sebelum mengucapkan selamat
tinggal, aku melontarkan pertanyaan itu, dan jawabanmu adalah gema tanpa makna.
aku sendiri, seolah telah berteriak di hadapan mulut jurang yang kosong – hanya
untuk mendengar gaung kata-kataku sendiri berulang-ulang*
Aku
mengatupkan cinta dan kesialan-kesialan Lang Leav. Tanyanya selalu terasa sama,
padahal sudah kesekian kalinya aku berburu buku puisi yang berbeda – apakah kerap begitu: tidak akan pernah
selesai selama aku belum percaya kamu membiarkan punggungmu yang bicara padaku.
Aku membuka layar sekali lagi, menekuri tulisan yang belum genap, sama
seperti rumah tanpa jendela yang masih berdiri dan aku yang masih hidup dengan
kebahagiaan yang tak pernah lengkap.
sumber foto: favim.com |
“Mungkin
aku mencintaimu, kamu mencintaiku harus datang bersamaan dengan tanda tanya,”
desisku entah pada siapa – angin enggan berbincang, orang-orang asing tanpa
sapa, dan musik-musik yang dimainkan dengan nada janggal. Aku menghirup aroma
tembakau yang dihembuskan lelaki di belakang mejaku – tiba-tiba saja aku
menyukai hal-hal yang seharusnya kubenci: mendadak saja aku masih mencintai
orang yang sudah lama pergi.
Aku
berpikir tentang napas dan dada yang sesak, bukan karena serentetan penjelasan
ilmiah tentang reaksi dan produksi hormon ketika seseorang bersedih yang
menjadikan demikian. Tapi tentang ruang kosong yang biasanya diisi
perasaan-perasaan yang buatnya tenang, kini ditempati hal yang terasa asing:
kehilangan-kehilangan. Aku menghirup dalam-dalam asap tembakau yang mampir
sebentar – rasanya sementara yang begitu kamu? Atau memang segalanya hanya
terasa salah?
Dan kamu masih serupa gua besar
yang luas sekali yang kutemukan dalam penjelajahan tanpa peta, perangkapnya
adalah tiba-tiba. Tapi aku tak pernah menyesal, itu gua tempat aku bisa memeluk
diri sendiri dengan begitu nyamannya. Lalu setelah lama di sana aku baru
menyadari, aku mengucapkan cinta berulang-ulang dan hanya aku sendiri yang
mendengarnya. Dan suaraku yang memantul pada dinding yang membalasnya.
Aku
menarik diri dari teras kafe. Hendak menuju halte bus, menunggu bus rongsok
yang tak mengenalku begitupun aku padanya, datang menjemput. Hampir tengah
malam. Dan aku teringat padamu: Kamu
adalah bekas lipstik yang tertinggal pada secangkir kopi yang isinya sudah
setengah dan mendingin. Kamu adalah percakapan basa-basi untuk menciptakan kita
baik-baik saja. Kamu adalah perjalanan tengah malamku yang liar dengan mobil
hitam berkap terbuka. Kamu adalah lagu sedih yang kuputar-dengarkan sebagai
lagu cinta romantis: yang paling kusuka.
*judul dan paragraf awal yang dicetak miring dalam tulisan ini terinspirasi dan dikutip dari puisi Lang Leav dalam bukunya 'Love and Misadventures'
0 Comments:
Post a Comment