Malam
runtuh tepat di atas kepala, dan aku masih terjaga. Menyadari pil yang baru
kutegak semingguan ini tidak lagi berguna. Bulatan yang menerbitkan cahaya
notifikasi ponselku berkedap-kedip merah – kupikir bukan karena kebingungan
mencari cara untuk bertahan hidup, melainkan tidak tahu bagaimana meneruskan
rekaman yang kunyalakan sejak dua jam lalu. Mengetahui puisi-puisi yang baru
kueja semingguan ini tidak lagi berhasil. Padahal katanya, walaupun puisi tidak menyelamatkan apa-apa, di bibir
sajaknya bisa kukecap senyummu berulang kali setiap redup dan berharap*.
Tapi, gagal – tak jauh berbeda seperti cara bercerita lewat pesan-pesan yang dihapus
sebelum sempat memencet tombol kirim.
sumber foto: fairy tale tumblr |
Kita memang tidak bisa menyambut kesedihan yang punya baju baru dengan cara-cara dulu.
Menuju
satu pagi yang kehilangan bola mata, aku menarik switer biru tua yang menolak
kuganti sejak beberapa hari kemarin karena hanya itu satu-satunya benda punyamu
yang lupa kamu kirim balik saat kamu bilang tak punya lagi alasan untuk tinggal
di sini. Aku pergi menemani diri sendiri ke sebuah teater tua yang hampir
bangkrut karena bersikeras hanya memutar filem bisu hitam putih. Ada sisa tiga
sampai lima butiran popcorn yang menghitam di samping bangku, dua sedotan
bengkok di tangga, dan tiga wadah minum kertas yang ketinggalan di pojokan. Kutemukan
juga tiket nonton yang dicetak di kertas koran berbentuk kupon yang sudah remuk
di sudut-sudut kaki bangku, sedikit bau keju busuk dan suara pendingin ruangan
yang tengah bekerja keras.
Alasan lain mengapa aku menyukai teater yang sedang batuk-batuk ini, selain karena ia menyetia untuk menyimpan apa-apa yang tertinggal, ia juga menyerupai kita kadang-kadang.
Pincang tapi memaksa untuk
melangkah, pelan-pelan, lalu lupa kalau tak ada kaki yang ke mana-mana karena
sudah lama dipotong di meja lelaki berjas putih. Kita hanya pura-pura bisa
jalan, menyimpan kenangan-kenangan pernah berlari jauh sampai taman-taman yang
cuma ada di kepala.
Dari
sana, aku bertemu seorang lelaki asing yang kujawab asal iya ketika dia
mengajakku ke mana saja, kapan saja, dan jadi siapa saja. Dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan
yang ganjil untuk menarik seorang perempuan masuk ke kamarnya, bagaimana kalau
dia membawaku berdiri di sampingmu, saat ini juga, dan sekali lagi jadi kita.
Aku tidak menjawab iya atau tidak. Karena, bahkan
aku sudah lupa cara bertanya kamu lebih suka capuccino atau tiramisu. Aku tidak ingat cara bercerita bagaimana aku bisa sampai kafe itu. Lelaki tadi melepasku di persimpangan jalan menuju rumah, katanya ia tidak bisa meniduri kesepian yang sama.
Aku
pulang, melirik jam beker, masih menuju satu pagi – andai membekukan waktu
semudah mengoleksi jam rusak. Lagipula,
mengapa manusia membuat jam ketika kesedihan dan kebahagiaan tak pernah tepat
waktu*. Dan kali ini tidak ada pil, atau buku puisi lagi. Hanya ada namamu
di layar ponsel yang bergetar sekali, pesan darimu yang menanyakan switer biru
tuamu. Aku tersenyum, kamu memang pemilik patah hatiku yang kucintai sepanjang
waktu.
*dikutip
dari ‘Puisi Tidak Menyelamatkan Apa-apa’ karya Aaan Mansyur
*dinukil
dari ‘Percakapan’ karya Agus Noor
0 Comments:
Post a Comment