminta kita memainkan banyak peranan tapi tidak diri sendiri.”
This entry was posted in

1 comment: