Aku
tidak akan memulai surat ini dengan sapaan klasik ‘hai, apa kabar’, sedangkan
kita berdua sudah sepakat, tak ada yang benar-benar sembuh dan sehat – dan aku kerap menebak-nebak berapa jumlah
kebohongan yang dihasilkan seseorang hanya dari menjawab pertanyaan itu.
Lagipula, aku bisa membayangkan kamu di seberang sana – menerima suratku yang
sampai di meja kerjamu setelah melewati tangan-tangan usil di kantormu, dengan
kening berkerut berpikir ‘apa lagi yang berusaha ia lakukan?’ – daripada
mengawali sepotong surat ini dengan tanya yang kita sudah tahu jawabannya
masing-masing, hingga bisa disebut basa-basi yang hanya menegaskan betapa
asingnya sapa kita satu sama lain, aku lebih memilih menyelesaikan
kebingunganmu mendapati suratku yang datangnya tiba-tiba.
sumber gambar: huffingtonpost |
Dan, apakah
kamu ingat, permintaanku sebelum Natal setahun lalu, yang mendesakmu menulis
surat?
Hey, mari
kuajak kamu sejenak jalan-jalan ke sana – kamu bilang, mudah jika hanya menulis
surat. Dan aku berani bertaruh, kamu tidak menulisnya sampai sekarang. Kita
kerap mengatakan mudah untuk hal-hal yang sesungguhnya tak benar-benar bisa
kita kerjakan. Kamu tahu apa yang Shakespeare punya untuk menjelaskan hal ini?
Akan kukutip untukmu di sini – jika kamu
masih membacanya hingga kalimat ini dan belum berpikir untuk meremasnya jadi
kertas bola yang akan kamu lempar pada salah satu rekan kerjamu dan membuat
lelucon tentang ini.
“Kamu
bilang menyukai hujan, tapi ketika hujan datang, kamu justru mengembangkan
payungmu. Kamu bilang menyukai matahari, tapi ketika cuaca sedang cerah, kamu
justru cepat-cepat meneduhkan diri di bawah atap genteng. Aku pun teringat
ketika kamu bilang, kamu mencintaiku.”
Sastrawan
Inggris yang satu itu menguraikannya dengan cukup manis, tapi lagi-lagi, kamu
tentu paham ini tentang tragedi – kita berdua tahu persis bagaimana nasib
tokoh-tokoh yang diciptakan Shakerspeare.
Dan, kita juga paham lamat-lamat bagaimana sepasang manik mata kita digantikan punggung kita yang bertatap-tatapan.
Surat-surat yang tak pernah kamu tulis, bertemu dengan surat-suratku yang tak pernah sampai. Bisakah kamu bayangkan bagaimana pertemuan mereka?
Hem,
aku suka surat, juga kartu ucapan. Aku masih punya sekitar selusin kartu ucapan
Natal yang masih kosong, dan ilustrasi kartunya dilukis oleh anak-anak
disabilitas berbakat hebat, yang
sekarang tersimpan di gudang rumah. Aku juga punya satu hingga tiga gulung
kertas surat, yang sudah koyak di berbagai sisinya dan menguning. Tapi, menulis
dan mengiriminya pada orang-orang adalah tentang kesukaan yang lain.
Bagiku,
selain karena menulis surat atau kartu ucapan/pos membutuhkan proses yang
panjang, mulai dari menyiapkan bolpoin, memilah perangko, melampirkan cetakan
foto, menyemprotkan parfum pada amplop, dan persiapan teknis lainnya yang mampu
membuat si penerima menyadari kalau ia adalah orang cukup spesial hingga
mendapat perlakuan sedemikian rupa hanya untuk sebuah pesan dibaca olehnya.
Alasan lainnya adalah, lewat surat, kamu sekaligus bisa membaca perasaan si
penulis. Aku bisa membalik kertas suratnya dan meraba-raba tubuh kertas yang
timbul-tenggelam berkat tekanan bolpoin si penulis surat., yang menunjukkan emosinya
Kamu bisa mencerna kepribadiaannya lewat caranya menyusun huruf-huruf lewat
tulisan tangannya – kamu pun mendadak menjadi grafolog yang handal. Kamu bisa
menemukan tekukan-tekukan tertentu atau jejak lipatan tak disengaja di beberapa
sisi kertas, atau bahkan tumpahan kopi, cipratan liur, helai rambut yang
terjatuh, bubuk bedak bayi, cap bibir, hingga air mata yang baru mengering. Dan
hal-hal tersebut lebih ‘bersurat’ daripada kata-kata yang mengisinya. Ada yang
tersirat dalam pesan surat.
Alih-alih
mengetiknya dan memilih font berjenis handwriting.
Itulah alasan khusus – salah satunya mengapa surat selalu berkenaan tentang hal-hal yang roman di hari kasih sayang dan orang istimewa. Ini juga jadi alasan mengapa aku menyuratimu, berkali-kali.Berulang-ulang.dan, memintamu untuk melakukannya juga....
...
kepalamu menggeleng, balasan suratmu yang tak pernah kamu tulis ituberkatatidak
*aku mendengar Letter-Yiruma ketika menulis ini
0 Comments:
Post a Comment