Aku menyeret diri dari ruang
tengah rumah menuju kamar. Ini sudah panggilan ke enam yang membuatku harus
memaksakan tubuh beranjak dari depan layar laptop, demi suara berat seorang
pria yang meneriakkan namaku dari tempat tidur. Kepalaku asyik mendumel, benakku
berisik oleh gerutu. Lagi-lagi aku mendengar perintah sederhana dan permintaan
remeh temeh yang sama sejak sejam lalu: minta tolong mengambil botol minum
dingin di kulkas, beli dua puntung rokok di warung tetangga, memasak air
hangat, sampai menghidupkan televisi. Aku memandang pria paruh baya yang
tergolek santai di atas kasur seraya menikmati biskuit murah berisi banyak
favoritnya, aku duduk di tepi; tepat sampingnya. Ia masih tenggelam pada
tontonan film yang diputar ulang HBO. Diam-diam aku memerhatikannya – hal yang jarang kulakukan – , keriput
tua di kening dan pipi wajahnya, itu gurat waktu yang memakan usia. Kantong
matanya menebal dengan manik yang sembunyi begitu dalam di balik kelopak
matanya, itu punya pandangan sayu yang terasa ingin selalu tidur beristirahat.
Rambutnya memutih, tumbuh uban-uban yang selalu minta untuk dicabut, katanya
kangen anak-anak rambut hitam seperti muda dulu. Lalu, perlahan ia membalikkan
badannya, menatap ke arahku, kupikir akan ada suruhan-suruhan kecil lainnya
lagi, tapi tidak, lirih aku hanya mendengarnya mendesis, “Putri kecilku.” Aku
tersentak.
sumber foto: my modern met |
Julukan itu membawaku kembali pada sepuluh tahun lalu, ketika aku masih mengenakan seragam putih dan rok merah, membacakan puisi sepuluh November depan kelas, di hadapan teman-teman perempuan berkebaya Kartini dan kawan-kawan laki memakai topi khas Soekarno. Masih segar ingatanku, judul sajak puisinya sederhana saja: Papa.
Lantangnya kubacakan,
kudeklamasikan. Tentang seorang pria yang bukan veteran. Tidak jua seorang yang
menduduki puncak tertinggi sebuah perusahaan. Bukan pemimpin negara atau
pejabat pengikut rapat penting yang katanya menciptakan kesejahteraan. Tak
cukup kaya sampai buat orang berdecak wah. Pula bukan orang hebat dengan titel
di belakang dan depan nama yang barisannya panjang. Tiada daftar namanya dalam
batalion perang merebut kata merdeka. Orang-orang bertanya mengapa aku
memilihnya, ini bukan hari Ayah. Guruku diam, dan teman-teman sesekali
menyelinginya dengan tawa rendah. Kelas riuh. Orang-orang asing bergunjing.
Kemudian, kukisahkan ini pada mereka.
Ia dulu bekerja mengurusi arus
informasi valuta asing sebelum teknologi menggantikan posisinya dan menjadi
serabutan, dari pekerjaan gudang hingga pemasaran. Pada malam-malam yang sulit,
aku sering menangis minta boneka baru. Lalu tiba-tiba esoknya ibu
membangunkanku demi bisa kulihat barbie bayi yang keluar dari belakang
punggungnya. Aku bermain sepanjang hari dan lupa bertanya mengapa malam itu ia
pulang dengan dua bungkus nasi kuning, bukan tiga, dan ia tidak ikut makan.
Akhir pekan, teman-teman cerita soal kehebatan jagoan Marvel di filem keluaran
terbaru, aku merengek minta ke bioskop sepulang sekolah.
sumber foto: soultravel |
Ia pun menggendong tas punggung kecilku yang berwarna pink, menembus lahan parkir, masuk ke gedung berlayar lebar. Tanpa malu, bercanda sepanjang jalan dengan tatapan mata orang-orang yang menahan tawa seraya berbisik ke arahnya. Katanya yang penting aku tidak keberatan dan menjadi bungkuk.
Lusanya, sepulang kerja, ia mengajakku
berkeliling kompleks perumahan sebentar lima belas menit. Tak ada percakapan,
tak peduli lelah yang menggerogotinya, dan penat yang menempelinya. Ia bilang,
ia ingin aku duduk di depan jok motornya sebelum aku bertumbuh besar dan lebih
memilih memeluk punggung lelaki lain di malam minggu. Beberapa hari setelahnya,
ia membeli hewan peliharaannya, mengajariku cara merawat si anjing, memberi
makan burung merpati, dan bermain-main dengan ikan mas di akuarium bulat.
Malamnya, menemaniku mengocok dadu ular tangga, melupakan kesibukannya, menyisakan
waktunya.
Dan, Mei sembilan delapan di
depan mata. Aku ingat ia duduk di teras rumah, memotong kayu entah apa,
menyiletinya jadi runcing, lalu berdiri di halaman dengan ‘senjata’nya. Katanya
kalau ada apa-apa, biar ia di garda depan memastikan aku baik-baik saja. Aku
belum lupa juga ketika duduk di bangku pohon dan diganggu oleh serangan
ketapel-ketapel anak iseng, aku pulang dengan menangis, lantas ia berhenti
mengutak-atik kalkulator dan kertas folionya, keluar dari rumah mencari
segerombolan anak-anak tadi yang mengangguku. Di akhir hari, ia bawa aku ke
kamar, tanpa dongeng dan tidak juga nyanyian, duduk di tepi kasur, menungguiku
tidur. Alasannya sederhana, menghalau nyamuk menggigitiku dan melindungiku dari
mimpi buruk.
Darinya, aku belajar mencintai.
Aku memahami cara menyayangi. Aku tumbuh dengan kenangan-kenangan tentangnya,
hidup dari cinta-cintanya. Ia buatku memandang semesta dari kaca mata sederhana
yang sama sekali berbeda. Dunia punya banyak lilitan soal, perkara yang tak
kunjung usai, perangkap masalah-masalah, tapi ia buatku percaya jika dunia
selalu punya satu orang yang bisa membantu orang lain. Kita bisa jadi satu
orang itu, yang menginspirasi yang lain untuk melakukan cinta yang sama. Lalu
perlahan tapi pasti, dimulai dari hal kecil, lingkungan sekitar, dunia bergerak
jadi lebih baik. Ia melakukannya padaku – membantuku berbicara bahasa kasih
sayang, mengarahkanku cara bertindak dengan sentuhan cinta. Ia bukan
siapa-siapa, tapi memang tak perlu menjadi siapa-siapa untuk jadi pahlawan
sesungguhnya. Bahkan kadang kali mereka ialah yang samar namanya dan baru
dikenal ketika sudah tiada, dan biasanya bahkan tanpa tanda jasa. Dan dalam
hidupku, ia adalah yang selama ini kupanggil Papa.
sumber foto: dokumen pribadi / ini fotoku saat kecil bersama Papa yang tengah menggendongku |
Lewatnya, aku belajar definisi pahlawan yang lain, bahwa siapa pun bisa demikian. Ia bukan harus yang digambarkan turun di medan perang, menghadapi selongsong peluru yang berdarah. Jauh lagi, pahlawan sekarang bukan yang mengacungkan bambu runcing dan berteriak merdeka atau mati, zaman penjajahan sudah lama lewat. Tidak melulu yang berdebat atas nama rakyat di ruang rapat parlemen, sementara di saat bersamaan ditemukan kondom pada masing-masing tas atau besoknya muncul dengan seragam oranye sebagai tersangka penggelapan rupiah. Bukan juga seorang jenius yang membanggakan, lantas diam-diam terus memperkaya diri, mengisi otak, mengenyangkan perut untuk sendiri.
Melaluinya, aku memahami pahlawan
adalah siapa saja yang mampu menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai
senjatanya, kemudian membidik orang lain untuk melakukan kedamaian bagi sesama.
Untuk itu, Papa, kusebut pahlawan, karena ia berjuang memberikanku terjemahan
ulang tentang cinta: yang baru berguna dan berharga jika dibagikan.
Aku mengambil napas panjang.
Kesadaranku kembali terjaga. Papa masih berbisik putri kecil padaku. Tak ada
ba-bi-bu, aku mendadak meraih leher ringkihnya, mendekapnya erat dan bilang,
‘ini bukan hari ayah, tapi aku ingin bilang menyayangimu, dan ini bukan jua hari
pahlawan, tapi Papa selamanya pahlawanku’. Pahlawanku memelukku erat, dan
bilang dengan candanya, ia akan terus jadi prajurit perang yang melindungiku
dari bala tentara yang akan merobohkan istana, kita tertawa, katanya sebab aku
adalah putri di singgasananya.
*tulisan ini keluar sebagai juara pertama lomba menulis artikel antar-mahasiswa bertemakan 'Pahlawan dalam Kehidupanku' tingkat nasional, yang diselenggarakan oleh Kompas Corner
*tulisan ini juga resmi tayang di situs Kompas Muda
*tulisan ini kupersembahkan selalu dan pasti: Papa
0 Comments:
Post a Comment