Saturday, 24 September 2016

Menengok Kita dalam Obituari


Ada hal-hal kurang (baca: tidak) penting yang ingin kukabarkan padamu kali ini. Kamu akan sekali lagi menyebutku aneh, sama seperti saat kamu menerima sajak kecilku di ruang kerjamu tempo lalu lewat seseorang yang kutitipkan pesan dengan tiba-tiba. Tapi, kadang kali kita menyalahi kegelapan yang buta tanpa mengetahui bintang hanya bisa bersinar karena kehadirannya. Atau seperti cerpen Naguib Mahfouz yang kurekomendasikan padamu di awal pertukaran pesan singkat kita mengenai republik.
Jadi seperti ini, kemarin – hari-hari yang lalu, waktu yang sudah lewat, masa yang meminang diri dalam kelampauan – aku berjalan memasuki salah satu pusat perbelanjaan, yang letaknya tak jauh dari kampus; berseberangan dan aku tak ingin mencoba menebak apa yang mereka bincangkan setiap harinya. Saat itu jam menjelang makan siang.
 
sumber gambar: jesselynch.com
Tidak ada yang salah. Aku hanya berjalan, tertawa seperti biasa bersama langkah-langkah kaki kawanku yang melompat-lompat menceritakan pengalaman liburannya. Lagu-lagu populer yang dimainkan dengan volume keras dari salah satu pengeras suara di toko penjualan ponsel masih terdengar layaknya pagi-pagi lainnya. Udara sejuk yang dikondisikan pendingin ruangan gedung tersebut juga tetap sama. Sayup-sayup, kalau kamu menajamkan pendengaranmu, ada musik-musik saxophone-nya Kenny G. yang diputar. Sepintas, tak berbeda – bagai rutinitas yang diulang-ulang, mengingat hampir setiap hari kawan-kawanku memilih tempat yang sama untuk membunuh waktu. Sampai akhirnya, aku akan keluar dari gedung itu, dan aku menengok ke belakang sebentar – aku tak tahu mengapa, aku hanya ingin melakukannya, seperti ketika kamu mengucapkan selamat tinggal dan pada langkah ketiga kamu memutar tubuhmu ke belakang, lalu mengetahui hatimu telah tertinggal.

Yang pasti, segalanya berubah.

Susunan bangku besi yang biasanya menyambut tiap pengunjung yang masuk, dan letaknya di tengah-tengah lantai dasar itu, tidak seperti sebelumnya. Lebih renggang, dan terkesan berjauhan – asing satu sama lain kalau tidak ingin disebut bermusuhan. Payung mejanya dibuka. Dan, sepasang bangku dan meja bundar yang letaknya menghadap salah satu pilar tembok yang menjulang ke atas, sudah lenyap. Pengaturan tempat duduknya tak lagi sama. Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
Aku pernah menunggu di sana – dan kamu pernah menyeletuk padaku keesokan harinya, kamu tahu di mana persisnya aku duduk. Kamu bilang, terlambat datang untuk sekadar menyapa dan memastikan aku sampai di rumah. Aku tersengat. Jalanku melambat – apakah seseorang pernah membisikkan padamu kenyataan ini; kita tahu seberapa berat dan kapan seseorang sedang dijerat kenangan, dari ritme langkah dan cara jalannya. Kepalaku tertunduk, seesekali menggeleng keras; seolah ingin memohon pada kenangan agar tidak melumatku kali ini. Tapi aku gagal – pertanyaan ‘mengapa’ dari suara-suara di sekitarku mulai menyambangiku. Ketika aku benar-benar keluar dari gedung, dan berusaha menahan diri untuk tidak menengok sekali lagi, lagu-lagu dan musik yang masih samar terdengar, justru memanggil-manggilku. Memintaku kembali, melangkah ke sana dan sekadar menyentuh punggung bangku besi yang masih tersisa untuk mendekapmu kembali. Satu kali lagi.
Dan, hari-hari setelahnya jadi lebih buruk. Aku duduk menghadap air mancur kecil yang terdapat di halaman kampus, menunggu jemputan seperti biasanya. Sesekali aku mengarahkan pandang ke arah dinding kaca lobi, mengingat kamu pernah berjalan di baliknya dan aku mengamatimu dalam diam. Kamu juga pernah duduk di sini, tepat di sebelah dan mengajakku mengobrol barang sepuluh menit lamanya. Rasanya masih segar seperti hari kemarin yang baru saja berlalu, walau sudah menahun lamanya.

Lalu, aku menyentuh udara – bayangmu memudar bersamaan kenangan yang (nyatanya) berserakan di mana-mana.

0 Comments:

Post a Comment