Suatu
waktu, aku berkumpul dengan teman-teman pada salah satu tim proyek kepenulisan
yang obrolannya selalu membuatku hidup. Ketika bahasan kita mulai lepas dari
hal-hal teknis dan tenggat waktu yang mencekik, aku menyeletuk; kira-kira, bagaimana melarikan diri dari seseorang
yang melulu membentuk tokoh-tokoh lelaki dalam cerita-ceritaku. Seorang
temanku lantas melirik padaku dengan pandangan terkejut, ia tahu aku telah
gagal menjadikan tulisan-tulisanku sebagai tempat sembunyi – semakin lama
justru makin hening, dan aku mati di dalamnya. Ia menanggapinya datar, “Coba
kamu mainkan PoV 3, bukan PoV 1. Itu bisa membantumu mengambil jarak dan jeda
dari si aku-nya dia.”
Setelahnya,
perbincangan balik ke tempatnya bermula. Namun pelan-pelan aku tak lagi ada di
sana – suara-suara hanya bagai latar yang timbul-tenggelam kedengarannya. Kafe
yang dindingnya bertempelan coretan dan ilustrasi gambar jejepangan itu,
tiba-tiba mengantarku padamu yang mengelola pemberitaan terkait budaya Asia
Timur. Aku terhenyak – gerimis mulai turun malu-malu, bulirnya menempeli
jendela kaca berukuran besar yang membingkai kota. Jalanan basah, hujan
benar-benar tumpah. Aku cepat-cepat membungkus pandangan. Melipat tangan dan
berupaya tenggelam dalam bahasan yang semakin seru bergulir di sekelilingku.
Tapi
ia tidak pernah menyelamatkanku.
sumber foto: favim.com |
“Jadi, apakah kamu juga demikian?
Mengencani dua pria dalam waktu bersamaan, sama seperti kebiasaanmu membaca dua
buku yang berbeda dalam satu hari yang sama.”
Tiba-tiba
kawanku tertawa – aku mengekorinya, terdengar hambar. Aku memang bukan lagi di
sini, walau mataku masih menempeli lalu lalang pelayan kafe yang wajahnya mulai
kusut. Aku menopang dagu, kubiarkan bagian ingatanku yang lain, berpisah
sejenak dari kepalaku yang berusaha keras mempertahankanku tetap terjaga dalam
obrolan itu.
“Sebab, membelah diri jadi dua
bukan cara manusia hidup dan berkembang. Lagipula, itu bukan keahlianku – dan
tak berniat untuk kuasah. Menyatu, dan tidak pernah beranjak lagi,
memilih jadi setia adalah jenis tantangan tanpa akhir, penakhlukkannya membutuhkan waktu selamanya, yang membuatku untuk tetap tinggal.”
Rasanya
aku sulit bernapas. Aku tidak mengatakannya. Kuangkat saja sebelah tanganku
untuk memesan sepiring camilan. Teman-temanku tidak curiga – tak mungkin
kukatakan pada mereka, di sini, tepat di meja segi empat panjang ini ada
perempuan yang megap-megap karena dihajar kenangan.
Aku lupa menanyakan hal yang sama
padamu. Perbincangan singkat yang berakhir begitu saja – masih janggal, seperti
ending cerita menggantung yang kadang kala tidak kusuka. Lagipula, itu memang
belum selesai. Ada kenyataan lain yang masih kusimpan; kesulitan mencumbui pria
lain yang kubuat sendiri di dalam ceritaku. Terakhir kali kuciptakan lelaki
yang bermain piano tua di sebelah altar gereja, langit-langitnya berlubang dan
dari celah kecil itu masuklah berkas cahaya bulan yang samar-samar menemani
permainannya. Tapi aku hampir terbunuh ketika berupaya mencintainya dan
meniupkan roh padanya agar bergerak, karena selalu saja gagal. Sebab,
cerita-ceritaku selalu berujung padamu – tokoh-tokoh lelakiku mengubah diri
jadi kamu akhir-akhir ini. Jadi, tanyakan saja pada mereka soal
keraguan-keraguanmu.
Seorang
pria, seniorku, menepuk bahuku – ia adalah orang yang sama, yang pernah
menyuarakan padaku untuk menguraikan sepotong rasa dalam pengungkapan, jangan
sampai cinta bersembunyi selamanya dalam sesal-sesal yang didekap kata
terlambat. Ia sampaikan padaku, dengan tatap lurus seakan menerobos dinding
pertahananku dan ia berhasil menemukan ada yang luka di sana, “Mungkin tak akan
sembuh. Tapi kukira begini, karakter lelaki itu, si dia itu, kamu preteli
satu-satu. Dipadu dengan karakter lain-lainnya, mungkin akan menghasilkan sosok
yang sama sekali lain. Dalam artian, kamu memanfaatkan ingatan yang menyakitkan
itu sebagai kekuatan untuk menciptakan karakter yang lain...”
Aku
diam – dan kita berdua tahu jawabannya; aku tak betul-betul mampu melakukannya.
Mendadak, ia bangkit dari bangkunya, menyambar sekotak rokok di atas meja, lalu
sebelum pamit pulang dari aku dan teman-teman, ia berbisik,
“Bagiku kini, kenangan; sekalipun menyakitkan, bukan untuk dilupakan. Biarkan saja itu ada, dan hidup selamanya dalam kepala kita. Sesekali jadi tulisan. Sesekali menemani kesendirian.”
Ia
berlalu. Aku mematung. Termenung. Kudapati ia berjalan sedikit menyeret – ia
hanya mengenakan sandal karet yang alasnya berwarna biru, dan hanya sebelah di
kaki kirinya. Kaki kanannya dibiarkan telanjang. Satu lainnya sudah hilang, dan
sisanya, tak ingin ia buang. Katanya, kesepian si sandal kiri mengingatkannya
pada hal-hal lain yang belum selesai tentang hatinya.
Kita pun tertawa; pincang.
*terima kasih untuk Niduparas Erlang
0 Comments:
Post a Comment