Aku
masih mengenakan kemeja hitam yang kamu berikan padaku sejak minggu lalu.
Potongannya sederhana, tanpa model, gelap malam polos. Itu jenis kemeja yang
tak berusaha berbicara, ia hanya ingin membungkus tubuh manusia bagai memeluk
dengan lembut mengatakan semuanya baik-baik saja, dalam diam. Baru kusadari
begitulah desain seragam untuk berduka. Dan aku tak mungkin lupa, ketika
membuka paket darimu di teras rumah, ada secarik kertas bertuliskan tangan yang
menempel di bungkusan baju, isinya:
setidaknya setiap orang harus punya satu kemeja berwarna hitam di lemarinya.Mulanya aku sibuk bertanya-tanya. Sampai akhirnya siang itu kudengar kabar kepulanganmu.
sumber gambar: favim.com |
Tenang
saja, aku tak akan bertanya bagaimana kehidupan bersama Tuhan di sana, apakah
rupa Taman Eden sesuai dengan yang biasanya kita lihat di lukisan-lukisan, atau
mungkinkah kamu masih bisa membaca buku favoritmu di sana, dan lain-lain. Aku
juga tak akan menangis. Aku tak akan melakukan apa pun yang menandakan
seakan-akan kamu masih hidup.
Kamu
tidak hidup. Juga bukan mati. Kamu hanya pulang. Aku memahami itu – kita berdua
telah sepakat bahwa semesta ini adalah tempat singgah. Kita semua hanya
melakukan balap-membalap tentang siapa yang paling lama bertahan di sini,
sebelum akhirnya kembali ke rumah. Bahkan kesedihan yang menjadi kabut di
pemakamanmu juga berkata padaku; baik-baik saja. Mereka berpora dengan baik di
tiap pasang mata di sana. Orang-orang menangis.
Aku
tertawa. Satu persatu orang menengok ke arahku dengan pandangan heran bercampur
janggal. Mungkin mereka berpikir aku orang yang bahagia kamu pergi. Aku jadi
teringat obrolan kita bulan lalu sebelum kamu berjanji akan meminangku, kita
berbincang soal bahasa kesedihan. Kira-kira inilah topik kita: di sebuah negara
yang nomor satu kepadatan dan jumlah penduduknya, ada satu jasa yang menarik:
tim yang bisa disewa untuk datang ke suatu pemakaman dan menangis hebat di
sana. Semakin tangisan dan isaknya mendukakan hadirin upacara, bayarannya
semakin tinggi. Tentunya tanpa diketahui orang-orang yang datang.
“Ah
soal itu, aku juga pernah menonton salah satu drama dari negeri Gingseng, yang
menampilkan roh seorang manusia yang mencari tiga tetes air mata ketulusan. Roh
itu mencarinya dengan begitu susah payah – karena air mata yang jatuh harusnya
yang benar-benar mengandung kesedihan yang utuh. Awalnya ia mengira akan mudah
mendapatkannya dari keluarga dan sahabat-sahabatnya, tapi nyatanya tidak.
Kau tak pernah benar-benar tahu berapa kebohongan yang menyimpan diri dalam satu tetes air mata yang begitu mulia kelihatannya,” ujarmu datar.Tiba-tiba saja, kamu tak menyukai air mata. Aku pun tertawa; sekali lagi.
Dan, kesedihan mendadak saja masuk begitu banyak melalui mulutku yang tertawa saking terbahak-bahaknya.
Catatan
tambahan:
Kupikir selalu ada alasan mengapa
orang menyalami meninggalnya seseorang dengan ‘selamat jalan’, alih-alih
‘selamat tinggal’. Sebab, tak ada yang benar-benar ia tinggalkan, ia hanya
berjalan terlebih dulu untuk menyapa Tuhan, dan kita belum secepat itu sampai.
Dan, ‘hati-hati’ terbaik yang bisa dilakukan untuk ia adalah doa.
0 Comments:
Post a Comment