“kau berulang tahun. aku angka,
menghitung usiamu dari kejauhan.” – Aan Mansyur, a difference engine
contemplates an ontological certainty
sumber gambar: pinterest.com |
Pada
salah satu waktu, tanpa sengaja, aku pernah menghadiri pesta ulang tahun
seorang petinggi sebuah akademi di Jakarta. Itu pesta terencana yang
menyenangkan; sambutan hangat, kue dan prasmanan yang disuguhi dengan apik, dan
orang-orang yang berkumpul seraya bertepuk tangan ria. Sepintas, tidak jauh
berbeda dibanding pesta ulang tahun lainnya – atau bahkan kamu pernah
mendatangi pesta yang lebih meriah dari itu; sweet seventeen anak remaja yang
sekarang ini sudah sampai menyewa klub dan seorang DJ, hingga yang
tematik-tematik di lobi, kebun atau kolam renang hotel. Namun, ada yang berbeda
dari pesta itu, tepat ketika pembukaannya. Si orang yang berulang tahun,
melontarkan beberapa baris kata.
“Momen ulang tahun, bagai dua sisi keping uang logam. Di satu sisi Anda merayakan rasa syukur kita karena terlahir di dunia berkat kepercayaan Tuhan serta ucap selamat Anda sebab masih bernapas hingga detik ini, tapi di lain sisi, ulang tahun berarti usia Anda bertambah dan mendekati tenggat kematian Anda,” ujarnya dengan beberapa kali jeda, seakan memberi waktu bagi tiap jajarannya yang hadir untuk meresapi pelan-pelan apa yang diucapkannya.
Barangkali
kamu juga pernah mendengar ucapan yang maknanya sama. Tentang pesta ulang tahun
yang digelar mahal untuk membeli tawa, dan lupa itu adalah tanggal yang sama
ketika Ibu meletakkan nyawanya di tengah tebing – antara hidup atau mati.
Kurasa, itu juga alasan mengapa ada kata ‘selamat’ dalam ulang tahun. Namun,
lainnya lagi, kamu akan bilang, pesta adalah wujud kamu merayakan kehidupan
yang dihembuskan Tuhan. Akhirnya kita sepakat untuk tidak sepaham dalam banyak
hal – aku membenci pesta, mungkin aku belum menemukan konsep perayaan yang
sesuai dengan kebiasaanku mengasingkan diri di antara lalu lalang ramai
orang-orang yang berdiri bersama segelas minuman berwarna di genggamannya.
Namun, tak ada yang salah. Setiap orang punya pilihan, terutama pada cara
masing-masing menyapa selamat datang dan sampai ketemu untuk hari-hari yang
dilingkari dengan spidol berwarna menyala di antara angka-angka yang berderet
di kalender meja.
“Saya
jadi teringat setahun lalu pada almarhum (...), ketika beliau mengucapkan
selamat ulang tahun pada saya dan mengutarakan konsep kehidupan dan kematian
yang mengimpit dalam kata selamat maupun perayaan. Kita tahu beliau...” lanjut
si orang ulang tahun. Aku sendiri tidak mengenal marhum yang dimaksud, juga tak
memahami kenangan yang berupaya dihidupkan ulang. Hanya saja, jika bisa
kugambarkan, ruangan itu mendadak berkabut oleh tangis-tangis yang ditahan.
Seorang pria paruh baya yang berdiri di hadapan si orang ulang tahun, mulai
melepas kaca mata berbingkai hitamnya dan menyeka ujung mata. Hadirin lain
mengangguk pelan, mendengarkan dengan begitu khusyuk seraya larut dibawa cerita
lalu yang dibawa.
Aku
cukup terhenyak – membayangkan bagaimana kamu memeringati tanggal lahirmu lewat
pesta sederhana yang terus-menerus melemparmu pada kenangan akan selamat
tinggalnya seseorang. Persisnya, kamu seperti menemukan tanggal kamu
mengunjungi dunia, juga tertera pada
nisan sahabat dekatmu sebagai tanggalnya meninggalkan dunia. Ingin sekali aku
berbisik, selalu ada arti dibalik tangis pertama kamu di rumah sakit saat lahir. Mengapa harus diawali dengan teriakan tangis. Dan, ketika
mengulangnya, kamu melewatinya dalam tertawaan yang dibungkus pesta paling
bergengsi. Mungkinkah tawa tiap tanggal lahir adalah cara berselindung lain
untuk air mata yang jatuh tanpa orang lain tahu, di malam harinya saat kue-kue
sudah habis, confetti sudah diledakkan, dan orang-orang sudah pulang.
Pidato
kecil sebelum makan-makan itu selesai. Pria tadi ditunjuk untuk memimpin doa.
Akhirnya pula, duka memang tak dipelihara berkepanjangan, hanya saja ada
kalanya kamu menyuburkannya. Aku ikut dalam obral-obrol sembari menyantap
makanan yang disajikan dari resto berbintang banyak.
Sesekali dalam diam, aku mencari-cari ke mana kiranya kesedihan barusan, disimpan-sembunyikan orang-orang.
Selamat
ulang tahun.
Catatan:
i'm very thankful to have all of you |
Tahun
ini, aku hanya menerima sejumlah ucapan yang bisa kuhitung dengan jari – tentu
saja, aku mematikan notifikasi pengingat ulang tahun di media sosial. Sahabat-sahabat
menyiapkan kejutan kecil; mulai dari skenario sedeharana yang menjebak, datang
langsung ke rumah, hingga mengirim video dan tulisan yang indah-indah. Semuanya
sebentar saja, tapi kenangan yang dihasilkan panjang sekali umurnya. Aku
memasuki dua puluh tahunku sebagai bagian dari semesta – orang tuaku
menyebutnya sebentuk kado kecil beranugerah milik Tuhan. Fakta menariknya,
sehari sebelum aku berulang tahun pada salah satu tanggal di akhir minggu
April, aku bahkan tak benar-benar mengingatnya. Menulis ini hanya sebagai
ucapan terima kasihku untuk mereka yang membantuku mengenang tanggal lahirku
tiap tahunnya dengan cara yang berbeda. Aku menikmati keheningan-keheningan
yang tercipta setelahnya; kado yang tersimpan di ujung meja belajar, foto-foto
yang terkoleksi di album galeri ponsel, dan ingatan yang bisa diputar
berkali-kali di ruang kepala sebagai memori manis untuk dikembalikan ulang.
AAAAA verooo, terharu:")
ReplyDeleteWuihhh aku enggak tahu kalau Lydia bacaaa, aaaa jadi ikut terharu jugaaaaa
Delete