Saturday, 8 October 2016

Tentang Surat-surat yang Tak Pernah Kamu Tulis



Aku tidak akan memulai surat ini dengan sapaan klasik ‘hai, apa kabar’, sedangkan kita berdua sudah sepakat, tak ada yang benar-benar sembuh dan sehat – dan aku kerap menebak-nebak berapa jumlah kebohongan yang dihasilkan seseorang hanya dari menjawab pertanyaan itu. Lagipula, aku bisa membayangkan kamu di seberang sana – menerima suratku yang sampai di meja kerjamu setelah melewati tangan-tangan usil di kantormu, dengan kening berkerut berpikir ‘apa lagi yang berusaha ia lakukan?’ – daripada mengawali sepotong surat ini dengan tanya yang kita sudah tahu jawabannya masing-masing, hingga bisa disebut basa-basi yang hanya menegaskan betapa asingnya sapa kita satu sama lain, aku lebih memilih menyelesaikan kebingunganmu mendapati suratku yang datangnya tiba-tiba. 
sumber gambar: huffingtonpost
Dan, apakah kamu ingat, permintaanku sebelum Natal setahun lalu, yang mendesakmu menulis surat?
Hey, mari kuajak kamu sejenak jalan-jalan ke sana – kamu bilang, mudah jika hanya menulis surat. Dan aku berani bertaruh, kamu tidak menulisnya sampai sekarang. Kita kerap mengatakan mudah untuk hal-hal yang sesungguhnya tak benar-benar bisa kita kerjakan. Kamu tahu apa yang Shakespeare punya untuk menjelaskan hal ini? Akan kukutip untukmu di sini – jika kamu masih membacanya hingga kalimat ini dan belum berpikir untuk meremasnya jadi kertas bola yang akan kamu lempar pada salah satu rekan kerjamu dan membuat lelucon tentang ini.
“Kamu bilang menyukai hujan, tapi ketika hujan datang, kamu justru mengembangkan payungmu. Kamu bilang menyukai matahari, tapi ketika cuaca sedang cerah, kamu justru cepat-cepat meneduhkan diri di bawah atap genteng. Aku pun teringat ketika kamu bilang, kamu mencintaiku.”
Sastrawan Inggris yang satu itu menguraikannya dengan cukup manis, tapi lagi-lagi, kamu tentu paham ini tentang tragedi – kita berdua tahu persis bagaimana nasib tokoh-tokoh yang diciptakan Shakerspeare. 

Dan, kita juga paham lamat-lamat bagaimana sepasang manik mata kita digantikan punggung kita yang bertatap-tatapan. 
Surat-surat yang tak pernah kamu tulis, bertemu dengan surat-suratku yang tak pernah sampai. Bisakah kamu bayangkan bagaimana pertemuan mereka?

Hem, aku suka surat, juga kartu ucapan. Aku masih punya sekitar selusin kartu ucapan Natal yang masih kosong, dan ilustrasi kartunya dilukis oleh anak-anak disabilitas berbakat hebat, yang sekarang tersimpan di gudang rumah. Aku juga punya satu hingga tiga gulung kertas surat, yang sudah koyak di berbagai sisinya dan menguning. Tapi, menulis dan mengiriminya pada orang-orang adalah tentang kesukaan yang lain.
Bagiku, selain karena menulis surat atau kartu ucapan/pos membutuhkan proses yang panjang, mulai dari menyiapkan bolpoin, memilah perangko, melampirkan cetakan foto, menyemprotkan parfum pada amplop, dan persiapan teknis lainnya yang mampu membuat si penerima menyadari kalau ia adalah orang cukup spesial hingga mendapat perlakuan sedemikian rupa hanya untuk sebuah pesan dibaca olehnya. Alasan lainnya adalah, lewat surat, kamu sekaligus bisa membaca perasaan si penulis. Aku bisa membalik kertas suratnya dan meraba-raba tubuh kertas yang timbul-tenggelam berkat tekanan bolpoin si penulis surat., yang menunjukkan emosinya Kamu bisa mencerna kepribadiaannya lewat caranya menyusun huruf-huruf lewat tulisan tangannya – kamu pun mendadak menjadi grafolog yang handal. Kamu bisa menemukan tekukan-tekukan tertentu atau jejak lipatan tak disengaja di beberapa sisi kertas, atau bahkan tumpahan kopi, cipratan liur, helai rambut yang terjatuh, bubuk bedak bayi, cap bibir, hingga air mata yang baru mengering. Dan hal-hal tersebut lebih ‘bersurat’ daripada kata-kata yang mengisinya. Ada yang tersirat dalam pesan surat.
Alih-alih mengetiknya dan memilih font  berjenis handwriting.

Itulah alasan khusus – salah satunya mengapa surat selalu berkenaan tentang hal-hal yang roman di hari kasih sayang dan orang istimewa. Ini juga jadi alasan mengapa aku menyuratimu, berkali-kali.
Berulang-ulang.
dan, memintamu untuk melakukannya juga.
...

..
.

kepalamu menggeleng, balasan suratmu yang tak pernah kamu tulis itu
berkata
tidak


*aku mendengar Letter-Yiruma ketika menulis ini

0 Comments:

Post a Comment