Seperti
yang kemarin kuungah pada akun Facebookku, pada Senin (30/5) lalu, aku
berkesempatan mendongeng – untuk pertama
kalinya – cerita berjudul ‘Naga yang Menelan Matahari’ di SD Pagedangan 1*.
Itu adalah sepenggal pengalaman berharga dengan remah-remah kejadian ‘lucu’
yang mengiringinya: aku yang salah mengucapkan salam, harusnya
‘Assalamualaikum’, menjadi ‘Waalaikumsalam’, yang membuat anak-anak SD kelas
satu, hanya diam kebingungan – dan aku malu sekali, padahal sebelumnya sudah
kuhafalkan salam tersebut hingga ratusan kali. Terlepas dari itu, menyenangkan
sekali berada di depan ruang kelas, menyajikan cerita dengan sejumlah peragaan
yang membuat anak-anak tertawa. Rasanya sulit untuk menggambarkan bagaimana
perasaanmu ketika mereka segera memandangimu dengan tatapan polosnya berbinar
menantikan cerita dengan penuh penasaran, serta duduk diam dengan melipat
tangan begitu rapi di meja, untuk mendengarkanmu di depan. Aku menikmatinya –
teringat sesekali di rumah, aku suka sekali mengajak boneka-bonekaku mengobrol,
menjadikan mereka cerita-cerita anak di kepalaku, dan bermimpi suatu waktu
nanti aku akan punya beberapa buku dongeng tulisanku sendiri yang dibaca oleh
anak-anakku kelak, atau yang kuceritakan pada mereka sebelum beranjak tidur.
Dan, suara berat seorang pria paruh baya melempar pertanyaan itu.
sedang mendongeng |
“Siapa
di antara adik-adik di sini yang masih sering didongengin sama Ibunya?” tanya
kepala sekolah dengan nada ramah yang ceria. Awalnya kukira hanya satu atau dua
orang yang akan mengacungkan tangan, tapi tidak. Lebih dari tiga orang. Aku
terkejut, kukira kebiasaan itu sudah memunah pelan-pelan; nyatanya ia masih
hidup di tengah riuhnya cerita-cerita yang bergulir atas-bawah di layar ponsel.
Dongeng,
sejatinya lebih dari cerita – ia tidak dikisahkan untuk mengantar tidurmu
begitu saja, atau habis ketika berakhir bahagia. Ia membantu siapa pun
mengetahui apa yang ada di kamar gelap dengan cara sederhana, tanpa kamu harus
menyalakan lampu. Ia juga salah satu kunci untuk menyentuh anak kecil yang
tersimpan di kedalaman dirimu; itulah alasan mengapa dongeng berumur panjang,
bukan karena ada anak-anak kecil yang terus tumbuh untuk memeliharanya, tapi
setiap dari kita memiliki bagian yang tak pernah beranjak dewasa dan dongeng memeluknya. Dongeng mengajaknya mengobrol sesekali agar kamu tak lupa pernah menangis di pangkuan Ibu karena jatuh dari sepeda atau takut tidur sendirian
karena ada hantu di kolong kasur. Karenanya, orang-orang kerap bilang, dongeng
bukan sekadar cerita, ia adalah cara berkomunikasi lain; penyampaian pesan –
tidak hanya pada mereka yang duduk di bangku kanak-kanak, tapi juga pada dirimu
kecil di masa belasan-puluhan tahun lalu yang menunggu dihidupkan hari ini.
aku bersama anak-anak SD Pagedangan 1 dan dua kakak pendongeng lainnya: Kak Alia (mahasiswi teknik industri SGU) dan Kak Didi (pustakawan SGU) |
Aku
pun mulai berdongeng. Sepotong dongeng yang kupilih setelah lama membongkar
gudang di rumah, mencari koleksi buku dongeng Pustaka Ola milikku dulu hingga
buku-buku dongeng gratisan dari kotak susu yang diminum marhum nenek. Membaca
judul-judulnya selalu berhasil membawaku pada aku dan ibu yang tengah
tidur-tiduran pada sebuah malam, dengan buku dongeng berbahasa Inggris berkaver
tebal yang diceritakan ibu hampir tiap hari. Aku tumbuh bersama dongeng-dongeng
itu, cerita-cerita menempeli tubuh dan telingaku, kubawa pergi ke mana-mana
berharap suatu saat nanti bisa kubagi; lagi dan lagi. Pada seseorang asing,
anak-anak yang kutemui dalam kebetulan-kebetulan, dan kamu; yang pernah
kucintai lewat dongeng.
*Kegiatan sosial Story Telling
tersebut adalah rangkaian acara dari Library Festival yang diselenggarakan oleh
perpustakaan Swiss Germany University bekerja sama dengan perpustakaan Universitas
Multimedia Nusantara.
0 Comments:
Post a Comment