Sunday, 9 October 2016

Tawa Pincang dalam Tokoh Lelaki Cerita-ceritaku



Suatu waktu, aku berkumpul dengan teman-teman pada salah satu tim proyek kepenulisan yang obrolannya selalu membuatku hidup. Ketika bahasan kita mulai lepas dari hal-hal teknis dan tenggat waktu yang mencekik, aku menyeletuk; kira-kira, bagaimana melarikan diri dari seseorang yang melulu membentuk tokoh-tokoh lelaki dalam cerita-ceritaku. Seorang temanku lantas melirik padaku dengan pandangan terkejut, ia tahu aku telah gagal menjadikan tulisan-tulisanku sebagai tempat sembunyi – semakin lama justru makin hening, dan aku mati di dalamnya. Ia menanggapinya datar, “Coba kamu mainkan PoV 3, bukan PoV 1. Itu bisa membantumu mengambil jarak dan jeda dari si aku-nya dia.”
Setelahnya, perbincangan balik ke tempatnya bermula. Namun pelan-pelan aku tak lagi ada di sana – suara-suara hanya bagai latar yang timbul-tenggelam kedengarannya. Kafe yang dindingnya bertempelan coretan dan ilustrasi gambar jejepangan itu, tiba-tiba mengantarku padamu yang mengelola pemberitaan terkait budaya Asia Timur. Aku terhenyak – gerimis mulai turun malu-malu, bulirnya menempeli jendela kaca berukuran besar yang membingkai kota. Jalanan basah, hujan benar-benar tumpah. Aku cepat-cepat membungkus pandangan. Melipat tangan dan berupaya tenggelam dalam bahasan yang semakin seru bergulir di sekelilingku.
Tapi ia tidak pernah menyelamatkanku. 
sumber foto: favim.com

“Jadi, apakah kamu juga demikian? Mengencani dua pria dalam waktu bersamaan, sama seperti kebiasaanmu membaca dua buku yang berbeda dalam satu hari yang sama.”
Tiba-tiba kawanku tertawa – aku mengekorinya, terdengar hambar. Aku memang bukan lagi di sini, walau mataku masih menempeli lalu lalang pelayan kafe yang wajahnya mulai kusut. Aku menopang dagu, kubiarkan bagian ingatanku yang lain, berpisah sejenak dari kepalaku yang berusaha keras mempertahankanku tetap terjaga dalam obrolan itu.
“Sebab, membelah diri jadi dua bukan cara manusia hidup dan berkembang. Lagipula, itu bukan keahlianku – dan tak berniat untuk kuasah. Menyatu, dan tidak pernah beranjak lagi, 

memilih jadi setia adalah jenis tantangan tanpa akhir, penakhlukkannya membutuhkan waktu selamanya, yang membuatku untuk tetap tinggal.”

Rasanya aku sulit bernapas. Aku tidak mengatakannya. Kuangkat saja sebelah tanganku untuk memesan sepiring camilan. Teman-temanku tidak curiga – tak mungkin kukatakan pada mereka, di sini, tepat di meja segi empat panjang ini ada perempuan yang megap-megap karena dihajar kenangan.
Aku lupa menanyakan hal yang sama padamu. Perbincangan singkat yang berakhir begitu saja – masih janggal, seperti ending cerita menggantung yang kadang kala tidak kusuka. Lagipula, itu memang belum selesai. Ada kenyataan lain yang masih kusimpan; kesulitan mencumbui pria lain yang kubuat sendiri di dalam ceritaku. Terakhir kali kuciptakan lelaki yang bermain piano tua di sebelah altar gereja, langit-langitnya berlubang dan dari celah kecil itu masuklah berkas cahaya bulan yang samar-samar menemani permainannya. Tapi aku hampir terbunuh ketika berupaya mencintainya dan meniupkan roh padanya agar bergerak, karena selalu saja gagal. Sebab, cerita-ceritaku selalu berujung padamu – tokoh-tokoh lelakiku mengubah diri jadi kamu akhir-akhir ini. Jadi, tanyakan saja pada mereka soal keraguan-keraguanmu.
Seorang pria, seniorku, menepuk bahuku – ia adalah orang yang sama, yang pernah menyuarakan padaku untuk menguraikan sepotong rasa dalam pengungkapan, jangan sampai cinta bersembunyi selamanya dalam sesal-sesal yang didekap kata terlambat. Ia sampaikan padaku, dengan tatap lurus seakan menerobos dinding pertahananku dan ia berhasil menemukan ada yang luka di sana, “Mungkin tak akan sembuh. Tapi kukira begini, karakter lelaki itu, si dia itu, kamu preteli satu-satu. Dipadu dengan karakter lain-lainnya, mungkin akan menghasilkan sosok yang sama sekali lain. Dalam artian, kamu memanfaatkan ingatan yang menyakitkan itu sebagai kekuatan untuk menciptakan karakter yang lain...”
Aku diam – dan kita berdua tahu jawabannya; aku tak betul-betul mampu melakukannya. Mendadak, ia bangkit dari bangkunya, menyambar sekotak rokok di atas meja, lalu sebelum pamit pulang dari aku dan teman-teman, ia berbisik, 

“Bagiku kini, kenangan; sekalipun menyakitkan, bukan untuk dilupakan. Biarkan saja itu ada, dan hidup selamanya dalam kepala kita. Sesekali jadi tulisan. Sesekali menemani kesendirian.”

Ia berlalu. Aku mematung. Termenung. Kudapati ia berjalan sedikit menyeret – ia hanya mengenakan sandal karet yang alasnya berwarna biru, dan hanya sebelah di kaki kirinya. Kaki kanannya dibiarkan telanjang. Satu lainnya sudah hilang, dan sisanya, tak ingin ia buang. Katanya, kesepian si sandal kiri mengingatkannya pada hal-hal lain yang belum selesai tentang hatinya.
Kita pun tertawa; pincang.

*terima kasih untuk Niduparas Erlang

0 Comments:

Post a Comment