Thursday, 30 March 2017

Puisi Sedang Tidur di Kepalaku

Pejamkan matamu, pelan saja. Lalu buka halaman buku itu secara asal. Baca halaman acak yang kamu buka tadi. Mungkin kamu akan menemukan kejutan kecil: pertanyaan-pertanyaan yang tak berani kamu tanyakan, tiba-tiba disodori jawabannya. Sejak itu, kamu pun percaya, jika semesta ini punya tanda tanya yang hanya bisa dijawab oleh puisi, bahwa lomba laju kendaraan dengan tenggat waktu hanya bisa diberi jeda lewat secangkir kopi. 

sumber foto: kimerajam

“Buku-buku seperti ini, Veronica, bukan jenis yang harus dan bisa selesai dengan sekali duduk. Kadang kamu butuh banyak waktu, kalau tidak, jadilah cukup – untuk menjadikan kalimat-kalimatnya teman yang bisa dipahami dan akhirnya diajak jalan-jalan mengarungi kesendirian yang minta didampingi,” ujar pria yang baru usai menandatangi buku puisi yang kubeli langsung pada acara perilisan bukunya.

Kita menukar pandang diam, sebelum kemudian masing-masing membungkus diri: ia melayani pengantre selanjutnya, aku mendekap pergi buku puisinya. Kupikir, ada setujuku yang menyelinap tapi tak sempat ambil suara. Kepada buku-buku puisi, aku percaya orang-orang punya perlakuan yang berbeda. Kadang-kadang kamu menyadari, mereka bukan gunung tinggi yang ada pada daftar impianmu untuk ditakhlukkan, melainkan deret gunung yang ingin kamu rasakan getar amarahnya saat menelusuri tebing, dengar gema suaranya yang punya bisik dunia, sampai panggilan-panggilan yang hanya bisa dimengerti saat kamu dengannya telah jadi kawan.
Aku menimbun banyak buku puisi tanpa benar-benar membacanya seperti buku-buku lain yang kuperlombakan dalam tantangan baca. Kadang kali, saking timbunannya meninggi dan sengaja tak kusentuh, mereka pun memelihara debu. Aku baru mengambilnya sering kali saat perasaan-perasaan butuh rumah untuk sembunyi atau lawan bicara. Ketika kehilangan meminta tempat tinggal, jatuh cinta pulang dengan keraguan, kesedihan yang butuh ditertawai, kebahagiaan yang tak disanggupi, sampai kenangan yang baru kemarin tapi matangnya bagai selampau kisah setua waktu. Kalau sudah begitu dan kamu iseng meminjam koleksi buku puisiku, kamu akan menemukan bagian-bagian ujung halaman yang terlipat karena beberapa barisan sajaknya tadi bicara atas namaku, sisi tengah kertas yang menggelembung karena baru saja kering dari air mata, aroma ganjil bau buku yang bercampur tumpahan earl grey yang masih lembab di lembaran-lembarannya.

Kamu pernah melakukannya, dan kamu mengembalikan buku-buku itu sembari bilang, kamu seperti bukan membaca sajak si penyair, tapi mencerna aku. Sayang, jika cinta itu menemukan, maka puisi membantumu demikian.

Aku membaca banyak sajak tanpa benar-benar menyesapnya dalam-dalam, karena takut mereka benar-benar menelanjangiku atau menjadikanku orang asing (yang hasilnya kurang lebih sama seperti keputusanku mencintaimu). Aku lebih sering menghidupkan alat rekam yang kemudian mengemas suaraku yang teriak-teriak -sebegitu jelasnya karena kulakukan selalu menjelang tengah malam- dalam dokumen, yang biasanya kusunting lagi dengan memasukkan latar musik tanpa lirik. Mereka membantuku menyusun kedalaman diri yang sudah berkali-kali dianggit rapi tetap saja berantakan, tapi mereka tak pernah lelah, karena itulah alasan mereka diciptakan.
Namun, kerap puisi terlampau dekat menyatu dengan aliran darah hingga tak terbaca karena ia adalah kamu, sementara, ia juga tak jarang jadi terlalu jauh hingga menyipit-tajamkan mata pun tak berhasil menjangkaunya. 

Puisi adalah jurang sekaligus bibir pantai antara ketakutan dan kedamaian. 

Begitu kupikir mengapa tiap orang – kamu dan aku, juga kita – punya cara berbeda saat mencintainya sebagai musuh dekat atau teman jauh.

Yang pasti hari ini, sayang. Puisi sedang tidur di kepalaku, gantinya kamu yang terjaga hingga ratusan tahun selalu bangun. Semoga selalu begitu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment