Aku
tak pernah benar-benar segera bekerja saat sudah sampai kantor. Kira-kira lima
belas menit lamanya ini yang kulakukan: membeli roti dengan topping sosis ayam
bersaos (sesekali sandwich seharga sepuluh ribuan) di kantin asing yang baru
kukenal semingguan, menyalakan laptop, menyambar koran terbaru seraya mendesah
atau menggeleng kesal tiap membaca judul headline dan subjudul-subjudul di
halaman muka, dan sesekali mengecek ponsel – berharap ada satu pesan darimu;
tapi biasanya tidak. Lalu, aku akan menghabiskan lima menit di bercemin di
toilet, memoles bibir dengan lipen merah tua favoritku, menjepit poni, dan
menyapa seorang gadis yang sudah siaga di bilik toilet. Tiap pagi aku sering
berpapasan dengannya tengah mengganti tisu toilet jadi yang baru atau membersihkan
bilik, sesekali memastikan persediaan sabun masih ada.
Para
pekerja keluar masuk bergantian menggunakan bilik toilet, dan melakukan temu
singkat seperti ini dengannya: menukar senyum sopan dan satu-dua kali
mengucapkan selamat pagi. Tidak ada yang benar-benar memerhatikan. Apa yang
dilakukannya bukan sesuatu istimewa seperti berhasil menyelesaikan target
sebelum deadline, menghasilkan lebih dari sepuluh konten yang laku untuk diklik
perharinya, dan sejenisnya. Semuanya terasa tak jauh beda dari hari-hari
sebelumnya sampai suatu pagi ketika aku sedikit terburu-buru, karena sempat
telat sepuluh menit, gadis itu menahanku. Aku masih ingat ketika aku
memalingkan muka dari cermin toilet, dan benar-benar menatap ke matanya. Itu
mata yang cukup tua dan sedikit lelah – seperti sudah lama melihat bagaimana
dunia terasa begitu keras melawannya.
Mbak, karyawan baru di sini ya?
Sebelumnya saya tak pernah lihat. Mbak kerja di apanya
Aku
berani bertaruh, ia mengumpulkan keberanian yang sudah ia kumpulkan selama
berhari-hari ini memandang penasaran padaku, sampai akhirnya itu selesai dalam
satu tanya. Ia menghindari tatapanku, cukup ketakutan – aku merasa ia
memandangku begitu terhormat dan bersalah karena telah berani bertanya
sedangkan ia bukan apa-apa. Aku terkesiap.
Ingin
sekali aku meyakinkannya untuk lebih tenang dan bilang,
orang-orang harus belajar untuk berhenti melihat seseorang dari berapa banyak ijazah yang berhasil dikumpulkannya atau titel yang tengah diembannya, dan mulai menaruh perhatian pada bagaimana orang berusaha keras meraih impiannya dan kebaikan-kebaikan yang ia lakukan untuk orang lain.
sumber gambar: tumblr.com |
Gadis
itu menatapku lagi – menunggu. Kujawab langsung, dan tiba-tiba aku merasa tidak
ingin terburu-buru. Aku perlu ada di sana – mengetahui apa yang sepasang mata
miliknya simpan: ada setengah binar yang takut untuk bermimpi, tapi sekaligus
menyimpan harapan besar di sana yang diperangkap ragu-ragu dan keputusasaan
yang sepertinya datang begitu sering.
Begitu ya, Mbak. Mbak jadinya di
sini gara-gara tugas sekolah atau memang kuliah? Hem, Mbak, kalau untuk bisa
kerja kantoran kayak orang-orang di dalem, butuh ijazah S1? Harus kuliah ya
Mbak? Kalau SMA enggak bisa ya, Mbak?
Tanyanya
sekali lagi – takut-takut. Tapi ada kelegaan di nada suaranya. Itu seperti
pertanyaan yang sudah lama disembunyikannya, yang tak pernah ia beri suara
untuk bicara, yang ia simpan lamat-lamat dari para pekerja yang lalu lalang di
toiletnya, lalu akhirnya menemukan waktunya padaku. Akhirnya aku berbincang
dengannya sekitar lima menit dan segera ia akhiri ketika pekerja lain masuk.
Aku pamit dan masuk ke dalam ruang yang kubayangkan diintipi gadis itu sebelum
ia pulang dari membersihkan toilet. Diam-diam ia menjinjitkan kakinya untuk
bisa menembus pintu kaca yang bagian atasnya tidak buram untuk mengamati para
pekerja yang sibuk di depan komputer dan laptop, lalu menitipkan impiannya di
antaranya. Memandang takjub tiap pekerja keluar dari ruangan itu dan bermimpi
suatu waktu doa-doanya sebelum tidur bisa jadi nyata. Impian yang mungkin ia
peluk sendiri dan tak pernah ia sampaikan pada orang lain – tapi aku
menangkapnya. Ia punya angan-angan sederhana: ijazah sarjana dan kerja di
kantor.
Berminggu-minggu
setelahnya. Aku tak pernah melihatnya lagi. Aku pun sudah mulai melupakannya,
sesekali teringat padanya dan kupikir ia mungkin sudah mendaftar di salah satu
sekolah tinggi untuk mengejar angan-angannya yang masih tergantung di udara.
Tapi, aku bertemu dengannya lagi ketika aku pindah ke gedung kantor sebelah. Ia
sedikit lebih cerah dan sudah bisa tersenyum lepas saat menyapaku. Tidak sekaku
dulu.
Mbak pindah ke sini toh? Oh ya Mbak
kuliah di mana? Uang pangkalnya berapaan sih Mbak? Semesternya? Itu berapa lama
ya Mbak? Mbak kalau ijazah D3 doang bisa enggak Mbak?
Aku
mengulum senyum. Ingin kukatakan begitu bahagianya aku masih bisa bertemu
dengannya dan ia tidak pernah berhenti memelihara mimpi-mimpinya. Satu persatu
aku jawab pertanyaannya, ada kekecewaan luka di sana ketika mendengar jumlah
nol yang kusebutkan. Lalu kubilang, ada banyak pilihan universitas di luar
sana, dan wajahnya terangkat – seperti menemukan dukungan. Pekerja lain sudah
masuk ke dalam toilet dengan tiga bilik. Ia pun cepat-cepat mengepel lagi. Aku
membungkus pandangku dan melangkah keluar.
Sejak
itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya – karena aku tak lagi mengantor.
Tapi, aku sering kali teringat padanya sesekali. Biasanya ingatan yang datang
bersama doa kecil semoga mimpi yang tak pernah ia sebutkan terang-terangan
padaku itu – lahir kembali dalam wujud utuh. Dan hari ini aku membuka buku,
menemukan tokoh seorang gadis dengan semangat tak pernah padam, dan aku
membayangkannya berdiri di salah satu halaman kampus dengan topi toga – memberitahuku
dengan lembut, betapa setiap harinya sesungguhnya adalah terima kasih. Yang
tertimbun keluhan-keluhan, sesekali caci maki. Sampai aku butuh usaha keras
untuk menemukan cara bagaimana bersyukur.
Aku pengen jadi kayak Mbak.
0 Comments:
Post a Comment