Fakta: ini novel kolaborasi
pertamaku (setelah biasanya aku menulis solo). Pertanyaannya, bagaimana bisa? Dan, beginilah ceritanya:
Bermula dari aku mengikuti seleksi outline naskah yang diselenggarakan Elex Media
Komputindo. Aku terpilih menjadi salah satu finalis terbaik untuk mengikuti
workshop ‘Berbagi Cinta Lewat Kata’ bersama puluhan finalis lainnya. Selain
diberi materi terkait kiat-kiat menulis novel yang menarik, cara memasarkan
novel, sampai sesi sharing bersama
editor dan pihak penerbit, para finalis juga dibentuk menjadi sebuah tim yang
dipilih secara acak. Setiap tim nantinya diwajibkan membuat kerangka cerita
novel bertemakan ‘Playlist’ yang nantinya akan dilombakan dan dinilai oleh Elex
Media untuk kemudian dipilih menjadi tiga besar outline terbaik yang akan
ditulis dan diterbitkan. Pada pembentukkan tim itulah, aku bertemu Kak Sian
Hwa, Tia Marty, dan Indriyani Rahayu. Kami dimentori Kak Rina (editor senior di
Elex). Sebelum akhirnya kami dieditori Kak Afri, yang begitu sabar menghadapi
kami semua yang susah diatur ini.
foto bareng Indri (salah satu penulis novel TIAB dan teman kolaborasiku) di Workshop Berbagi Cinta Lewat Kata |
Dan, percayalah, ketika
berdiskusi tentang ide, kami sangat heboh (baca: berisik)!
Terlebih saat menentukan
setting tempat...
“Bandung?”
“Semarang?” “Medan? Hehehe.” “Bekasi saja!” “Gimana kalau yang di luar?” “Aku
pernah ke Makau. Di sana ada bla-bla-bla.” “Ya sudah, Makau saja! Kalau enggak
tahu, kita bisa riset dan saling nanya.” “Ayo cepetan take, sebelum diambil!”
“Kita MAKAU!!!” teriak salah satu di antara kami (aku lupa siapa, mungkin Tia) agar
terdengar oleh MC di panggung.
Sepintas ketika berlanjut
memikirkan nama tokoh...
“Kita
bikin nama karakternya saja dulu. Gue Alora.” “Aku Marvel deh.” “Woaaah, boleh
juga. Agak gimana gitu ya nama Marvel.” “Duh, aku apa ya?” “Kalau Rachel, nanti
ejaannya ‘Rahel’ atau ‘Rechel’ ya enaknya?” “Aku Maria saja deh.” “Eh,
tunggu-tunggu.”
Sekilas saat menyusun
adegan...
“Aku
pengen deh macam salah satu drama Korea yang ada payung di dalam kamar itu
loh.” “Oh ya, yang romantis, yang cowoknya kasih headset ke telinga ceweknya
dari belakang, tiba-tiba.” “Ini mau dibuat ada semacam konflik pelarian gitu
enggak?” “Tiap orang urus cerita masing-masing tokoh saja, terus disatukan
dengan radio.” “Tiga cewek ngejer satu cowok, endingnya enggak jadian semua.”
“Enggak bisa gitu, enaknya tuh...”
Sebentar ketika membangun
karakter...
“Rachel kudu anak sosialita
tajir, yihaaaaa.!” “Maria kerja di kasino kali ya? Tapi punya kelemahan
tersendiri yang dipendamnya yang bertetantangan sama pekerjaannya.” “Hem, kalau
Alora...” “Enggak mau tahu, aku maunya si Marvel itu bisu atau enggak buntung.
Tapi dia itu pianis. Bikinlah dia kecelakaan, atau kenapa dah, entar aku
pikirin asalkan si Marvel cacat.” Mendadak anggota kelompokku sunyi,
krik-krik...melihat ke arahku dengan pandangan njirrrr sadis amat, apa yang ada di kepala ini anak ya? Kebanyakan baca
buku apa sih.
Tahukah kamu...
buku catatan kecil tempat ide awal novel 'TIAB' ditulis |
Awalnya ide yang ada di
coretan buku adalah karakter-karakter dengan selera musik yang berbeda. Ada
yang berprofesi jadi anak band yang suka sekali mendengar lagu populer Korea,
penyuka musik klasik yang suka sekali mengirim request ke radio, dan
sejenisnya. Mereka punya kisah masing-masing, yang terhubung dalam satu sesi
cerita di radio. Lalu mendadak berganti lagi. Debat (enggak sampai
bunuh-bunuhan kok!) Ganti lagi. Terus-menerus begitu sampai waktu habis dan
kami kelabakan menyusun cerita.
Dari seluruh ‘kekisruhan’ yang
sempat terjadi, kami secara bergantian mengisi bab-bab yang disusun menjadi
outline, yang harus diserahkan menit itu juga ke Elex. Saat itu, aku didaulat
jadi koordinator tim yang membuat daftar nama dan nomor kontak anggota tim
andai kata outlinenya terpilih. Kupikir – yang aku yakini, kami semua juga
sepemikiran – bahwa kami tak akan menang. Bahkan, kertas kontak itu sudah lama
kuhilangkan. Tapi, di suatu siang – ketika Kak Sian sedang tidur, aku duduk
malas-malasan pada sebuah resto kecil, Indri dan Tia entah tengah tenggelam
dengan aktivitas apa, aku menerima surel dari Elex yang mengatakan tim kami
termasuk tiga besar tim dengan outline naskah terbaik. Kami diminta siap
mengerjakan proyek kepenulisan outlinenya agar menjadi novel utuh bersama editor
yang sudah ditunjuk.
Gubrak! Aku susah payah
mencari kontak Kak Sian, Indri, dan Tia yang akhirnya kutemukan dalam galeri
foto ponselku, karena untungnya aku sempat memotret kertas kontak. Aku
menghubungi mereka satu persatu dengan pesan yang kutulis dengan begitu
antusias (baca: norak!). Bahkan, aku sampai terloncat dari bangku resto itu,
melompat-lompat sembari menghampiri temanku yang sedang duduk di depan,
memeluknya tiba-tiba sementara ia berpikir aku sinting.
Dan, sama seperti proyek
kepenulisan pada umumnya. Ini memiliki jangka waktu tersendiri. Diperlukan
pembenahan dan penambalan cerita sana-sini untuk menyatukan kepala yang
beda-beda. Kupikir ini akan jadi pengalaman yang menyenangkan.
Kenyataannya...ini perjuangan penuh darah (baiklah, ini berlebihan memang)!
Tapi memang benar, ini proses kepenulisan kolaborasi yang penuh intrik (hahaha): menulis
sambil menabuh genderang perang bersama; karena ribut arah
cerita, plot kesukaan masing-masing, adegan ciuman, sampai debat penggunaan
kata ‘flat’ atau ‘apartemen’!
0 Comments:
Post a Comment