Sunday, 9 October 2016

Sirkus Jatuh Cinta



sebelum mengucapkan selamat tinggal, aku melontarkan pertanyaan itu, dan jawabanmu adalah gema tanpa makna. aku sendiri, seolah telah berteriak di hadapan mulut jurang yang kosong – hanya untuk mendengar gaung kata-kataku sendiri berulang-ulang*
Aku mengatupkan cinta dan kesialan-kesialan Lang Leav. Tanyanya selalu terasa sama, padahal sudah kesekian kalinya aku berburu buku puisi yang berbeda – apakah kerap begitu: tidak akan pernah selesai selama aku belum percaya kamu membiarkan punggungmu yang bicara padaku. Aku membuka layar sekali lagi, menekuri tulisan yang belum genap, sama seperti rumah tanpa jendela yang masih berdiri dan aku yang masih hidup dengan kebahagiaan yang tak pernah lengkap. 
sumber foto: favim.com

“Mungkin aku mencintaimu, kamu mencintaiku harus datang bersamaan dengan tanda tanya,” desisku entah pada siapa – angin enggan berbincang, orang-orang asing tanpa sapa, dan musik-musik yang dimainkan dengan nada janggal. Aku menghirup aroma tembakau yang dihembuskan lelaki di belakang mejaku – tiba-tiba saja aku menyukai hal-hal yang seharusnya kubenci: mendadak saja aku masih mencintai orang yang sudah lama pergi.
Aku berpikir tentang napas dan dada yang sesak, bukan karena serentetan penjelasan ilmiah tentang reaksi dan produksi hormon ketika seseorang bersedih yang menjadikan demikian. Tapi tentang ruang kosong yang biasanya diisi perasaan-perasaan yang buatnya tenang, kini ditempati hal yang terasa asing: kehilangan-kehilangan. Aku menghirup dalam-dalam asap tembakau yang mampir sebentar – rasanya sementara yang begitu kamu? Atau memang segalanya hanya terasa salah?
Dan kamu masih serupa gua besar yang luas sekali yang kutemukan dalam penjelajahan tanpa peta, perangkapnya adalah tiba-tiba. Tapi aku tak pernah menyesal, itu gua tempat aku bisa memeluk diri sendiri dengan begitu nyamannya. Lalu setelah lama di sana aku baru menyadari, aku mengucapkan cinta berulang-ulang dan hanya aku sendiri yang mendengarnya. Dan suaraku yang memantul pada dinding yang membalasnya.
Aku menarik diri dari teras kafe. Hendak menuju halte bus, menunggu bus rongsok yang tak mengenalku begitupun aku padanya, datang menjemput. Hampir tengah malam. Dan aku teringat padamu: Kamu adalah bekas lipstik yang tertinggal pada secangkir kopi yang isinya sudah setengah dan mendingin. Kamu adalah percakapan basa-basi untuk menciptakan kita baik-baik saja. Kamu adalah perjalanan tengah malamku yang liar dengan mobil hitam berkap terbuka. Kamu adalah lagu sedih yang kuputar-dengarkan sebagai lagu cinta romantis: yang paling kusuka.

*judul dan paragraf awal yang dicetak miring dalam tulisan ini terinspirasi dan dikutip dari puisi Lang Leav dalam bukunya 'Love and Misadventures'

0 Comments:

Post a Comment