Saturday, 8 October 2016

Melankolia



Hai. Di bayanganku, kamu sedang duduk di sebuah kafe kopi berkumpul dengan komunitas atau rekan-rekan yang perlu kamu lobi – meraba-raba bagaimana permainan yang tepat untuk menjadikan mereka jatuh cinta padamu – atau sekadar sedang menggilir tawa dari bibirmu ke teman di bilik kerja di sampingmu, di hadapanku, di seberangmu, tapi bukan di sini. Membuat reka tentang kamu dan kehadiran, adalah hal terakhir yang melintas di kepalaku, karena rencana-rencana tentangmu yang kurapikan dengan lamat-lamat bagai menyusun buku-buku favoritku, bagai gelembung-gelembung balon yang pecah ketika disentuh; selembut apapun. Dan, mengencanimu ialah perihal mencumbui peristiwa-peristiwa yang sudah lewat dan berakhir jadi obituari ingatan, yang sepianya mengerikan karena sering kali kusam dan buram.

 Jadi, biarlah sampai di bagian ini, kita setujui jika kamu hanya hidup dalam khayal-khayal liarku dan cerita-cerita paling sederhanaku.
sumber foto: favim.com


Hai. Hari ini aku sedang membungkusi buku-buku pesanan yang kamu bilang kavernya bagus dan sesuai dengan isi di dalamnya. Selain itu, aku juga menulisi satu persatu pesan personalnya, aku menatap cukup lama pada tiap nama dan berupaya membongkar ulang kenang yang pernah kurajut bersama dan menerjemahkannya pada sepotong puisi yang teramat singkat – lalu aku sampai pada nama-nama lelaki, aku teringat canda mereka yang mengirimiku pesan agar membuatnya manis, beri mereka ciuman yang puisi. Dan, Al, aku menggenapinya. Kubuatkan kalimat-kalimat kecil yang berkata ‘iya’ untuk sebuah lamaran yang paling romantis, dan pernyataan-pernyataan cinta yang hening. Kamu tak tahu: aku menuliskannya sembari mengbrak-abrik ingatan akanmu. Bisa kamu bayangkan, ketika puisi-puisinya sampai di pangkuan lelaki-lelaki itu, dan mereka hendak mengecup jejak-jejakku di sana, puisinya akan menolak dan berkata; ‘Aku memang di sini, dikirim oleh seorang perempuan untukmu, namun ini hanya bagian dari tugasku. Ragaku bisa kamu sentuh tapi kamu tak akan menggenggam jiwaku. Sebab sesungguhnya aku milik seseorang yang akan selalu pulang padanya. Seseorang itu adalah lelaki yang menjadikanku lebih bernyawa tiap perempuan penciptaku menulisku’.
Hai. Jadi, sekarang – puisi-puisi tentangmu tergeletak, tersebar, tersimpan, tercecer di mana-mana; di meja editor, di rak-rak toko buku seluruh Indonesia, di kertas catatan berwarna kuning yang terselip di buku-buku pesanan, di balik tangan-tangan lelaki yang mengira aku mencintai mereka, di atas selembar tisu pada genggaman pelayan kafe dan restoran kecil (percayakah kamu jika kukatakan, aku masih melakukannya, hanya saja kali ini aku tidak memotretnya lagi dan mengirimkannya padamu. Aku hanya membiarkannya tertinggal di meja bersama piring-piring makanan yang belum habis), di sepenggal adegan naskah skenario kawanku, di robekan kertas yang tersemat di antara tuts-tuts piano (mungkin kamu pernah menebak apa isi puisi yang kuselip di piano kampus yang tertutup saat menjelan malam, dan tebakanmu benar, isinya adalah lagi-lagi pertanyaan pulang dan rumah mengenai matamu. Bagian paling lucu dan konyolnya adalah aku memikirkan akankah mungkin esoknya kamu bangun lebih pagi agar bisa menjadi  orang pertama yang menemukannya dibanding orang asing), dan di surat-surat yang tak sampai padamu seperti ini. Dan, yakinlah, puisi-puisi yang berserakan ke sana ke mari dan berantakan, akan hidup mencari roh utuhnya yang adalah padamu.
Hai. Apakah pekerjaanmu sudah selesai – atau justru semakin tidak menemui kata kelar, karena terganggu oleh kedatangan suratku. Kalau begitu, kuakhiri bersama sepotong maaf sampai di sini. Semoga saja, tawa yang bergilir di ruang kerjamu belum berhenti dan kamu masih memeliharanya. Jangan pernah lupa tertawa barang sehari pun – itu membantumu lebih ringan menantang dunia yang ingin kamu rangkul sesuai impianmu. Dadaku akhir-akhir ini semakin sesak, terutama saat malam melarut – mungkin karena terlalu banyak cerita yang berdesakan dan tak pernah sempat didengarkan –  dan beruntungnya, surat-surat ini membantu terapiku. Tak perlu banyak kamu pikirkan.

Hai. Anggap kita seperti ini; baik-baik saja.

0 Comments:

Post a Comment