Friday, 20 January 2017

Tentang Orang-orang yang Dilarang Menolak Perasaan


Dua hari lalu. Seorang pria yang menolak untuk diajak berfoto tapi memberiku tanda tangannya sebagai ganti bukti aku dengannya pernah bertemu. 

Tidak ada percakapan bagai teman akrab seperti yang orang-orang pikirkan, tiada jua obrolan basa-basi yang berupaya memecah canggung yang biasa dilakukan banyak orang. 

Aku dan dia hanya saling diam tidak lebih dari lima menit sebelum mengatakan kalau orang-orang seperti kami berdua dilarang menolak perasaan. 
sumber foto: favim
Katanya, perasaan sekecil apa pun itu, diambil dan diterima sebagai bagian terdalam dari diri – biarkan itu membunuh atau jadikan kita sepi. 
Dia melakukannya hampir setiap hari seperti sarapan pagi.
Dua jam setelahnya. Seorang wanita yang menolak menyebut nama aslinya tapi memberiku nama panggilan masa kecilnya sebagai ganti bukti aku dengannya pernah dekat. 

Ada perbincangan hangat bagai sahabat yang pisah menahun lalu bertemu lagi, ada jua bicara-bicara kecil menyelesaikan keasingan yang masih bersisa. 

Dia dan aku terlibat bibir yang berebutan memberi suara, sampai dia ceritakan tentang kisah yang baru dibacanya dari sebuah novel favorit miliknya. 

Dia ulang sambil berjalan pulang: seorang Bapak yang memerintahkan kenalannya untuk memberinya sebuah perasaan sedih yang bisa buat lukisan-lukisannya lebih bergairah dan hatinya lebih hidup. 

Kenalannya membakar seorang anak depan si Bapak. Bukan anak asing, tapi anak kandungnya sendiri. 

Si Bapak segera duduk di beranda dan mulai melukis kesedihan yang melumurinya, duka yang memuncakinya – sebelum akhirnya si Bapak berhasil menghasilkan lukisan paling menyedihkan yang pernah dimiliki semesta dan jadi gila.

Dua menit kemudian. Seorang perempuan hampir sebaya dan lelaki paruh baya, mengajakku minum kopi. Si perempuan bilang kemarin dari rumah kostnya menuju kampus dia naik ojek dan jadikan itu puisi. 

Si lelaki paruh baya katakan dari perjalanannya menuju tempat kerja ia lihat razia polisi yang jadi awal cerita razia hati. 

Mereka saling tertawa bilang perasaan siap siaga di mana saja dan pastikan ia tetap terjaga menerima kemungkinan-kemungkinan yang bisa diabadikan. 
Dua detik selanjutnya. Aku diam – merasakan kamu membawa kesedihan dan kebahagiaan sekaligus, namun aku tak pernah tahu cara menyusunnya agar rapi. 
Orang-orang bilang aku sedang jatuh cinta, sesekali patah hati.
This entry was posted in

1 comment: