Apakah kamu pernah terpikir,
tokoh-tokoh yang kamu buat, suatu hari bisa bangkit dan keluar dari dalam
cerita, lalu mengajakmu mengobrol – atau bahkan memprotesmu? Aku selalu
membayangkan kejadian tersebut akan menyenangkan, sampai itu terjadi pada...Marvel; tokoh cerita yang kuciptakan untuk novel 'Time in a Bottle'.
sumber gambar: favim.com |
Mari kumulai cerita ini dengan
satu fakta: penciptaan tokoh Marvel tidak kulakukan dengan penuh cinta – dan, aku rasa si Marvel menyadarinya, karena
hampir setiap hari aku mendengar rutukannya. Mulanya, aku tidak mengira
bahwa tim kolaborasiku akan memenangkan tiga besar outline naskah terbaik dalam
workshop yang diselenggarakan penerbit Elex. Karena itu, aku sibuk dengan
naskah novel soloku sendiri. Naskah yang pastinya sudah memiliki
tokoh-tokohnya, termasuk karakter lelaki, sebut saja AR. Kubuat diriku lebih
dari sekadar jatuh cinta pada AR, tapi benar-benar mendengar apa yang AR
inginkan dalam dunianya, lantas aku sebagai Tuhan menimbang-nimbang apakah akan
mewujudkannya atau tidak. Aku begitu tenggelam dengan karakter AR, sampai akhirnya
... kabar kemenangan itu datang! Artinya satu: aku harus menghidupkan Marvel,
jatuh cinta padanya, mendengar keluh-kesahnya sebagai pianis buntung, dan
menyelami masa lalunya – seketika aku
langsung mimpi buruk.
Jadi seperti inilah kira-kira
keadaannya: setengah hati kutiupkan roh kehidupan pada tubuh Marvel. Kuberikan
ia sebuah panggung cerita yang harus ia jalani, dan kalau sedang iseng, aku
membumbuinya dengan masalah-masalah. Dan, karena aku cukup membencinya – sebab
gara-gara Marvel, aku harus mengkhianati AR – aku buat ia terhimpit kondisi
yang sulit dan konflik yang mengenaskan. Dalam hati; aku buat buntung ah. Ditinggal pacar mungkin? Enggak usah bangkit dari
kursi roda yak! Ugh, nyebelin. Satu persatu orang terkasihnya aku putuskan mati
saja. Engga bisa main piano lagi seumur hidup ya J.
Marvel pun meraung-raung.
Saking nasibnya begitu menyedihkan, akhirnya ia mendapat keajaiban entah dari
mana untuk lompat dari cerita! Itu kesempatan satu-satunya ia untuk memburu dan
menghakimiku!
Di kursi rodanya, ia mengomel.
Aku kesal, kudorong ia dengan kasar agar masuk lagi ke dalam cerita. Dan
bayangkan apa yang terjadi? Ia mengancam akan mengacaukan plot ceritanya.
Kira-kira dengan ketus dia bilang, “Ini adalah hidupku, kamu enggak usah
atur-atur. Takdirku memang menjadi tokoh dalam sebuah cerita, tapi nasibku ada
di tanganku bukan ditentukan alur ceritamu!”. Mendadak saja aku terduduk lemas
di depan laptop. Dasar tokoh kurang ajar dan enggak tahu diri! Bisa-bisanya
begitu, tinggal kutulis ‘endingnya Marvel mati’, habislah kau! – tapi tentu
saja tidak kulakukan, bagaimanapun aku membutuhkan dia, hehehe.
Lalu, suatu hari aku bertemu
dengan ketiga penulis lainnya yang menjadi teman kolaborasiku. Ketika aku
curhat mengenai pemberontakkan Marvel, teman-teman sepakat satu hal; aku memang
terlampau kejam dan sadis. Kak Tya menyeletuk, “Kalau aku, enggak mau tokohku
nasibnya jelek, kasihan. Cukup aku aja yang menderita, Rachel (tokoh binaan Kak
Tya)-nya jangan lama-lama.”
Dan, kebetulan, aku juga
sempat membaca berkas wawancara seseorang dengan penulis Ray Bradburry. Dalam
laporan tersebut, Ray menyatakan bahwa ia tak pernah mengarahkan hidup
tokoh-tokoh ceritanya. Mereka – si tokoh cerita – yang membisikkan kehidupan
mereka pada Ray, dan Ray menuliskannya. Ray mendengarkan mereka. Ikut masuk ke
dalam kehidupan tokoh-tokohnya. Ray tidak benar-benar menciptakannya. Mereka
memang sudah ada dengan kehidupannya sendiri di dalam cerita.
Aku terbengong-bengong di
hadapan layar. Kudapati Marvel berdiri dengan tangannya yang sudah terlanjur
kubuat buntung, seraya meleletkan lidahnya padaku tanda menang. Satu yang
pasti, sejak itu aku mulai belajar mencintai Marvel. Aku tidak menempatkan
diriku lagi sebagai pihak yang mengendalikannya. Aku memberinya kebebasan.Dan,
hal-hal tak terduga pun terjadi. Marvel membangun harapannya pelan-pelan. Ia
bangkit dari segala kemurungan yang kutimpakan padanya. Kutemani ia di tiap
paragraf yang ia tulis – ia memegang cerita hidupnya sendiri sampai akhir. Aku
memotong beberapa bagian dan memilih satu babak dari perjalanan hidupnya yang
pas untuk ditaruh di bab ‘The Ending’, sebelum akhirnya kubiarkan dan
kulepaskan ia meneruskan kehidupannya. Terakhir kali aku bertemunya, kami
berdua telah berdamai. Dan, darinya juga, aku memahami bahwa tak ada novel yang
ceritanya benar-benar selesai maupun betul-betul dimulai.
“Ver,
revisi dong atau bikin serial kedua yak yang isinya aku jadi pianis tenar yang
dipuja-puja seantero negeri, hehehe,” ujar Marvel memelas.
“Kagak
mauuuuuuu.”
Catatan tambahan:
Tidak semua tokoh ciptaanku
berdemo seperti Marvel. Ada yang kubuat lebih parah dibanding nasib Marvel, dan
si tokoh itu diam-diam saja. Menerima dengan pasrah.
0 Comments:
Post a Comment