Ada
yang ingin kuceritakan padamu. Sekitar tujuh hari yang lalu, aku singgah
sebentar ke rumah salah seorang senior. Katanya ia baru saja pindah, aku tak
pernah menanyakan alasannya mengemas seluruh pakaian dan barang-barangnya hanya
untuk menempati rumah kecil yang sudah tak diurus pemilik sebelumnya selama
lebih dari tiga tahun. Kupastikan bukan karena uang – karena seniorku tidak
menjual rumah miliknya. Ketika aku sampai di sana, koper-koper bajunya masih
tergeletak di ruang tengah yang sempit dengan hanya satu sofa yang busanya
sudah keluar ke mana-mana. Ia baru selesai mandi saat aku menerobos masuk pagar
rumahnya yang tak terkunci. Kami saling bertukar kabar, dan belum sempat aku
minta disuguhi teh tawar hangat, ia sudah mengajakku pergi: ke rumah lamanya.
Hal mengejutkan, rumah yang ditinggalnya itu begitu terawat. Ia mempersilaku
masuk, dan rentetan setelahnya sulit kuungkapkan padamu: ia masuk ke kamarnya
dan membawa satu boks dus. Isinya bingkai-bingkai foto, jepit rambut, kaos-kaos
yang kelihatannya belum dicuci jika dicium dari baunya, dan hal-hal lainnya.
Lalu ia menyambar sebuah album yang berisi potret adik perempuannya yang baru
meninggal sebulan silam.
sumber foto: sailorjennie.com |
Aku terkesiap: ia menghindari kenangan hanya untuk menemukannya kembali.
Aku
pulang dengan perasaan gelisah. Kamu tahu, aku jadi teringat tetangga di
kampung halamanku. Tetangga yang rumahnya terletak di paling ujung kompleks,
hampir satu deret perumahan menyebut si tetangga itu gila. Karena hampir tiap
petang, ia selalu duduk di teras rumahnya, menangis dan tertawa seraya memutar
video keponakkannya yang meninggal bertahun-tahun lalu.
Aku terkesiap kedua kalinya: ia sengaja menyeburkan dirinya dalam duka untuk merasakan kehadiran seseorang itu kembali.
Aku
cepat-cepat masuk ke dalam rumah, mengunci rapat-rapat jendela. Tiba-tiba aku
ketakutan. Padahal aku tahu tidak akan ada yang akan masuk – maling sekalipun,
apa yang ingin ia curi? Aku membeli rumah ini setahun lalu dari iklan di koran
lampu merah: dijual, rumah yang lengkap dengan semua kenangannya. Aku cuma
punya kenangan. Tapi, aku masih saja menutup semua pintu, dan menggembok pagar.
Menyelindung di kamar bersama pikiran-pikiran yang tak pernah sendiri; ditemani
ingatan-ingatan tentang kamu. Aku meraba-raba meja kecil di samping tempat
tidur, mencari obat yang diberi dokter seminggu lalu. Meneguknya cukup banyak
tanpa membaca keterangan dosisnya. Setelah aku cukup tenang, aku menyambar
ponsel, memutar lagu-lagu yang biasa kudengarkan sejak kamu pergi*. Meraih
buku-buku puisi yang kubaca sejak kamu beranjak.
Aku terkesiap ketiga kalinya: aku memeluk kehilangan demi menegaskan setidaknya aku pernah memilikimu, walau sekali saja, dulu. Sudah cukup.*kalimat yang dinukil dari puisi Lang Leav
0 Comments:
Post a Comment