Silam
sekali, aku pernah berkumpul untuk makan siang di sebuah mall bersama
kawan-kawan, pada senggang waktu sebelum kelas. Kita memilih bangku dekat
dengan dinding, selain bisa bersandar selagi mengobrol, juga itu tempat yang
kosongnya cocok untuk mengisi suara berisik yang kita ciptakan. Makanan belum
sampai, tapi cerita-cerita sudah lebih dulu diberi meja. Masing-masing asyik
mengisahkan aktivitas sepulah ke rumah, hingga salah satu menyeletuk, “Seseorang pernah datang padaku dan bilang,
orang tua mengantarkan kita menapaki langkah pertama kehidupan di dunia, kita
jadi anak kadang kali sebaliknya, mengantarkan mereka menuju pijakan terakhir
di semesta.” Hening sebentar, food
court mall itu mendadak saja terasa begitu lenggang dan tiap gerakan jadi terlihat
lambat.
sumber foto: favim.com |
Aku
terkesiap petang jelang malam itu. Celetukan kawan dekat yang lampau lalu,
tiba-tiba berbau kemarin. Orang-orang menyebut deja vu untuk peristiwa yang
pernah dialami dalam dimensi waktu yang mungkin berbeda dengan sekarang, dan
terjadi saat ini. Tapi aku lebih suka menamainya ingatan lama yang ditarik lagi
dan diminta untuk terjaga. Kira-kira serperti itu caraku mendeskripsikan kabar
yang kuterima darimu tadi, ketika aku pun tidak cukup berani meraba kesedihan
yang mengental di matamu – hingga membuat bahasa duka sendiri yang tidak semua
orang bisa menerjemahkannya selain kamu dan mereka yang sedang berkubang di
sana. Kamu bilang, ada yang tumbuh di dalam kepala perempuan yang wajahnya pertama
kali kamu lihat saat menangis nyaring di dunia.
Air matamu menempel di tembok-tembok rumah yang catnya mengelupas, dan mengering di teras yang dihinggapi daun-daun kuning dari pohon ek depan kompleks. Kesedihan senantiasa karib mengintip di mana-mana.
Kupikir
aku hanya mampu menyetujui setengah dari maksud kalimat kawanku itu. Ada alasan
mengapa kamu menangis saat kamu pertama kali lahir dan lihat semesta, tapi jadi
diam saat suara adzan dibisikkan, ayat-ayat Alkitab didesiskan di dekat telinga
mungilmu, tembang surah-surah teduh Dhammapada oleh bapakmu. Ada jawaban
mengapa kamu menangis saat kamu awal sekali datang dan lihat dunia, tapi jadi
diam saat suara ibumu meminta suster menggendongmu ke pangkuannya dan
memberikan ciumannya padamu untuk kali pertama. Kamu takut akan sendiri
menghadapi kehidupan yang dihadiahkan bagimu, tapi kamu diam dan tenang karena
pada akhirnya tahu ada yang berjanji mengenai kasih sayang sepanjang masa.
Kurasa
aku hanya bisa mengiyakan separuh dari makna kalimat kawanku itu. Ada alasan
mengapa sekarang kamu kembali seperti dulu saat tangis pertama, kamu takut pada
akhirnya akan sendiri seperti kamu mungil pernah mengira. Sebab mungkin akan
ada keberangkatan dan kepulangan yang dilakukan bapak-ibumu selamanya, dan kamu
tidak diajak.
Kutemukan
pada akhirnya, aku menolak untuk memahami kalimat kawanku itu. Karena, sayang,
mungkin kematian dan kehidupan pintunya tipis sekali, mereka mudah datang dan
pergi.
Tapi, mereka yang pernah jadi bagian dari kenangan paling ranum, penghuni setia ruang di kedalaman, dan berartinya sampai kata-kata luruh untuk memberi penjelasan, mereka punya sifat-sifat yang sulit ditanggalkan: keabadian.
Tiada
yang mengantar-jemput siapa dan siapa, kamu dan aku menjalani sisa waktu yang
ada, berlomba siapa yang lebih dulu sampai rumah Tuhan dan berjanji
menceritakan pada yang kalah tentang indahnya taman Eden. Simpan resapi kesedihan
itu, sebab kadang, ia hanya meminta untuk dipahami, bukan dibuat sembuh atau
hilang. Dekap ia, pada hari-hari tertentu, ketika ia kamu letakkan dalam doa, ia
bisa jadi kekuatanmu untuk menemukan kenyataan jika cinta dan harapan tak
pernah kalah.
“Seorang anak perempuan selalu memiliki satu lelaki dalam hidupnya yang bisa ia yakini tak akan pernah menyakitinya: ayahnya. Kalau begitu, seorang anak laki-laki pun punya sosok perempuan dalam hidupnya yang bisa ia percaya mencintainya tanpa tanda baca berjeda: ibunya. Untuk seseorang yang tengah merawat perempuan yang dipanggilnya ‘Mama’ yang sedang sakit keras. Di sini kukirimkan daras doa, sebab begitu cara kita bercerita pada Tuhan tentang harapan-harapan baik.”
0 Comments:
Post a Comment