Ada
hal-hal kurang (baca: tidak) penting yang ingin kukabarkan padamu kali ini.
Kamu akan sekali lagi menyebutku aneh, sama seperti saat kamu menerima sajak
kecilku di ruang kerjamu tempo lalu lewat seseorang yang kutitipkan pesan
dengan tiba-tiba. Tapi, kadang kali kita menyalahi kegelapan yang buta tanpa
mengetahui bintang hanya bisa bersinar karena kehadirannya. Atau seperti cerpen
Naguib Mahfouz yang kurekomendasikan padamu di awal pertukaran pesan singkat
kita mengenai republik.
Jadi
seperti ini, kemarin – hari-hari yang lalu, waktu yang sudah lewat, masa yang
meminang diri dalam kelampauan – aku berjalan memasuki salah satu pusat
perbelanjaan, yang letaknya tak jauh dari kampus; berseberangan dan aku tak
ingin mencoba menebak apa yang mereka bincangkan setiap harinya. Saat itu jam
menjelang makan siang.
Tidak
ada yang salah. Aku hanya berjalan, tertawa seperti biasa bersama
langkah-langkah kaki kawanku yang melompat-lompat menceritakan pengalaman
liburannya. Lagu-lagu populer yang dimainkan dengan volume keras dari salah
satu pengeras suara di toko penjualan ponsel masih terdengar layaknya pagi-pagi
lainnya. Udara sejuk yang dikondisikan pendingin ruangan gedung tersebut juga
tetap sama. Sayup-sayup, kalau kamu menajamkan pendengaranmu, ada musik-musik
saxophone-nya Kenny G. yang diputar. Sepintas, tak berbeda – bagai rutinitas
yang diulang-ulang, mengingat hampir setiap hari kawan-kawanku memilih tempat
yang sama untuk membunuh waktu. Sampai akhirnya, aku akan keluar dari gedung
itu, dan aku menengok ke belakang sebentar – aku tak tahu mengapa, aku hanya
ingin melakukannya, seperti ketika kamu mengucapkan selamat tinggal dan pada
langkah ketiga kamu memutar tubuhmu ke belakang, lalu mengetahui hatimu telah
tertinggal.
Yang pasti, segalanya berubah.
Susunan
bangku besi yang biasanya menyambut tiap pengunjung yang masuk, dan letaknya di
tengah-tengah lantai dasar itu, tidak seperti sebelumnya. Lebih renggang, dan
terkesan berjauhan – asing satu sama lain kalau tidak ingin disebut bermusuhan.
Payung mejanya dibuka. Dan, sepasang bangku dan meja bundar yang letaknya
menghadap salah satu pilar tembok yang menjulang ke atas, sudah lenyap.
Pengaturan tempat duduknya tak lagi sama. Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
Aku
pernah menunggu di sana – dan kamu pernah menyeletuk padaku keesokan harinya,
kamu tahu di mana persisnya aku duduk. Kamu bilang, terlambat datang untuk
sekadar menyapa dan memastikan aku sampai di rumah. Aku tersengat. Jalanku
melambat – apakah seseorang pernah membisikkan padamu kenyataan ini; kita tahu
seberapa berat dan kapan seseorang sedang dijerat kenangan, dari ritme langkah
dan cara jalannya. Kepalaku tertunduk, seesekali menggeleng keras; seolah ingin
memohon pada kenangan agar tidak melumatku kali ini. Tapi aku gagal –
pertanyaan ‘mengapa’ dari suara-suara di sekitarku mulai menyambangiku. Ketika
aku benar-benar keluar dari gedung, dan berusaha menahan diri untuk tidak
menengok sekali lagi, lagu-lagu dan musik yang masih samar terdengar, justru
memanggil-manggilku. Memintaku kembali, melangkah ke sana dan sekadar menyentuh
punggung bangku besi yang masih tersisa untuk mendekapmu kembali. Satu kali
lagi.
Dan,
hari-hari setelahnya jadi lebih buruk. Aku duduk menghadap air mancur kecil
yang terdapat di halaman kampus, menunggu jemputan seperti biasanya. Sesekali
aku mengarahkan pandang ke arah dinding kaca lobi, mengingat kamu pernah
berjalan di baliknya dan aku mengamatimu dalam diam. Kamu juga pernah duduk di
sini, tepat di sebelah dan mengajakku mengobrol barang sepuluh menit lamanya. Rasanya
masih segar seperti hari kemarin yang baru saja berlalu, walau sudah menahun
lamanya.
Lalu, aku menyentuh udara – bayangmu memudar bersamaan kenangan yang (nyatanya) berserakan di mana-mana.
0 Comments:
Post a Comment