Aku
menyentuh surat pengantar pengecekan darah. Di bagian bawah selembar kertas
itu, dibubuhi cap dokter spesialis dengan dua gelar di depan nama, dan tiga
titel di belakang nama. Kupikir hasil tes dan kunjungannya nanti di ruang
perawatanku akan menyampaikan kabar yang sudah bisa kutebak. Esoknya, pria
paruh baya yang terlihat masih segar itu datang, ia berhenti sejenak
memandangiku seraya menyentuh bagian perut kiriku, “Hati; livermu terganggu.
Itu sebabnya lambungmu nyeri dan...” ungkapnya lengkap dengan serangkaian
penjelasan medis. Lalu, kukatakan ini pada dokter:
sumber gambar: weheartit.com |
“Sudah
sejak lama hati itu sakit, Dok. Ia tidak hanya terganggu, ia terusik
berkali-kali. Karenanya, aku tidak asing dengan kabarnya. Begini penjelasannya,
aku punya kebiasaan menelan kesedihan-kesedihan, sering kali terlalu banyak
hingga perutku nyeri. Kesedihan itu – berubah jadi racun yang berupaya dibunuh
hati, Dok. Awalnya selalu berhasil, hati kerap mencari penawar yang bisa
menghibur kesedihan-kesedihan yang menikam itu, tapi mungkin berminggu-minggu
lalu, aku telah meneguknya terlalu banyak hingga akhirnya hati kalah. Terlebih
aku sengaja memeliharanya, membiarkannya tumbuh subur, kuberi kesedihan makan
setiap hari dengan terus jatuh cinta.”
Kukatakan
dalam diam. Tak ada bisikan lemah atau suara yang berbicara.
“Kita
rawat dulu ya, hati; livernya. Akan dilakukan juga pengecekkan bilirubin. Besok
akan saya berikan obat pelindungnya,” lanjut si dokter sebelum meloyor pergi
dengan langkah cepat – masih banyak yang menunggu kunjungannya mengabarkan izin
pulang dan kesembuhan; sepintas ingin sekali kubertanya padanya, bagaimana
rasanya menjadi orang yang mengakrabi diri dengan penungguan?
Aku
memanggilnya. Kukatakan padanya seperti ini:
“Pelindungnya, Dok, aku sudah
mencarinya menahun dan tak pernah benar-benar menemukannya. Terakhir kali aku
berupaya memilikinya, aku justru menjadi perempuan yang berdiri sendiri di
halte bus tua dengan penerangan redup pada pertengahan malam tanpa satu bus
rongsok pun yang menjemput. Aku pulang dan mendapati buku-buku puisiku sudah
berdebu. Lalu aku roboh – aku tahu aku gagal, hatiku benar-benar telah sakit
dan jiwaku mengizinkan kesedihan menggerogotinya lebih dalam dengan suka cita.
Bagian terdalam dari diriku tahu, rasa sakit dan luka adalah perayaan atas
kehidupan yang kumiliki.”
Kukatakan
dalam hening. Tiada bibir yang terbuka atau desis kata.
Tapi,
aku sempat memanggilnya. Ia menghentikan langkahnya berpikir mungkin ada yang
ketinggalan.
“Pasti
akan sembuh, Dok?”
Ia
menatapku dengan pandangan terheran-heran, menyerupai bengong datar.
“Tentu.
Sembuh kok, akan sembuh.”
“Dok, mungkinkah tak ada orang yang
benar-benar sembuh, ataupun betul-betul sehat? Kadang kali, penyakit adalah
bahasa tubuh yang kelelahan dan mengaku kalah, sementara jiwa masih berkata
siap berperang, tubuh pun mengambil jalan pintas,” ujarku, bisu.
Aku
tersenyum.
0 Comments:
Post a Comment