Aku
pernah menunggu pesawat yang empat puluh lima menit lagi terbang ke kampung halamanku dan
berharap ada alasan yang membuatnya tertunda. Pengumuman timbul tenggelam di
ragam mikrofon dari berbagai sudut ruang tunggu, orang-orang bergerak gelisah.
Senja sebentar lagi jatuh, tubuh-tubuh berpindah setengah terbatuk-batuk,
mata-mata menempeli jam setengah mengantuk. Terminal keberangkatan domestik.
Sisi tengah paling ujung, bersebelahan langsung dengan jendela kaca besar yang
menjulang tinggi, tempat favorit yang kuhindari – aku menemukan alasanku di
sana.
sumber foto: tumblr frankfurt airport |
Dia menyimpan alasan-alasanku, kamu kerap akhirnya adalah jawaban-jawabanku.
Dia
punya manik mata hitam yang tidak mengingatkanku padamu, dengan rambut alis
cukup tebal yang juga tumbuh halus di rahang dan dagunya. Menelusuri hutan
kecilnya selalu jadi tantangan yang membuat anak kecil yang bandel bangun dalam
diri orang-orang. Sore itu, ia mengenakan kaos polos biru tua dengan syal
rajutan berwarna cokelat malam. Bangku sampingnya kosong, tapi bukan berarti
tidak ada yang mengisinya: cangkir kertas dengan kopi – mungkin Vietnam dengan
canda atau Amerika tanpa gula – bukan teh atau cokelat, kamu butuh kopi untuk
seorang pembaca Dostoevsky. Aku enam bangku jauh darinya, aku tidak memakai
kata pisah seperti padamu minggu lalu, karena tidak ada satu keadaan yang
buatku harus pergi, dan dia masih tinggal. Dia melirikku barang sejenak dari
balik kemalangan orang-orang yang ditulis Rusia yang ada di tangannya. Kamu
tahu, sayang, dia melihatku sebagai peta yang bisa direntangkan di atas meja
untuk dibaca dan dijelajahi, dan aku menyadari dia adalah petualanganku – yang salah
– berikutnya.
Dia selalu jadi apartemenku dan kamu menjelma rumahku.
Nasi
boks dengan air mineral gelas dibagikan untuk penundaan seratus menit ke depan.
Aku dan dia – atau dia dan aku – saling beranjak, berpikir mungkinkah ini berakhir
dengan bangun bersama pada suatu pagi di hotel Paris tanpa menukar nama, atau
sama-sama memelihara apa kabar lewat kartu pos. Tapi, pilihan terakhir terasa
begitu aku dan kamu, maka aku menolaknya. Dia mengambil duduk sebelum aku
memutuskan di mana, mengarahkan pandangnya padaku sekali lagi, matanya seakan
bicara, kemari, aku ingin katakan sebisik rahasia. Aku duduk tepat di belakangnya. Tanpa wajah, tidak ada nama,
selain sebidang punggung yang tampak setengah, leher yang terasa penuh karena
syal, potongan rambut sedikit acak-acakan.
“...kamu
tidak sedang ingin berpetualang, kamu tahu. Kamu tersesat, pemilik pulangmu
berganti alamat, kamu harus mencari tahunya, bukan menginap di apartemen asing
dan tak lagi kembali. Tuhan menciptakan cinta ketika sedang main dadu, berarti kita
bisa mencium kepergian sambil tertawa.”
Dia pasti pergi, tapi kamu sayang, mungkin juga tidak akan tinggal.
Suara
perempuan di mikrofon mengabarkan keberangkatan nomor penerbangan tertentu. Dia
beranjak tanpa menengok ke belakang, tapi kutemukan bukunya yang ketinggalan
dengan halaman pertama memiliki catatan tangannya: hai. kau tahu, beberapa detik lalu kupikir aku jatuh cinta padamu. tapi
kurasa kita berdua sama-sama memahami, kehilangan tidak suka bersahabat dengan
orang lain. Ia lebih suka sendiri.
Senja
benar-benar turun. Petang itu aku menebak-nebak: tidak ada satu pun bagian dari
lelaki tadi yang mengingatkanku padamu atau aku sebenarnya tengah berupaya
mencari-cari bagian mana dari lelaki itu yang menyerupai kamu, agar bisa
kubisiki jika memang Tuhan menciptakan cinta sambil main dadu, mungkinkah
sepanjang waktu kita mengucapkan jatuh cinta lalu pergi dan tinggal sambil
lalu.
*Tangerang yang mendung, 14.43
siang.
Mengenang 8 tahun lalu pada suatu sore di Soetta atau Polonia (agak lupa) dengan pesawat yang begitu delay, dan diam-diam aku memerhatikan seorang pria dengan laptopnya di belakangku. Aku pernah berpikir jatuh cinta padanya, tapi aku tak pernah percaya pada bandara – tempat pertemuan dengan mudahnya bersua salam perpisahan dan tempat waktu terasa begitu main-main.
Hehe bandara emang tempat yang bagus buat cuci mata :)
ReplyDelete