Pejamkan
matamu, pelan saja. Lalu buka halaman buku itu secara asal. Baca halaman acak
yang kamu buka tadi. Mungkin kamu akan menemukan kejutan kecil: pertanyaan-pertanyaan
yang tak berani kamu tanyakan, tiba-tiba disodori jawabannya. Sejak itu, kamu
pun percaya, jika semesta ini punya tanda tanya yang hanya bisa dijawab oleh
puisi, bahwa lomba laju kendaraan dengan tenggat waktu hanya bisa diberi jeda
lewat secangkir kopi.
sumber foto: kimerajam |
“Buku-buku seperti ini, Veronica, bukan jenis yang harus dan bisa selesai dengan sekali duduk. Kadang kamu butuh banyak waktu, kalau tidak, jadilah cukup – untuk menjadikan kalimat-kalimatnya teman yang bisa dipahami dan akhirnya diajak jalan-jalan mengarungi kesendirian yang minta didampingi,” ujar pria yang baru usai menandatangi buku puisi yang kubeli langsung pada acara perilisan bukunya.
Kita
menukar pandang diam, sebelum kemudian masing-masing membungkus diri: ia melayani
pengantre selanjutnya, aku mendekap pergi buku puisinya. Kupikir, ada setujuku
yang menyelinap tapi tak sempat ambil suara. Kepada buku-buku puisi, aku
percaya orang-orang punya perlakuan yang berbeda. Kadang-kadang kamu menyadari,
mereka bukan gunung tinggi yang ada pada daftar impianmu untuk ditakhlukkan,
melainkan deret gunung yang ingin kamu rasakan getar amarahnya saat menelusuri
tebing, dengar gema suaranya yang punya bisik dunia, sampai panggilan-panggilan
yang hanya bisa dimengerti saat kamu dengannya telah jadi kawan.
Aku
menimbun banyak buku puisi tanpa benar-benar membacanya seperti buku-buku lain
yang kuperlombakan dalam tantangan baca. Kadang kali, saking timbunannya
meninggi dan sengaja tak kusentuh, mereka pun memelihara debu. Aku baru
mengambilnya sering kali saat perasaan-perasaan butuh rumah untuk sembunyi atau
lawan bicara. Ketika kehilangan meminta tempat tinggal, jatuh cinta pulang
dengan keraguan, kesedihan yang butuh ditertawai, kebahagiaan yang tak
disanggupi, sampai kenangan yang baru kemarin tapi matangnya bagai selampau
kisah setua waktu. Kalau sudah begitu dan kamu iseng meminjam koleksi buku
puisiku, kamu akan menemukan bagian-bagian ujung halaman yang terlipat karena
beberapa barisan sajaknya tadi bicara atas namaku, sisi tengah kertas yang
menggelembung karena baru saja kering dari air mata, aroma ganjil bau buku yang
bercampur tumpahan earl grey yang masih lembab di lembaran-lembarannya.
Kamu pernah melakukannya, dan kamu mengembalikan buku-buku itu sembari bilang, kamu seperti bukan membaca sajak si penyair, tapi mencerna aku. Sayang, jika cinta itu menemukan, maka puisi membantumu demikian.
Aku
membaca banyak sajak tanpa benar-benar menyesapnya dalam-dalam, karena takut
mereka benar-benar menelanjangiku atau menjadikanku orang asing (yang hasilnya
kurang lebih sama seperti keputusanku mencintaimu). Aku lebih sering
menghidupkan alat rekam yang kemudian mengemas suaraku yang teriak-teriak -sebegitu jelasnya karena kulakukan selalu
menjelang tengah malam- dalam dokumen, yang biasanya kusunting lagi dengan
memasukkan latar musik tanpa lirik. Mereka membantuku menyusun kedalaman diri
yang sudah berkali-kali dianggit rapi tetap saja berantakan, tapi mereka tak
pernah lelah, karena itulah alasan mereka diciptakan.
Namun,
kerap puisi terlampau dekat menyatu dengan aliran darah hingga tak terbaca
karena ia adalah kamu, sementara, ia juga tak jarang jadi terlalu jauh hingga
menyipit-tajamkan mata pun tak berhasil menjangkaunya.
Puisi adalah jurang sekaligus bibir pantai antara ketakutan dan kedamaian.
Begitu kupikir mengapa
tiap orang – kamu dan aku, juga kita – punya cara berbeda saat mencintainya
sebagai musuh dekat atau teman jauh.
Yang pasti hari ini, sayang. Puisi sedang tidur di kepalaku, gantinya kamu yang terjaga hingga ratusan tahun selalu bangun. Semoga selalu begitu.
0 Comments:
Post a Comment