Lampu-lampu
kota yang berdiri di sepanjang tepi jalan – aku selalu mengaguminya; yang
cahayanya oranye remang dan kadang kala redup hingga cahayanya tidak sampai
menyentuh aspal jalan di bawahnya. Aku menyukainya karena ia berdiri tanpa
terlalu gagah ataupun ringkih, begitu apa adanya ia dan seutuh yang ia punya;
jadi diri sendiri – walau tubuhnya kadang tercoret, ditempeli debu, dikencingi
anjing, disembur air liur para pemabuk, dan keganjilan-keganjilan lainnya.
Lampu kota berdiri bagai orang yang sedang menunggu dengan tabah. Redup-nyala
dalam keremangan yang menggoda, bersiap memerangkapkan tiap pasang mata.
Pandang-pandang yang singgah padanya adalah arahan lembut yang menciuminya satu
persatu. Ia seperti seorang perempuan.
sumber gambar: gettyimages |
Tiang
listrik berdiri di beberapa titik jalan – aku selalu sambil lalu dengannya;
yang tubuhnya kuat dan cogah, walau selalu tampak lebih pendek dari lampu kota.
Perawakannya kasar; ia kerap terlihat dengan stiker-stiker bercetakan
jargon-jargon salah eja atau tempelan promo jasa badut dan les bahasa, itu
sudah bagai tatto yang membuatnya tampil sangar. Belum lagi, kebiasaannya
menunjukkan kekokohannya; dengan tetap berdiri walau mobil-mobil kencang yang
kehilangan kendali tanpa sengaja menabrakinya. Ia seperti bilang; sebegitu kerasnya
jalanan, ia masih tegak bertahan di sana, memberikan aliran energi yang
menghidupkan rumah-rumah. Ia umpamanya seorang lelaki.
Tiang listrik tak pernah berdiri jauh dari lampu kota, begitu juga lampu kota kepada tiang listrik: mereka tampak saling menjaga, menemani satu sama lain.
Lampu
kota hampir tiap malam tampil cantik dengan memainkan cahayanya, demi tiang
listrik yang setiap hari sudah bekerja mengalirkan energi untuk menyalakannya:
mereka saling mengisi kekurangan masing-masing, melalui kelebihan yang dimiliki
diri.
Kalau
tak dikalahkan kantuk, sesekali coba kamu berjaga bersama sepi yang istirahat
di pos ronda menjelang tengah malam, kamu akan menyaksikan bagaimana keduanya
saling bercumbu. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa kadang kali ada
lampu kota yang padam mendadak padam, atau pasokan listrik ke rumahmu tiba-tiba
berkurang: mereka sedang bercinta.
Mereka: tiang listrik dan lampu kota. Menyimpan cerita-cerita, menyelindung tebakan-tebakan, yang sama seperti kita pada pandangan pertama.
Tiang
listrik dan lampu kota: mereka. Mengoleksi kenangan-kenangan, melipat
harapan-harapan, yang sama seperti kita pada salam diam selamat tinggal.
“Tiang listrik itu laki-laki. Lampu kota itu perempuan, sayang. Mereka sama seperti kita, wujud lelucon-lelucon cerita hati, lainnya.”
*Beberapa waktu lalu, aku membaca berita jika tiap kota akan menggunakan konsep smart city, yang mana lampu kota yang berwarna oranye akan diganti seluruhnya menjadi putih dan berteknologi tinggi; sehingga bisa dikontrol hanya dengan satu remote kontrol saja. Dan mulai dari sekarang aku sering mengumpulkan rindu akan remang oranye itu, untuk kapan-kapan kukenang sebagai bagian dari konsep kerapuhan.
*Aku pernah mencoba mengungkapkannya pertama kali pada seorang lelaki, dan kukira ia memang menertawakannya, sebelum aku sempat menceritakan ini padanya. Tak apa, semuanya sudah selesai sekarang.
0 Comments:
Post a Comment