Sunday, 7 August 2016

Lebih Dekat dengan Marvel


Apakah kamu pernah terpikir, tokoh-tokoh yang kamu buat, suatu hari bisa bangkit dan keluar dari dalam cerita, lalu mengajakmu mengobrol – atau bahkan memprotesmu? Aku selalu membayangkan kejadian tersebut akan menyenangkan, sampai itu terjadi pada...Marvel; tokoh cerita yang kuciptakan untuk novel 'Time in a Bottle'.
sumber gambar: favim.com

Mari kumulai cerita ini dengan satu fakta: penciptaan tokoh Marvel tidak kulakukan dengan penuh cinta – dan, aku rasa si Marvel menyadarinya, karena hampir setiap hari aku mendengar rutukannya. Mulanya, aku tidak mengira bahwa tim kolaborasiku akan memenangkan tiga besar outline naskah terbaik dalam workshop yang diselenggarakan penerbit Elex. Karena itu, aku sibuk dengan naskah novel soloku sendiri. Naskah yang pastinya sudah memiliki tokoh-tokohnya, termasuk karakter lelaki, sebut saja AR. Kubuat diriku lebih dari sekadar jatuh cinta pada AR, tapi benar-benar mendengar apa yang AR inginkan dalam dunianya, lantas aku sebagai Tuhan menimbang-nimbang apakah akan mewujudkannya atau tidak. Aku begitu tenggelam dengan karakter AR, sampai akhirnya ... kabar kemenangan itu datang! Artinya satu: aku harus menghidupkan Marvel, jatuh cinta padanya, mendengar keluh-kesahnya sebagai pianis buntung, dan menyelami masa lalunya – seketika aku langsung mimpi buruk.
Jadi seperti inilah kira-kira keadaannya: setengah hati kutiupkan roh kehidupan pada tubuh Marvel. Kuberikan ia sebuah panggung cerita yang harus ia jalani, dan kalau sedang iseng, aku membumbuinya dengan masalah-masalah. Dan, karena aku cukup membencinya – sebab gara-gara Marvel, aku harus mengkhianati AR – aku buat ia terhimpit kondisi yang sulit dan konflik yang mengenaskan. Dalam hati; aku buat buntung ah. Ditinggal pacar mungkin? Enggak usah bangkit dari kursi roda yak! Ugh, nyebelin. Satu persatu orang terkasihnya aku putuskan mati saja. Engga bisa main piano lagi seumur hidup ya J. Marvel pun meraung-raung. Saking nasibnya begitu menyedihkan, akhirnya ia mendapat keajaiban entah dari mana untuk lompat dari cerita! Itu kesempatan satu-satunya ia untuk memburu dan menghakimiku!
Di kursi rodanya, ia mengomel. Aku kesal, kudorong ia dengan kasar agar masuk lagi ke dalam cerita. Dan bayangkan apa yang terjadi? Ia mengancam akan mengacaukan plot ceritanya. Kira-kira dengan ketus dia bilang, “Ini adalah hidupku, kamu enggak usah atur-atur. Takdirku memang menjadi tokoh dalam sebuah cerita, tapi nasibku ada di tanganku bukan ditentukan alur ceritamu!”. Mendadak saja aku terduduk lemas di depan laptop. Dasar tokoh kurang ajar dan enggak tahu diri! Bisa-bisanya begitu, tinggal kutulis ‘endingnya Marvel mati’, habislah kau! – tapi tentu saja tidak kulakukan, bagaimanapun aku membutuhkan dia, hehehe.
Lalu, suatu hari aku bertemu dengan ketiga penulis lainnya yang menjadi teman kolaborasiku. Ketika aku curhat mengenai pemberontakkan Marvel, teman-teman sepakat satu hal; aku memang terlampau kejam dan sadis. Kak Tya menyeletuk, “Kalau aku, enggak mau tokohku nasibnya jelek, kasihan. Cukup aku aja yang menderita, Rachel (tokoh binaan Kak Tya)-nya jangan lama-lama.”
Dan, kebetulan, aku juga sempat membaca berkas wawancara seseorang dengan penulis Ray Bradburry. Dalam laporan tersebut, Ray menyatakan bahwa ia tak pernah mengarahkan hidup tokoh-tokoh ceritanya. Mereka – si tokoh cerita – yang membisikkan kehidupan mereka pada Ray, dan Ray menuliskannya. Ray mendengarkan mereka. Ikut masuk ke dalam kehidupan tokoh-tokohnya. Ray tidak benar-benar menciptakannya. Mereka memang sudah ada dengan kehidupannya sendiri di dalam cerita.
Aku terbengong-bengong di hadapan layar. Kudapati Marvel berdiri dengan tangannya yang sudah terlanjur kubuat buntung, seraya meleletkan lidahnya padaku tanda menang. Satu yang pasti, sejak itu aku mulai belajar mencintai Marvel. Aku tidak menempatkan diriku lagi sebagai pihak yang mengendalikannya. Aku memberinya kebebasan.Dan, hal-hal tak terduga pun terjadi. Marvel membangun harapannya pelan-pelan. Ia bangkit dari segala kemurungan yang kutimpakan padanya. Kutemani ia di tiap paragraf yang ia tulis – ia memegang cerita hidupnya sendiri sampai akhir. Aku memotong beberapa bagian dan memilih satu babak dari perjalanan hidupnya yang pas untuk ditaruh di bab ‘The Ending’, sebelum akhirnya kubiarkan dan kulepaskan ia meneruskan kehidupannya. Terakhir kali aku bertemunya, kami berdua telah berdamai. Dan, darinya juga, aku memahami bahwa tak ada novel yang ceritanya benar-benar selesai maupun betul-betul dimulai.
“Ver, revisi dong atau bikin serial kedua yak yang isinya aku jadi pianis tenar yang dipuja-puja seantero negeri, hehehe,” ujar Marvel memelas.
“Kagak mauuuuuuu.”

Catatan tambahan:
Tidak semua tokoh ciptaanku berdemo seperti Marvel. Ada yang kubuat lebih parah dibanding nasib Marvel, dan si tokoh itu diam-diam saja. Menerima dengan pasrah.

0 Comments:

Post a Comment