Monday, 20 March 2017

Penghuni Setia Ruang di Kedalaman

Silam sekali, aku pernah berkumpul untuk makan siang di sebuah mall bersama kawan-kawan, pada senggang waktu sebelum kelas. Kita memilih bangku dekat dengan dinding, selain bisa bersandar selagi mengobrol, juga itu tempat yang kosongnya cocok untuk mengisi suara berisik yang kita ciptakan. Makanan belum sampai, tapi cerita-cerita sudah lebih dulu diberi meja. Masing-masing asyik mengisahkan aktivitas sepulah ke rumah, hingga salah satu menyeletuk, “Seseorang pernah datang padaku dan bilang, orang tua mengantarkan kita menapaki langkah pertama kehidupan di dunia, kita jadi anak kadang kali sebaliknya, mengantarkan mereka menuju pijakan terakhir di semesta.” Hening sebentar, food court mall itu mendadak saja terasa begitu lenggang dan tiap gerakan jadi terlihat lambat.
sumber foto: favim.com

Aku terkesiap petang jelang malam itu. Celetukan kawan dekat yang lampau lalu, tiba-tiba berbau kemarin. Orang-orang menyebut deja vu untuk peristiwa yang pernah dialami dalam dimensi waktu yang mungkin berbeda dengan sekarang, dan terjadi saat ini. Tapi aku lebih suka menamainya ingatan lama yang ditarik lagi dan diminta untuk terjaga. Kira-kira serperti itu caraku mendeskripsikan kabar yang kuterima darimu tadi, ketika aku pun tidak cukup berani meraba kesedihan yang mengental di matamu – hingga membuat bahasa duka sendiri yang tidak semua orang bisa menerjemahkannya selain kamu dan mereka yang sedang berkubang di sana. Kamu bilang, ada yang tumbuh di dalam kepala perempuan yang wajahnya pertama kali kamu lihat saat menangis nyaring di dunia. 

Air matamu menempel di tembok-tembok rumah yang catnya mengelupas, dan mengering di teras yang dihinggapi daun-daun kuning dari pohon ek depan kompleks. Kesedihan senantiasa karib mengintip di mana-mana.

Kupikir aku hanya mampu menyetujui setengah dari maksud kalimat kawanku itu. Ada alasan mengapa kamu menangis saat kamu pertama kali lahir dan lihat semesta, tapi jadi diam saat suara adzan dibisikkan, ayat-ayat Alkitab didesiskan di dekat telinga mungilmu, tembang surah-surah teduh Dhammapada oleh bapakmu. Ada jawaban mengapa kamu menangis saat kamu awal sekali datang dan lihat dunia, tapi jadi diam saat suara ibumu meminta suster menggendongmu ke pangkuannya dan memberikan ciumannya padamu untuk kali pertama. Kamu takut akan sendiri menghadapi kehidupan yang dihadiahkan bagimu, tapi kamu diam dan tenang karena pada akhirnya tahu ada yang berjanji mengenai kasih sayang sepanjang masa.
Kurasa aku hanya bisa mengiyakan separuh dari makna kalimat kawanku itu. Ada alasan mengapa sekarang kamu kembali seperti dulu saat tangis pertama, kamu takut pada akhirnya akan sendiri seperti kamu mungil pernah mengira. Sebab mungkin akan ada keberangkatan dan kepulangan yang dilakukan bapak-ibumu selamanya, dan kamu tidak diajak.
Kutemukan pada akhirnya, aku menolak untuk memahami kalimat kawanku itu. Karena, sayang, mungkin kematian dan kehidupan pintunya tipis sekali, mereka mudah datang dan pergi.

Tapi, mereka yang pernah jadi bagian dari kenangan paling ranum, penghuni setia ruang di kedalaman, dan berartinya sampai kata-kata luruh untuk memberi penjelasan, mereka punya sifat-sifat yang sulit ditanggalkan: keabadian.

Tiada yang mengantar-jemput siapa dan siapa, kamu dan aku menjalani sisa waktu yang ada, berlomba siapa yang lebih dulu sampai rumah Tuhan dan berjanji menceritakan pada yang kalah tentang indahnya taman Eden. Simpan resapi kesedihan itu, sebab kadang, ia hanya meminta untuk dipahami, bukan dibuat sembuh atau hilang. Dekap ia, pada hari-hari tertentu, ketika ia kamu letakkan dalam doa, ia bisa jadi kekuatanmu untuk menemukan kenyataan jika cinta dan harapan tak pernah kalah.

“Seorang anak perempuan selalu memiliki satu lelaki dalam hidupnya yang bisa ia yakini tak akan pernah menyakitinya: ayahnya. Kalau begitu, seorang anak laki-laki pun punya sosok perempuan dalam hidupnya yang bisa ia percaya mencintainya tanpa tanda baca berjeda: ibunya. Untuk seseorang yang tengah merawat perempuan yang dipanggilnya ‘Mama’ yang sedang sakit keras. Di sini kukirimkan daras doa, sebab begitu cara kita bercerita pada Tuhan tentang harapan-harapan baik.”
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment