Friday, 21 October 2016

Cerita Kecil Tentang Gadis yang Kerap Kutemui di Toilet Kantor


Aku tak pernah benar-benar segera bekerja saat sudah sampai kantor. Kira-kira lima belas menit lamanya ini yang kulakukan: membeli roti dengan topping sosis ayam bersaos (sesekali sandwich seharga sepuluh ribuan) di kantin asing yang baru kukenal semingguan, menyalakan laptop, menyambar koran terbaru seraya mendesah atau menggeleng kesal tiap membaca judul headline dan subjudul-subjudul di halaman muka, dan sesekali mengecek ponsel – berharap ada satu pesan darimu; tapi biasanya tidak. Lalu, aku akan menghabiskan lima menit di bercemin di toilet, memoles bibir dengan lipen merah tua favoritku, menjepit poni, dan menyapa seorang gadis yang sudah siaga di bilik toilet. Tiap pagi aku sering berpapasan dengannya tengah mengganti tisu toilet jadi yang baru atau membersihkan bilik, sesekali memastikan persediaan sabun masih ada.
Para pekerja keluar masuk bergantian menggunakan bilik toilet, dan melakukan temu singkat seperti ini dengannya: menukar senyum sopan dan satu-dua kali mengucapkan selamat pagi. Tidak ada yang benar-benar memerhatikan. Apa yang dilakukannya bukan sesuatu istimewa seperti berhasil menyelesaikan target sebelum deadline, menghasilkan lebih dari sepuluh konten yang laku untuk diklik perharinya, dan sejenisnya. Semuanya terasa tak jauh beda dari hari-hari sebelumnya sampai suatu pagi ketika aku sedikit terburu-buru, karena sempat telat sepuluh menit, gadis itu menahanku. Aku masih ingat ketika aku memalingkan muka dari cermin toilet, dan benar-benar menatap ke matanya. Itu mata yang cukup tua dan sedikit lelah – seperti sudah lama melihat bagaimana dunia terasa begitu keras melawannya.
Mbak, karyawan baru di sini ya? Sebelumnya saya tak pernah lihat. Mbak kerja di apanya
Aku berani bertaruh, ia mengumpulkan keberanian yang sudah ia kumpulkan selama berhari-hari ini memandang penasaran padaku, sampai akhirnya itu selesai dalam satu tanya. Ia menghindari tatapanku, cukup ketakutan – aku merasa ia memandangku begitu terhormat dan bersalah karena telah berani bertanya sedangkan ia bukan apa-apa. Aku terkesiap.
Ingin sekali aku meyakinkannya untuk lebih tenang dan bilang, 

orang-orang harus belajar untuk berhenti melihat seseorang dari berapa banyak ijazah yang berhasil dikumpulkannya atau titel yang tengah diembannya, dan mulai menaruh perhatian pada bagaimana orang berusaha keras meraih impiannya dan kebaikan-kebaikan yang ia lakukan untuk orang lain. 
sumber gambar: tumblr.com

Gadis itu menatapku lagi – menunggu. Kujawab langsung, dan tiba-tiba aku merasa tidak ingin terburu-buru. Aku perlu ada di sana – mengetahui apa yang sepasang mata miliknya simpan: ada setengah binar yang takut untuk bermimpi, tapi sekaligus menyimpan harapan besar di sana yang diperangkap ragu-ragu dan keputusasaan yang sepertinya datang begitu sering.
Begitu ya, Mbak. Mbak jadinya di sini gara-gara tugas sekolah atau memang kuliah? Hem, Mbak, kalau untuk bisa kerja kantoran kayak orang-orang di dalem, butuh ijazah S1? Harus kuliah ya Mbak? Kalau SMA enggak bisa ya, Mbak?
Tanyanya sekali lagi – takut-takut. Tapi ada kelegaan di nada suaranya. Itu seperti pertanyaan yang sudah lama disembunyikannya, yang tak pernah ia beri suara untuk bicara, yang ia simpan lamat-lamat dari para pekerja yang lalu lalang di toiletnya, lalu akhirnya menemukan waktunya padaku. Akhirnya aku berbincang dengannya sekitar lima menit dan segera ia akhiri ketika pekerja lain masuk. Aku pamit dan masuk ke dalam ruang yang kubayangkan diintipi gadis itu sebelum ia pulang dari membersihkan toilet. Diam-diam ia menjinjitkan kakinya untuk bisa menembus pintu kaca yang bagian atasnya tidak buram untuk mengamati para pekerja yang sibuk di depan komputer dan laptop, lalu menitipkan impiannya di antaranya. Memandang takjub tiap pekerja keluar dari ruangan itu dan bermimpi suatu waktu doa-doanya sebelum tidur bisa jadi nyata. Impian yang mungkin ia peluk sendiri dan tak pernah ia sampaikan pada orang lain – tapi aku menangkapnya. Ia punya angan-angan sederhana: ijazah sarjana dan kerja di kantor.
Berminggu-minggu setelahnya. Aku tak pernah melihatnya lagi. Aku pun sudah mulai melupakannya, sesekali teringat padanya dan kupikir ia mungkin sudah mendaftar di salah satu sekolah tinggi untuk mengejar angan-angannya yang masih tergantung di udara. Tapi, aku bertemu dengannya lagi ketika aku pindah ke gedung kantor sebelah. Ia sedikit lebih cerah dan sudah bisa tersenyum lepas saat menyapaku. Tidak sekaku dulu.
Mbak pindah ke sini toh? Oh ya Mbak kuliah di mana? Uang pangkalnya berapaan sih Mbak? Semesternya? Itu berapa lama ya Mbak? Mbak kalau ijazah D3 doang bisa enggak Mbak?
Aku mengulum senyum. Ingin kukatakan begitu bahagianya aku masih bisa bertemu dengannya dan ia tidak pernah berhenti memelihara mimpi-mimpinya. Satu persatu aku jawab pertanyaannya, ada kekecewaan luka di sana ketika mendengar jumlah nol yang kusebutkan. Lalu kubilang, ada banyak pilihan universitas di luar sana, dan wajahnya terangkat – seperti menemukan dukungan. Pekerja lain sudah masuk ke dalam toilet dengan tiga bilik. Ia pun cepat-cepat mengepel lagi. Aku membungkus pandangku dan melangkah keluar.
Sejak itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya – karena aku tak lagi mengantor. Tapi, aku sering kali teringat padanya sesekali. Biasanya ingatan yang datang bersama doa kecil semoga mimpi yang tak pernah ia sebutkan terang-terangan padaku itu – lahir kembali dalam wujud utuh. Dan hari ini aku membuka buku, menemukan tokoh seorang gadis dengan semangat tak pernah padam, dan aku membayangkannya berdiri di salah satu halaman kampus dengan topi toga – memberitahuku dengan lembut, betapa setiap harinya sesungguhnya adalah terima kasih. Yang tertimbun keluhan-keluhan, sesekali caci maki. Sampai aku butuh usaha keras untuk menemukan cara bagaimana bersyukur.
Aku pengen jadi kayak Mbak.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment