Rak-rak
bercat kelabu tua yang terbuat dari besi kokoh, berdiri rapi membelah luasnya
ruang perpustakaan. Tiap rak menyimpan jejeran buku-buku yang berbaris berdasar
klasifikasi desimal Dewey, mereka – buku-buku
itu – menunggu siapa saja datang untuk mengajak mereka mengobrol dalam
‘percakapan’ yang sunyi: membaca. Satu persatu punggung mereka, diberi label
pengenal. Lalu, disusun bersama teman-teman segenre mereka dalam rak bernomor
khusus agar satu sama lain bisa nyaman dan terawat. Tujuannya satu: biar
buku-buku bisa awet muda, dibaca berkali-kali tetap bagus kondisinya dan tahan
lama buat para pembaca. Andai buku-buku tersebut bisa bicara, mungkin mereka
akan banyak bercerita tentang para perawat telaten mereka; sosok-sosok
pustakawan, yang salah satunya adalah Saif Haromain Al-Fashi, atau akrab
dipanggil Mas Saif.
Ditemui
di ruangannya pada bagian pengembangan koleksi perpustakaan Universitas
Multimedia Nusantara (UMN), Saif, yang siang itu mengenakan kemeja biru laut
bermotif garis kotak-kotak kecil berpadukan jeans berwarna gelap, membagikan
sembilan tahun lebih kisahnya menggeluti bidang pustaka. Mengikuti kisah Saif,
seperti membolak-balik halaman buku favorit yang dipunya, dan mendapat sesuatu
dari sana.
Merebut Bangku Perpustakaan UI
Tahun
2005 adalah tahun genting bagi Saif. Baru lulus ujian nasional dari SMA 8
Bogor, Saif dihadapkan pada pilihan dari Bapaknya: masuk pesantren atau
Universitas Indonesia (UI). Alasannya sederhana,UI memiliki penawaran diskon
bagi anak yang orang tuanya adalah pegawai di UI, yang mana kebetulan kala itu,
Bapaknya sehari-hari bekerja sebagai office boy di perpustakaan universitas
tersebut.
“Maklum, Bapak tak punya biaya untuk menyekolahkan saya ke kampus swasta, jadi antara ke pesantren yang lebih murah masuknya atau ke UI karena diskonan. Terlebih lagi, kakak sudah kuliah di sana, dan keluarga maupun tetangga selalu membanggakan masuk UI adalah hal yang prestisius. Bisa dibilang, saat itu ‘UI minded’ banget, akhirnya saya memilih ke sana,” ujar Saif, mengenang masa-masa juniornya dulu seraya tertawa-tawa.
Dan,
perjuangan pun dimulai. Saif mengincar peminatan Manajemen dan Perpustakaan.
Lambat laun, pilihannya mengerucut pada jurusan Perpustakaan saja, karena
persaingannya tidak lebih banyak dari Manajemen. Tapi merebut bangku
Perpustakaan UI bukanlah perkara mudah juga, karena satu bangkunya bisa
diperebutkan oleh belasan orang. Alhasil, setiap harinya Saif pergi ke toko loak
untuk mencari buku-buku bekas sebagai bahan belajar. Selain tekun mendalami
materi-materi ujian masuk hingga subuh, pria yang menjadi anak kedua dari empat
bersaudara ini mendadak tekun beribadah. Shalat lima waktu dijalaninya sampai
berdoa siang-malam. Sampai-sampai, Bapaknya menyeletuk, andai kata Saif
nantinya diterima UI, itu berkat 90% doa, 10% kecerdasannya. Akhirnya memang
membahagiakan. Usaha keras dibarengi daras doa, Saif diterima UI, penjurusan
Perpustakaan.
“Ada yang lucu saat orang-orang tahu saya diterima di UI. Pas ditanya kuliah dimana, saya jawab UI, semuanya menggumam bangga. Lalu ketika ditanya lagi ambil jurusan apa, dan saya bilang perpustakaan, mereka cuma diam dan melongo bingung sambil ngomong ‘emang ada ya?’,” lontar Said dibarengi tawa.
Awalnya
memang seperti ‘dipaksakan’ mengambil studi tersebut karena keterbatasan
pilihan dan desakan keadaan, namun semakin hari, ia tahu pilihannya tak pernah
salah. “Sampai hari ini, saya masih kerap ketemu orang-orang yang mencemooh
jurusan ini, atau profesi pustakawan. Biasanya akan saya ajak ngobrol, kasih
tahu benefit ambil (peminatan) ini dan hal-hal menariknya di sini. Kebanyakan
yang mencemooh adalah mereka yang lebih berorientasi ke perut (baca: uang), ini
dianggap profesi yang enggak menghasilkan ke depannya, tanpa tahu dari sini
kita juga bisa berkembang banyak, terlebih lagi segi pengetahuan.”
Tak
peduli apa kata orang, Saif terus menjalaninya, sebab lentera jiwanya sudah ada
di sana. Bukti keberhasilannya tertoreh dengan pengalaman sembilan tahun lebih
menjadi pustakawan di perpustakaan-perpustakaan kampus, sampai menangani proyek-proyek
terkait taman baca.
Dari Perpustakaan Anak Jalanan
Sampai Books Cafe
“Salah
kalau pustakawan itu kerjaannya cuma ngurus buku-buku. Kita juga banyak berinteraksi
dengan orang-orang dan melayani kebutuhan informasi mereka. Dan, yang paling
berkesan bagiku adalah saat pernah membantu CSR Perusahaan Sony untuk
mendirikan perpus di SD Karet 01, Kuningan,” lanjut Saif, seraya melempar
pandangnya ke luar jendela, mengamati ragam laku mahasiswa memilih buku-buku.
Proyek
CSR tersebut selain mengharuskan Saif membuat konsep matang tentang
perpustakaan yang layak bagi anak-anak SD, ia juga diminta terjun dan terlibat
langsung di lapangan. Saif pun ikut melakukan story telling bekerja sama dengan komunitas ‘Ayo Dongeng’. Dari
sana, Saif menyadari kecintaannya bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak.
Karena itu, ia pun menyatukan dua passionnya; dunia pustaka dan anak-anak, Saif
kembali melibatkan diri dalam proyek pembangunan perpus lainnya bersama BIN
(Bina Insan Mandiri).
“Waktu itu, kita bangun (perpus) di Terminal Depok. Perpus ini khusus untuk anak-anak jalanan. Selalu ada kebahagiaan sendiri melihat anak-anak itu membaca, memanfaatkan pengetahuan yang terbuka di hadapan mereka dari tiap buku yang ada,” tandas pria yang pernah menjadi asisten kepala perpustakaan Swiss-Germany University (SGU) selama empat tahun itu.
Lewat
cerita-cerita pengalamannya, Saif seakan menegaskan, menjadi pustakawan tidak
melulu berkutat dengan buku-buku. Ada banyak skills yang harus dipunya, mulai
dari kemampuan berkomunikasi, niatan belajar terus-menerus, memahami database
pengunjung, hingga terjun juga ke bagian TI mengurusi data-data buku digital,
jurnal dan lain-lainnya. Lebih jauh bagi Saif, setidaknya seorang pustakawan
membutuhkan tiga kemampuan utama, yakni marketing,
communication, dan design.
Karenanya, Saif tak pernah berhenti untuk terus meningkatkan dan mengembangkan
dirinya, terlebih ketika ia punya satu cita-cita: me-rebranding perpustakaan.
“Perpustakaan itu seperti gudangnya informasi. Dan, jadi pertanyaan kenapa orang-orang jarang atau bahkan tak berminat ke perpustakaan, berarti ada yang salah. Bukan hanya pada perilaku baca masyarakat tapi tampilan perpustakaan. Perlu ada perubahan dan terobosan,” sambung Saif bersemangat ketika hendak menjelaskan impiannya.
Perpustakaan
butuh pembaruan. Dari sisi desain, perpustakaan tidak boleh kaku, harus
mengikuti zaman. Jika sekarang arah trennya adalah tempat nongkrong, jadikan
perpustakaan sebagai pilihan utama orang-orang untuk habiskan waktu dengan
konsep books cafe: sediakan bar kopi,
wi-fi gratis, sofa nyaman dengan
koleksi majalah tematik terbaru, sulap dinding dengan wallpaper yang berisi kutipan-kutipan cantik dari buku populer maupun
serius. Giring masyarakat yang awalnya hanya sekadar nongkrong, jadi berniat
baca buku.
Setelahnya,
para pustakawan dibekali gaya komunikasi yang interaktif dan fleksibel. Tidak
hanya membatu penyediaan informasi, tapi juga pencariannya. Misalkan,
pengunjung tidak menemukan koleksi yang diinginkan, pustakawan bisa secara
aktif merekomendasikan daftar buku yang topiknya serupa, meriset tempat baca
mana yang masih memiliki koleksi tersebut, dan lain-lain. Ketika sisi desain
dan komunikasinya terpenuhi, tantangan berikutnya ada pada marketing.
Perpustakaan sudah siap, sumber dayanya juga telah mumpuni. ‘Menjual’ perpus
seperti ini juga tidak bisa dengan gaya konvensional, tapi harus memanfaatkan
media kekinian. Contohnya, buat akun Snapchat
resmi, rekam video singkat yang menceritakan asyiknya berdiskusi di ruangan
khusus di perpus, atau via Instagram,
ajak para pustakawan mengunggah foto bersama kutipan di dinding-dinding.
“Banyak yang harus dibenahi jika benar-benar ingin mewujudkannya serempak. Tapi saya yakin bisa, saya ingin buat orang-orang bangga punya kartu perpustakaan,” celetuk Saif kemudian.
Ajakan Berteman dengan Buku
Merombak
penampilan perpustakaan memang menjadi fokus impian Saif ke depannya, tapi itu
bukan satu-satunya yang jadi perhatian pria penyuka buku-buku manajemen marketing dan self improvement ini. Apalagi ketika Saif dihadirkan fakta bahwa
Indonesia berada di posisi 60 dari 61 negara, ranking terbawah dalam hal minat
baca masyarakatnya.
“Ini memang jadi persoalan. Terutama karena sistem pendidikan yang lagi-lagi kaku, murid-murid jadinya menganggap sumber pengetahuan adalah buku cetak sekolah dan silabus yang ditunjuk pengajar. Eksplorasi terhadap bahan bacaan jadi lemah. Tapi, kami dari jajaran perpus sudah berupaya membangun lagi minat baca ini. Terakhir, kami meluncurkan lomba resensi buku agar jadi sebentuk pancingan.”
Selain
kompetisi resensi, Saif bersama kawan-kawan pustakawan, giat membuka kelas
Literasi Informasi bagi mahasiswa UMN, yang isinya teknik-teknik mengumpulkan
referensi dan bacaan secara tepat, cara mengutip yang benar untuk laporan
ilmiah, belajar menggunakan e-library,
dan sejenisnya. Pelatihan-pelatihan dalam bentuk kelas perbulan itu, digelar
gratis. Tak hanya berkontribusi di internal saja, Saif juga tergabung dengan
komunitas 1001 Buku yang dibuat seorang pustakawan dengan tujuan membangun
rumah baca di sepanjang pinggir Pulau Jawa. Kesemuanya adalah upaya Saif
menghidupkan gerakan membaca. Dan, untuk menjawab tuntutan era daring, yang
erat dengan konsep e-book, e-paper,
e-journal dan bacaan elektronik lainnya, Saif bersama teman-teman
pustakawan sedang menyiapkan dan mengemas perpustakaan hibrida, yang
mengombinasikan dan menyediakan buku fisik dan versi digital.
“Membangun minat baca butuh tahapan dan proses tersendiri mengingat masyarakat kita belum melek literasi atau reading society. Ini sama seperti buku yang punya perjalanan dan masalahnya masing-masing, perlu perlakuan dan perawatan khusus,” ujar Saif, sekaligus menutup obrolan panjang nan inspiratif sore itu.
kiri kanan: Saif dan Veronica. Ini fotoku bersama pustakawan favorit! |
Fakta-fakta
Lain Tentang Saif Haromain
- Buku Favoritnya adalah 5 cm karya Donny Dirgantoro
- Kutipan yang paling disukainya adalah ‘cinta itu seperti menggenggam pasir, bila genggamannya semakin erat, ia akan berhamburan. Sebaliknya jika direnggangkan dan dilepas, maka ia akan habis ditiup angin’
- Idola dalam hidupnya adalah Farichatur Rasyidah, yang tak lain dan tak bukan adalah kakak perempuannya sendiri. “Aku selalu kagum sama kakak, ia sosok yang tangguh, dan baik sekali. Ia yang subsidi biaya kuliahku dulu.”
- Lahir di Jakarta pada 1987, tanggal ulang tahunnya 12 Oktober
- Perpustakaan bagi Saif itu, “...bukan cuma ruang nyimpan buku, tapi tempat terlahir dan terciptanya kreativitas.”
- Sekarang jadi pustakawan di perpustakaan Universitas Trisakti
- Pesan Saif, “Buat jadi pustakawan, enggak harus mencintai buku kok, asalkan ada niat menjadi garda terdepan penyedia layanan informasi. Dan, dalam memilih profesi, bukan memilih yang buatmu kaya, tapi pilihlah yang dalam menjalaninya buatmu bahagia.”
@UMN Library
0 Comments:
Post a Comment