Aku percaya – dan aku yakin
kamu juga demikian – bahwa setiap buku yang berada di pangkuan pembacanya atau
yang sekarang sedang berbaris rapi di rak-rak toko buku, punya cerita
penulisannya sendiri. Orang-orang menyebutnya sebagai ‘kisah di balik layar’.
Dan, kerap kali, kisah atau cerita di belakang panggung selalu menarik untuk
diketahui. Ia tak hanya menjadi bukti perjuangan keras si penulis dalam
menjalani proses kreatifnya, tapi juga jejak lain tentang betapa
keganjilan-keganjilan sering mengambil bagian dalam penggenapan sebuah karya!
1. Berantem Mulu dengan Kak Sian
Kerjaan kami sejak awal
(selain menulis bersama tentunya) adalah berantem. Saat pertama kali mengetahui
kami dipasangkan dalam satu tim, yang ada di kepala Kak Sian adalah aku orang
yang sombong, dan yang ada di kepala aku adalah ‘gaswat, dipasangin sama
penulis molor yang naskah solonya selama
13 tahun enggak kelar-kelar, matilah gue’. Dan, ketika diskusi pembuatan
outline, sangat kentara sekali selisih pahamnya. Kak Sian maunya begini, aku
maunya begitu. Dan ketika ide Kak Sian memeroleh suara terbanyak, aku
manggut-manggut dan terlihat yang paling tidak setuju (kalau diingat-ingat
lagi, rasanya lucu sekali).
Sepanjang dua bulan (waktu
yang kami sepakati untuk menyelesaikan naskah), lebih banyak lagi pertumpahan
darah yang terjadi di antara kami berdua. Menurut Kak Sian, aku seperti menulis
sejarah musik favorit Marvel. Menurutku, hanya cerita yang dikumpul oleh Kak
Sian saja yang tidak melebur dengan ketiga cerita yang sudah ada (maklum, Kak Sian ilmunya ketinggian). Alhasil: kami
paling sering telepon-teleponan via Whatsapp plus teriak-teriakkan. Apalagi
kalau menjeleang tenggat dan sudah diraung-raungi editor, aku (menggunakan
kuasa sebagai koor tim, hahaha) berupaya ‘menggencet’ (oke, kejam sekali
kedengarannya) Kak Sian agar cepat mengumpulkan naskah bagiannya (kukejar dari
pagi sampai tengah malam karena Kak Sian terlalu perfeksionis dengan tokoh
binaannya sampai paling molor dan telat kalau ngumpul bagiannya #digebukKakSian). Tapi, percayalah, novel Time in a Bottle bisa kinclong seperti sekarang
(memuji karya sendiri banget yak!), juga berkat tangan dingin Kak Sian sebagai
penulis paling senior di antara kami :). Aku banyak belajar darinya! Walau
dalam hati sih, sempat kapok bung.
2. Menulis di Foodcourt SMS –
Lobby Utama SDC – Ruang Dorado Skystar Ventures
Satu hal yang kerap
membayang-bayangiku ketika menulis novel ini adalah tenggat waktu! Deadline
benar-benar terasa memburu dan memiliki sepasang mata yang siap membunuh.
Hasilnya, seusai kuliah, dibanding harus pulang ke rumah dan bertemu kasur yang
selalu siap membiusku untuk segera tidur, aku memilih tempat-tempat untuk
menulis. Ditemani kawanku – yang rewelnya minta ampun, sampai akhirnya aku
memilih mengetik sendirian – aku nomaden di tiga tempat ini: SMS – SDC –
Skystar Ventures!
kiri-kanan: SDC - SMS |
Sebagian besar self-editing
kulakukan di ruang kerja Skystar, hingga baterai laptop habis dan aku selalu
lupa membawa charger. Karenanya, sudah tahu reaksi di grup Whatsapp Tim Makau:
“Tinggal Marvel nih. Si Vero ke mana ya? Marvel butuh perhatian.”
3. Enggak Pernah Ketemu Lagi
Selama proses pengerjaan
naskah yang krasak-krusuk itu, kami berempat tidak pernah bertemu lagi, sampai
akhirnya dikejar-kejar editor ... kami pun berjanji kopi darat di kantor Elex.
Berikut fotonya:
Kanan-kiri: Kak Sian Hwa - Kak Tia Marty - Kak Afri (editor) - Aku |
4. Riset yang Menyita Waktu
Dari keempat penulis yang ada
di Time in a Bottle, hanya Kak Sian seorang yang pernah ke Makau, tiga lainnya
masih meraba-raba. Jadi, riset demi setting tempat yang enggak asal tempel
saja, menjadi peer bersama bagi kami semua. Belum lagi ditambah pembangunan
karakternya, yang mana tiap penulis tidak boleh hanya menyelami satu tokoh
binaannya saja, tapi juga keseluruhan tokoh. Sebab ini bukan antologi, tapi
sepotong novel utuh. Di sini letak tantangannya. Kami pun lebih banyak
menghabiskan waktu untuk riset. Kak Sian sampai begadang demi membaca jurnal
kedokteran dan memelajari partitur lagu. Indri yang mewawancarai mantan pekerja
kasino Makau. Tia sibuk mencari tahu gaya hidup para sosialita Makau hingga
kebiasaan-kebiasaan khasnya. Aku? Googling cowok-cowok Makau biar jadi
referensi wajah tampan Marvel, Belajar mengenali makanan-makanan yang ada di
Makau, apartemen di sana, sampai tempat-tempat yang sekiranya akan Marvel kunjungi.
ini 'portuegese egg tart' khas Makau yang jadi favorit kita |
5. Tentang Bab Terakhir Marvel
“Aku
sedang menapaki kenangan yang bangkit dan hidup, tepat setelah kematian tiba.” – Marvel dalam Bagian Empat: The Ending.
Aku menulis paragraf-paragraf
di bab terakhir ini diiringi dua hal: musik Yiruma dan sepotong kabar. Telepon
genggamku berbunyi pada siang yang terasa janggal, karena Ibu sedang keluar
sibuk mengatur napas yang dibuat sesak air mata yang sesuka hati jatuh. Suara
di seberang sana pertama kali menyambutku dengan isak-isak tertahan sebelum
akhirnya mengabarkannya; nenek sudah pulang. Musik Yiruma yang masih berputar
kuketahui berjudul Just For A While. Dan,
aku sedang menulisi bagian Marvel mengunjungi reruntuhan makam St. Michael. Ini
bab yang benar-benar membuatku sesak berkali-kali ketika menuliskannya. Tiap
kali aku memejamkan malam, menyentuh paragraf pada bab tersebut, aku kembali
lagi pada sebuah siang dengan pertanda dan bahasa alam akan kabar kematian yang
duka sekali rasanya.
Jadi, itulah 5 fakta seputar pengerjaan novel ‘Time in
a Bottle’! Ada banyak perasaan yang bermain-main sepanjang kepenulisannya.
Semua itu turut membuatku menikmati tiap detik pembuatannya. Ia penuh cerita,
penuh cinta.
0 Comments:
Post a Comment