Thursday, 29 December 2016

Meminjam Sapardi untuk Bilang Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana Seperti yang Sudah-sudah


aku pergi ke pasar tadi pagi, Sapardi ada di mana-mana. puisiku basah sebelum sempat aku kirimkan untuk dibaca olehnya. padahal, aku ingin bilang padanya kalau aku baru saja bertemu seorang lelaki setahun lalu dan menemukan sederhananya kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. aku mengenalnya lewat suara yang dipakainya memanggil namaku seraya mengetukkan punggung jemarinya di atas meja kantor. dan, waktu itu april, ia memberiku kakek berjenggot dua belas dua puluh lima, tapi bukan itu yang benar-benar kuingat sebagai hadiah ulang tahun. namun ketika dia mengeluarkan kertas catatan kuning kecil dari balik saku jaket hijau tuanya saat aku bilang, aku terlalu banyak dan terlampau penuh menampung bagian-bagian yang dia pernah bilang tak pernah damai dalam diriku. dia membelinya entah di toko apa, semenjak itu dia tidak tahu, dia berhasil membuatku membiarkan diri dibaca satu persatu. 
sumber foto: Tumblr

dia pemilik puisi-puisiku. 

aku ada di pasar tadi siang, Sapardi ada di mana-mana. puisiku kuyup sebelum sempat aku berikan untuk dipindai olehnya. padahal, aku ingin bilang padanya kalau aku baru saja bertemu seorang lelaki enam bulan lalu dan menemukan sederhananya isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. aku menghabiskan sisa-sisa ruang untuk kenangan dengannya dan ini hal-hal yang kuingat: dia memundurkan langkah saat menaiki eskalator untuk menyamai laju kakiku, mengeluarkan ponsel di sebuah festival untuk segera mengunduh aplikasi asing yang sama sekali tidak dia tahu karena tahu aku tertarik dengan stannya, sampai membuka peta digital ketika pertama kalinya mencari tahu posisi rumah mungilku, tiba-tiba mengganti foto profil dengan kartun-kartun yang kupakai untuk mencandainya, benar-benar membeli buku yang kusebut sambil lalu, namanya muncul mengisi kuesioner yang targetnya harusnya bukan dia, dan kerap melempar pandang sebentar ke arahku setiap asyik bicara dengan orang-orang yang penasaran dengannya. 

bagian-bagian itu, yang luput, yang abai, yang lupa, yang katanya tak punya tempat di ingatan, baru kusadari justru hanya bisa ditemukan dua jenis orang: penguntit idiot yang profesional atau aku yang sedang jatuh cinta.

aku pulang dari pasar tadi malam, Sapardi tak ada lagi di mana-mana. puisiku tenggelam di genangan air pinggir jalan sebelum sempat aku poskan untuk dipayungi olehnya. padahal, aku ingin bilang padanya kalau aku baru saja bertemu seorang lelaki sabtu ini, di depanku, dan menemukan sederhananya selamat natal dan tahun baru bisa jadi begitu istimewa dengan membacakannya puisi aku ingin mencintaimu dengan sederhana.  

tangerang yang hujan
ditulis pada satu setengah jam menuju pukul nol-nol, malam sabtu di pojok kamar yang berisik
Desember 08, 2016

0 Comments:

Post a Comment