Jika
kamu setuju tiap orang punya kematian-kematian kecil yang mereka simpan
sendiri, kamu mengiyakan setidaknya dua hal ini: pembunuhnya adalah kita
masing-masing dan setiap harinya adalah perjuangan menyelamatkan diri. Tidak
mengherankan, sayang, kita bahkan disebut sebagai cinta yang berjihad melawan
trauma*.
sumber gambar: favim.com |
Tapi
hari ini, aku menolak mendongengkan cerita-cerita yang memakai kata kita.
Terlalu banyak bisa berbahaya, karena akan kamu muntahkan. Tulisan yang
memuja-mujimu juga terlampau manis hingga aku ketakutan kamu hilang karena
tertelan. Sesekali, aku ingin telanjang dan biarkan kamu membaca aku.
Menelusuri lekuk tubuhku sebagai konflik-konflik yang kamu telusuri dengan
penuh kejutan. Dan, kamu menyadari aku tak pernah sesederhana kelihatannya.
Pertanyaannya, mungkinkah cinta masih terasa sama dan polos seperti kali pertama, lalu tulus layaknya tepatnya ikrar sepanjang masa, ketika kamu tahu aku tidak seperti ramalan-ramalan lucu zodiak di halaman belakang majalah langgananku, hasil sebaran tarot yang memunculkan kartu-kartu keberuntungan, dan fantasi-fantasimu.
Aku
ingin mengajakmu jalan-jalan. Aku tidak memikirkan Paris atau Leiden. Aku hanya
ingin mengamit tanganmu, jalan ke mana saja, tanpa peta, tanpa ponsel yang
membantu hidup orang-orang – sekaligus
meremukkan kehidupan itu sendiri-, aku ingin kita tersesat – sampai harus
terpaksa masuk ke toko yang menjual cindera mata yang bentuknya unik jika tidak
ingin disebut aneh, sebagai orang asing yang kedinginan dan lupa caranya saling
mendekap satu sama lain. Lalu, di sana kita tidak membeli apa-apa, karena
anggap saja kesialan sedang jatuh cinta pada kita berdua karena dompet yang
kita bawa kecurian oleh anak kecil yang kelaparan di pasar buah tadi pagi. Kita
berlagak bagai pendatang yang cukup kaya untuk bahkan membeli seisi toko itu,
kamu mulai bertanya-tanya tentang barang-barang kecil antik favoritmu dan
mengabaikan yang paling aneh dan berdebu, misalnya kaca mata berkaca bulat
dengan bingkai hitam yang kalau melihatnya mengingatkanmu pada Batavia dan
sepeda ontel. Kamu merasa tidak ada yang menarik untuk dibeli – selain kehangatan
toko itu yang kamu ambil dengan cuman-cuman, kamu mengajakku menginap di sebuah
tempat pelacuran yang menyulap diri jadi motel murah.
Kamu begitu berani seolah kamu adalah lelaki yang paling bisa dipercaya dan kamu begitu tahu aku – sedangkan kita terlalu banyak menyimpan tetapi dan menyembunyikan padahal.
Kamu
tak menyadari aku diam-diam membeli kaca mata tua itu dengan menukar kalung
hadiah dari sahabatku, hanya karena aku merasa si kaca mata terasa mirip
denganku.
Cermin
entah keseratus berapa yang kuretakkan. Kamu mendengus, mengingat jumlah
tagihan termasuk cermin yang hampir pecah yang akan dikirimkan ke rumahmu. Kamu
tidak benar-benar mengeluh, kamu tahu aku punya hobi menghancurkan
cermin-cermin tiap selesai mematut diri yang tak jauh-jauh dari menyisir rambut
yang lebih sering kusut dan rontok. Jadi kamu tidur lagi dengan laptopmu yang
menyalakan pekerjaanmu yang tak kunjung selesai. Kadang, kita merasa paling
tahu tentang seseorang yang kita cintai hanya karena kita hafal
kebiasaan-kebiasaannya, lantas lupa kita terlalu merasa tahu hingga kehilangan
cerita dan alasan-alasan yang menyertainya. Dan, malam ini ketika kamu lelap
dalam dengkuran, aku dirajai keresahan yang senyap bunyinya hingga tak pernah
kamu dengar: tak tahu mengapa harus tidur selain melarikan diri, dan hilang
alasan terus terjaga kecuali membunuh diri.
Anggap saja perjalanan ganjil kita sudah berakhir, ini saatnya pulang. Kamu dengan romantisnya seperti tokoh-tokoh cowok di komik Jepang, bilang dengan herannya, Kita pulang? Bukankah selama ini aku memang sudah pulang? Rumahnya kan kamu. Lengkap dengan terkekeh hehehe yang kubilang tak cocok untuk orang penyuka warna hitam sepertimu.
Aku ikut terkekeh – kamu kira aku terbang
hingga atap kamar motel jebol. Sedangkan aku baru saja belanja berbagai wajah
di supermarket kemarin malam saat kamu sudah tidur dengan mimpi jadi raja. Tak
ada satu pun yang cocok denganku tapi tak apa aku akan menyayangi
kepura-puraan. Aku akan belajar menciumi penolakan-penolakan dalam diriku. Kamu
tahu, kamu pernah hilang dan aku justru memeluk kehilangan itu bagai kekasihku,
mendamaikannya sebagai bagian kosong dari diriku yang baru. Aku tak pernah
memusuhi hal-hal baru yang harusnya dibuang, aku sebaliknya memindai cara
mencintai mereka, termasuk kamu dan aku.
Aku
orang yang rumit, pada akhirnya itu yang kamu katakan sebelum balik ke
apartemenmu. Aku diam saja, menurutku itu pernyataan paling konyol setelah dua
tahun kita bersama dengan kebersamaan singkat yang kita banggakan. Tidak ada
seorang pun yang tidak rumit. Tapi, aku kesal juga, maka sebelum kamu sempat
menutup pintu kamarmu, aku menahan tubuh pintu dengan cepat – menarik lenganmu
dengan kasar. Lalu, aku katakan kalimat-kalimat pengandaian aneh ini: indomie favorit
yang sudah kadaluarsa tiga bulan, lagu-lagu yang paling kamu suka tapi akhirnya
bosan karena diputar lebih dari belasan kali setiap hari, cokelat-cokelat
Valentine salah alamat, boneka kesayangan yang sudah hitam dan jatuh ke kolong
tempat tidur dan tidak dicari pemiliknya lagi, suara sumbang pengamen jalanan, kuku-kuku
panjang berkuteks ungu gelap yang dibiarkan mengusam, benda-benda kenangan di
gudang yang tak berguna tapi tetap enggan dibuang, ada banyak lagi lainnya tapi
aku kehabisan napas.
Ah, satu lagi, kaca mata tua yang aku beli diam-diam tanpa sepengetahuanmu. Kamu bertanya apa. Aku jawab itu semua terasa seperti aku. Lalu kamu menambahkan, kalau begitu cintamu juga termasuk salah satunya.
Aku
tertawa. Kamu masih mengirim selamat pagi dan semoga punya hari yang indah,
lalu aku juga masih meneleponmu bilang mau mendengar suaramu dan semua kembali
semula: berwarna dan bernyawa.
*dikutip dari puisi Joko Pinurbo
0 Comments:
Post a Comment