Aku
sedang dalam perjalanan pulang, menggenggam ponsel berbaterai lima persen yang
masih kupaksa memutar daftar lagu. Mobil yang membawaku itu melaju cepat
membelah jalan lenggang pada Minggu siang, berlomba dengan arak-arakan awan
mendung dari kejauhan. Rasanya berisik sekali: radio mobil dinyalakan, dua anak
kecil mengobrol tentang games terbaru di tablet masing-masing, dan supir yang
mengomentari pilkada Jakarta. Tapi, lagunya masih hidup, samar-samar namun
jelas mengeja kerinduan si penyanyi pada istrinya yang dipisahkan dalam ketuk
palu perceraian. Aku menembus pandang ke luar kaca jendela yang kabur karena
rintik hujan yang sudah kering dan enggan beranjak karena lama tidak
dibersihkan. Aku jadi teringat pertanyaan-pertanyaan lugu kita dulu saat kecil
pada ibu guru: kenapa pemandangan di luar sana seperti lari begitu cepat
meninggalkan kita ketika bus studi tur mulai mengebut maju? Tawaku tergelak,
kecil. Si penyanyi masih berteriak di telingaku, tentang dunia yang melawan
mereka dan sisa ucapan ‘kita’ lama perlahan jadi ‘kamu dan aku’, lalu tanpa
kata penghubung – berdiri sendiri, masing-masing.
Tawaku
muncul, tawar. Pohon-pohon berpaku, rambu yang sudah tak menyala selain lampu
kuningnya yang kedap-kedip, kabel-kabel listrik dengan sangkutan layang-layang,
terik yang sesekali mengintip dari barisan awan tebal, sampai deru mesin
pesawat yang kadan kala kupikir terbang terlalu rendah, berlari cepat menjauhi
mobil yang membawaku – seperti bus kuning studi tur kita dulu. Masih sama
layaknya tahunan lalu itu, dari gerak cepat pandangan dari balik jendela
kendaraan, yang mengabur, yang memudar, yang berbayang, pelan-pelan aku melihat
kamu. Satu kedipan kemudian hilang. Bedanya, dulu aku tak pernah takut, karena
aku hanya perlu menengok sebentar saja untuk memastikan kamu memang di sini
masih memakai kita untuk menjelaskan ke orang-orang perihal kejahilanmu
menempeli kursi guru dengan permen karet, soal ide menukar tanda palang toilet
untuk perempuan dan laki-laki, tentang melompati pagar sekolah saat terlambat,
mengenai permainan rumah-rumahan dengan kamu adalah pangeran dan aku seorang
putri, dengan boneka beruang sebagai si bayi. Masih kita.
Aku hanya perlu menengok ke samping – tak peduli itu kanan atau kiri – tempatku adalah tepat di sebelahmu, dan tempatmu adalah benar di dalam bagian istimewa ruang hatiku.
Aku masih bisa merasakan
hangatnya tubuhmu ketika mendekapku dalam lugu, dengan seribu keceriaan di
mana-mana.
sumber gambar: johpavlovitz.com |
Aku
menarik napas, panjang. Udara segera memenuhi rongga dadaku. Segalanya terasa
sesak, tapi aku tahu bukan karena itu. Potongan lagu tadi sudah lama mati,
sebelum sempat selesai. Ponselku kehabisan cara untuk tetap hidup. Racauan dua
anak itu mendadak berganti suara dengkuran. Radio mobil tiba-tiba bervolume
rendah. Komentar pilkada menjelma jadi gerutuan akan jalan yang tiba-tiba
diperangkap lengkingan klakson. Laju tersendar-sendat, sesekali geraman mesin
yang terbatuk-batuk, jadi latar sayup-sayup yang menembus ruang dalam mobil.
Jendela yang membingkai pandangan di luar sana menampakkan wajahnya dan
menjelaskan dirinya perlahan-lahan. Dan, tak ada kamu di sana. Mataku terus
terbuka dan kamu memang tidak pernah ada. Aku mengerjap berkali-kali, yang
kudapati adalah gambar-gambar acak yang tak mampu menyusun dirinya jadi utuh.
Aku menengok ke samping, ke segala arah yang kupikir mungkin, aku merasakan
dinginnya memeluk kehilangan dengan seribu kesedihan yang berceceran di mana
saja. Sesaknya tetap sama, dan perasaan itu masih belum mau selesai jalan-jalan
ke museum yang isinya obituari cerita kita.
Dua jam. Aku sampai rumah dengan muka lusuh, baju acak-acakan, dan perasaan yang berantakan.Membuang ponsel ke sembarang sudut, menjatuhkan diri ke atas kasur yang tak pernah kubereskan sejak bangun tidur pagi tadi, rasanya tak jauh berbeda keadaannya dengan meja kerjamu. Aku mengangkat kepalaku, menemukan boneka terakhir yang kamu hadiahkan dengan sederhana, aku meraihnya, mendekapnya erat berpikir akan menemukan bau tubuhmu di sana. Aku beranjak dari tempat tidur, mataku menubruk tumpukan buku-buku berdebu, sama seperti surat-surat padamu yang tak pernah sempat kukirimkan hingga akhirnya jadi abu. Aku keluar dari kamar, menenteng laptop hitam yang tak pernah kuberi nama, ke halaman belakang rumah, menulis ini – seperti mengunjungi sajak-sajak puisi kenangan yang tidak mau menamatkan diri. Seperti hidup terus di masa lalu asalkan kamu ada di sana dan tak pergi. Seperti kamu dan aku, yang dulu janji akan selalu pulang lagi dan kembali.
Tapi semesta memiliki rencana lain, yang tak kuasa kita ingkari. Tapi Tuhan punya skenario lain, yang tak mungkin kita pungkiri. Tapi. Tapi. Tapi. Sejak kapan cinta diperangkap tetapi?
Sebenarnya.
Sesungguhnya. Sebetulnya, sayang.
Di luar tetapi-tetapi, kamu tahu aku masih di sini. Mencintaimu dan menolak untuk berhenti.
0 Comments:
Post a Comment