Potongan
rambut keritingnya yang dipangkas pendek dengan poni digimbal rapi, menjadikan ‘mahkota’
yang dipunyainya langsung mencuri perhatian. Ditambah lagi kulit cokelat
kehitaman yang membungkus postur tubuh tinggi nan
tegapnya, berhasil membuat perempuan itu terlihat mencolok di antara mahasiswa
yang tengah berkumpul di Kompas Corner. Tak heran jika aku langsung mengenali
sosoknya. Ia yang hari itu mengenakan atasan kemeja merah marun berpadu dengan
blouse kelabu tua, spontan berdiri menyambutku dengan seulas senyum ramah. Aku
akrab memanggilnya Lina, seorang gadis Papua tangguh yang sekarang tengah
menempuh strata satu Ilmu Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara.
Line (di tengah), ketika mengikuti orientation leader di Curtin University |
Dari
provinsi terluas di tanah air itu, ada sejumlah keping cerita yang disimpan
Lina, berangkat lewat perjalanannya menyapa perbedaan-perbedaan di lingkungan
sekitar. Perjalanan yang punya kisah tersendiri, karena tak sebatas di ibu kota
saja, namun luar nusantara jua. Padanya, kita diajak menerjemahkan ulang makna
keberagaman, dan bercermin sekali lagi tentang warna lain Indonesia.
“Kedua orang tua asli Papua. Kampung halamanku di Jayapura, tapi aku besar dan menghabiskan masa sekolah di Timika. Numpang lahir di Jakarta. Les Bahasa Inggris untuk mengasah IELTS/TOEFL di Makassar. Sempat kuliah di Australia dan Malaysia, sebelum kembali ke Indonesia. Karena aku hidup pindah-pindah, aku jadi punya cerita untuk setiap tempat,” ujar perempuan dengan nama lengkap Herlina Anace Yawang, tanpa sekalipun menanggalkan senyum dari bibir ranumnya.
Sesekali ia terlihat sibuk mengecek berkas-berkas tulisan yang masuk ke surel
Kompas Corner dan meladeni beberapa pertanyaan dari beberapa teman kelasnya, di
sela-sela obrolanku dengannya. Lina memang mahasiswa yang benar-benar aktif,
selain memegang andil sebagai editor Kompas Corner, ia juga bertanggung jawab
dalam kepengurusan lakon ‘Les Miserables’ Teater Katak milik kampus, serta
menjabat sebagai bendahara komunitas Pojok Sastra. Namun, di tengah sibuknya
manajemen prioritasnya, Lina masih sempat meneruskan cerita.
Lina
baru duduk di bangku kelas satu SMA ketika menerima beasiswa dari Prof. Yohanes
Surya untuk belajar di Surya University. Ia tidak langsung kuliah, melainkan memperdalam
ilmu eksatanya di universitas tersebut. Awalnya ia sempat kaget, perubahan
tempat tinggal dan budaya antara Papua dan Tangerang Selatan, sama sekali
berbeda. Belum lagi, setelah dua tahun ia menamatkan sekolahnya, ia langsung
dikirim ke Australia dan Malaysia untuk melanjutkan jenjang studi lebih tinggi.
“Aku ketemu macam-macam orang dari banyak negara ketika di Curtin University, Australia. Mereka sering tanya asalku dari mana, ketika kujawab Indonesia, sebagian besar dari mereka enggak percaya. Mereka bilang; memangnya di Indonesia ada orang berkulit hitam? Saat itulah kujawab, tentu saja ada, Indonesia memiliki Papua, salah satu tempat yang menyumbang ragam warna Nusantara,” sambung perempuan yang sore itu mengenakan kemeja merah marun berpadu blouse abu tua, dengan nada berapi-api.
Kejadian
sama juga terjadi ketika Lina singgah berkuliah di Malaysia, teman-temannya
mengira ia berasal dari Afrika atau negara dengan ras kulit hitam lainnya. Sesesering
itu juga Lina harus menjelaskan ia dari Indonesia; yang akhirnya membuat mereka
bertanya-tanya, sekaligus memandangnya takjub bahwa Indonesia sebegitu kaya dan
luasnya, bukan terbatas pada tanahnya tapi juga budayanya. Ada surga kecil keanekaragaman
di sana. Terlebih ketika Lina sering menceritakan kebiasaan dan tradisi Papua
yang dimilikinya.
“Ada waktu ketika aku merindukan rumah; tempat kenangan kecilku tumbuh subur dan ceritaku pertama dirajut. Dulu saat di Papua, kalau ada perayaan ulang tahun atau syukuran diperingati dengan menggelar bakar batu. Itu tradisi khas, yang mana batu-batu dikumpulkan di halaman rumah untuk dibakar besar-besaran di atas tanah yang sudah digali. Di dalam tanah tersebut, ada sayuran dan daging yang sudah ditimbun supaya matang oleh panas batu di atasnya. Enggak jauh beda sama panggang-memanggang. Menariknya, pas aku ceritain ini ke teman-teman, mereka langsung ajak aku barbekyu-an.” Lina tertawa ketika mengingat momen itu. Betapa banyak hal yang harus disesuaikan Lina di tempat baru, tapi ia tidak menganggapnya sebagai persoalan, sebaliknya hal tersebut adalah kesempatan bagi Lina untuk siap menerima pengetahuan dan budaya baru sebagai lahan belajar.
Tak
heran jika proses adaptasi diri, telah jadi sesuatu yang akrab bagi Lina.
Perbedaan yang ditemuinya sehari-hari membantunya memahami makna keindahan
sesungguhnya. Walau keadaan-keadaan kecil yang ditemukan Lina terus-menerus
mengingatkan akan perbedaan yang nyata, seperti sisir kayu khusus untuk
menyisir rambut keriting khas Papua tidak akan ditemuinya di negeri Kangguru
maupun Jiran, tas anyaman dari kulit kayu kesayangannya yang tak dijual di
Tangerang, tatapan pasang mata tiap orang yang penasaran dengan rambut keriting
Papua miliknya, tradisi dari kampung halaman yang sulit dijalankannya di kota,
dan keadaan-keadaan asing lainnya. Lina tak lantas mengeluh, apalagi menyuarakan
perpecahan.
Sebaliknya,
ia bersama kawan-kawan sesama darah Papua yang bersekolah dan berdiam di Perth,
bahu-membahu menciptakan komunitas khusus yang mewadahi keunikan budaya Papua
dan Indonesia. Dan, selalu saja ada orang-orang yang mampir dalam pertemuan
komunitas itu untuk bertanya tentang apa yang Lina dan kawan-kawannya bagi.
Lantas mereka saling bertukar kebudayaan, menyatukan pemahaman dengan saling
terbuka satu sama lain.
Lina
juga mengaku di kampusnya sekarang, Universitas Multimedia Nusantara, tanpa
membangun komunitas khusus pun, banyak teman-temannya yang aktif mencari tahu
dan akhirnya melahirkan diskusi kebudayaan. Tidak ada yang berusaha
sikut-menyikut untuk berdiri di depan dan menyatakan keunggulan sendiri.
Perbedaan yang terjadi dan ketidaksepakatan tak dilihat sebagai percikan menuju
masalah, justru dialami sebagai rahmat.
Selain
itu, Lina juga punya satu misi pribadi: me-rebranding
Papua. Lina ingin Papua dilihat sebagaimana yang selama ini banyak diberitakan:
tempatnya konflik bersenjata, gerakan separatis, hingga tanah yang tertinggal
dari teknologi.
“Aku mau Indonesia membicarakan perbedaan bukan sebagai kesenjangan, melainkan kesetaraan dan keberagaman yang patut diapresiasi dan dikenalkan. Sebab, keberagaman adalah surga kecil di depan mata, ia buat siapapun belajar sesuatu dan jadikan budaya lebih hidup.” Karena itu, Lina berupaya tanpa henti untuk mengoleksi pengalaman dan mengumpulkan ilmu sebanyak dan setinggi yang ia bisa. Bukan untuk mencapai target pribadi nan berkualitas saja, tapi demi persembahan bagi rumahnya di Papua, juga tanah airnya; Indonesia.
Kunci
kesatuan sesungguhnya terletak pada masing-masing individu. Menghargai
keanekaragaman Nusantara tidak cukup hanya diam di tanah air, lantas berkata
bangga bahwa budaya-budaya yang ada adalah bagian dari kesatuan negaranya.
Begitu saja, tanpa aktif berbuat apa-apa, hanya akan berujung sia-sia. Setiap
orang perlu untuk keluar dari zona nyaman; pergi ke mana saja, ke tempat yang
mana seseorang tersebut jadi minoritas, jadi pihak yang belajar menyesuaikan,
jadi posisi yang terbuka untuk menyikapi hal-hal baru dari lingkungan luar,
kemudian menjalin keselarasan dalam ragam perbedaan. Kalau sudah seperti itu,
semangat persatuan akan menguat, jati diri Indonesia yang toleran akan
benar-benar tercipta.
“Kita sering kali memandang perbedaan sebagai sumber masalah, lantas mengotak-ngotakkan diri. Keadaan semacam itu bikin kita melihat dunia hanya dari kotak yang kita buat, sehingga yang tidak sama dengan kita adalah malapetaka, padahal tidak. Perbedaan bukan pusat utama perpecahan, melainkan persatuan. Karena kesatuan terbentuk bukan karena semuanya sama, tapi yang berbeda-beda saling menyatakan diri hidup berdampingan dalam damainya harmonitas. Jadi, perbedaan yang kita namai dengan indahnya sebagai keberagaman, ialah sejatinya alat terkuat untuk menyatukan. Bagiku, mempersatukan nusantara kuncinya bukan pada menyeragamkan semuanya, tapi merangkul perbedaan sebagai sesuatu hal wajar untuk dibagi bersama, memberi warna satu sama lain, dan suatu peluang untuk saling mengisi. Sebab pelangi tidak akan indah jika satu warna hanya berdiri sendiri,” tandas Lina panjang, sambil bangkit dari bangku sofa bundar berkulit hijau. Ia meregangkan sebentar otot-otot tubuhnya setelah lama seharian berkutat dengan laporan dan agenda rapat yang harus diurusnya dalam gunungan berkas.
Jeda
sejenak. Kuedarkan pandanganku pada tiap sudut ruangan. Mahasiswa-mahasiswa
tampak sibuk mengerjakan tugas, menukar canda dan membaur dengan
teman-temannya. Lalu, aku teringat mereka semua adalah teman Lina dari berbagai
daerah lain di seluruh Indonesia. Di antara mereka maupun Lina, terlihat
gambaran wajah harmoni sebenarnya. Aku tertegun, menyadari setiap orang
termasuk Lina, menjadi dewasa dalam perbedaan.
Selang
beberapa menit, Lina kembali duduk dan mengikuti pandanganku menyapu keseluruhan
ruangan. Tidak ada satu pun di antara kami yang berbicara, hanya diam menikmati
riuh perbincangan kelompok mahasiswa yang silih berganti bermunculan. Dan,
pelan tiba-tiba, kudengar Lina berbisik kecil di telingaku, sekaligus menjadi
akhir dari obrolan kecil kami, “Keberagaman ini, aku menyebutnya anugerah.” (*)
*tulisan ini memenangkan juara pertama dalam ajang lomba penulisan feature Communication Festival 2016 antar unversitas tingkat pulau Jawa, yang diselenggarakan Universitas Multimedia Nusantara
Nice experience kaka. Memiliki banyak pengalaman dan wawasan yang luas.
ReplyDeleteTuhan Memberkati.