Kupikir
setiap orang punya kematian-kematian kecil yang mereka simpan sendiri. Aku
bertemu dengan masing-masing dari mereka hampir setiap hari; orang-orang yang
menyembunyikan kata ‘tidak’ saat ‘iya’ menjadi suara paling nyaring,
orang-orang yang menolak mengakui rindu, orang-orang yang menghapus isi
pesannya sebelum sempat mengirimnya, orang-orang yang menyimpan surat-surat
cinta tanpa alamat yang disembunyikannya di kolong tempat tidur, orang-orang
yang membeli banyak buku puisi dan membiarkannya teronggok lama hanya untuk
melihatnya berdebu.
sumber foto: favim.com |
“Kalau
begitu, kupikir setiap orang juga punya kehidupan-kehidupan kecil yang mereka
pelihara sendiri,” katamu dalam tiba-tiba. Aku menengok ke arahmu – dan aku
kembali memberimu senyuman itu – lengkungan yang kamu bilang tidak pernah
benar-benar penuh karena ada yang belum sembuh. Sejenis kehilangan atau
kesedihan yang masih menimang-nimang meninggalkan diriku atau tidak. Tapi kamu
selalu bisa mengambil tangan kecilku dan bilang aku tidak pernah sendiri.
“Aku
mengobrol dengan mereka satu persatu. Motivator itu – buatku bukan orang yang
mendorong semangatmu di mataku; mereka hanyalah para pejuang yang menangis
hebat di malam hari lalu masih cukup kuat bangun di pagi harinya untuk tertawa.
Kekasih-kekasih itu – buatku bukan pasangan yang memadu kasih yang diceritakan
dongeng-dongeng; mereka adalah yang berani menikmati luka untuk mendapatkan
cinta yang jalannya selalu di persimpangan antara keraguan dan kebimbangan.
Pencerita itu – buatku bukan sosok yang andal menjajakan kisah-kisah; mereka
ialah sekelompok orang yang memanfaatkan kenangan untuk dijual. Mereka-mereka
itu, sedikit contoh tentang kematian-kematian kecil yang tak pernah kita tahu.”
Dan, aku – yang menyambar potongan-potongan puisi yang kukumpulkan dari klipping koran, membacanya keras-keras, sesekali bisik-bisik, setiap malam untuk menyembuhkan yang kamu bilang bagian-bagian yang tak pernah damai dalam diriku.
Kamu
diam. Cukup lama. Kamu melepaskan genggamanmu – menyematkan matamu di antara
mondar mandir orang di teras kafe. Kamu masih membiarkan bisu yang bicara.
Sampai lebih dari lima belas menit lamanya. Seperkian detik, singkat saja,
terlintas kamu pergi sekali lagi dengan cara yang lain. Membiarkanku menikmati
kematian kecilku sekali lagi. Dan, aku meraih Lang Leav, menelusuri sajak-sajak
sirkus duka cita dengan penuh suka. Begitukah?
Lalu
kamu kembali. Kamu pulang.
“Ver,
kupikir setiap orang punya kehidupan kecil yang mereka rawat sendiri. Kamu tahu
kamu jatuh cinta ketika kebahagiaannya menjadi kebahagiaanmu juga. Tak peduli
salah satu cara menikmati kebahagiaannya adalah dengan melepaskannya – kamu pergi.
Orang-orang bilang kalau kamu jatuh cinta, kamu tidak akan meninggalkannnya,
kamu akan memperjuangkannya, kamu tahu cinta sesungguhnya adalah memilikinya
untuk melindunginya di tempat terbaik yang bisa kamu berikan. Tapi, dengan kamu
pergi dan ia bahagia – kamu masih memilikinya: memiliki kehilangan akannya.”
Band
indie, alirannya mungkin Blues, naik ke panggung kafe. Basa basi tentang lagu
perdana yang akan dibawanya, tentang request yang memungkinkan. Aku mendadak
tuli kecuali apa yang keluar dari bibirmu.
“Kupikir, Ver, setiap orang memang menyimpan kematian kecilnya, tapi itu adalah bagian dari menjaga kehidupan kecilnya.”
Kamu
tersenyum – mengamit tanganku lagi. Aku tidak membalasnya, kamu selalu tahu
itu. Kamu selalu tahu.
Kamu kematian kecilku, sekaligus kehidupan kecilku. Sepanjang malam.
0 Comments:
Post a Comment