Pikiran
ini berdiri di depan, menyodorkan diri di ruang kepala, ketika aku mengulang
kebiasaanku duduk di ruang tamu rumah dengan kondisi lampu redup, dan radio
peninggalan marhum kakek yang kubiarkan menyala tiap pukul sepuluh malam. Aku
hampir tak pernah mengubah saluran, tetap pada frekuensi yang sama selama
kurang lebih setahunan belakangan. Karenanya, aku mengenali daftar lagu yang
kerap diputar menjelang tengah malam; itu lantunan pengantar tidur, ritmenya
tidak lagi mengajak tubuh beranjak, melainkan pelan-pelan masuk ke relung
terdalammu berbisik ini saatnya memeluk diri sendiri di balik selimut hangat
atau menjadikan seseorang teman tidurmu sebagai guling hingga pagi. Lampu-lampu
yang menemani malam pun punya karakter berbeda – ia lebih remang di kamar, atau
hanya sendiri yang menyala di teras. Lalu, kembali lagi: pikiran ini muncul.
sumber gambar: playbuzz.com |
Via
telepon, kau bertanya pikiran semacam apa. Di seberang sana, kudengar suara
berisik yang tak bisa kutebak dari mana dan apa. Kau bilang, suara-suara itu
bisa menjelma jadi makna yang berbeda tergantung bagaimana suasana hatiku
sekarang, sebagaimana kebiasaanku menafsirkan malam. “Kalau kau sedang
diperangkan ragu, kau akan berpikir aku tengah di sebuah bar dengan band-band
indie yang menggelar pertunjukkan perdananya, dan tambahan perempuan-perempuan
yang mungkin mencoba mengajakku mengobrol. Kalau kau tengah mengantuk, kau
tidak terlalu hirau dan menganggap ini hanya suara dari orkestra jalanan; paduan
klakson kendaraan dan teriakkan orang-orang yang tidak sabar. Kalau kau tengah
– “ aku memotongnya cepat, “Kalau aku tidak sedang dan tengah untuk apa-apa,
bagaimana?”
Jeda
cukup lama di sana sebelum kau menyahut.
Nadamu kali ini terdengar selaras dengan sunyi yang mengumpulkan diri, “Kau akan menganggap suara-suara itu datangnya dari gesekan dahan pohon ke sebuah gedung yang sudah berjam-jam lamanya ditinggal pulang para pekerjanya.”Aku menutup teleponmu. Beranjak dari ruang tengah menuju selasar rumah. Jangkrik-jangkrik tengah berpora di antara semak-semak – aku selalu merasa malam tak pernah lengkap tanpa derik mereka. Memang begitu – malam menjadi malam bukan sekadar karena matahari meninggalkannya sebentar.
Dering
telepon kembali berbunyi. Namamu tertera di sana. Aku menjawabnya pada dering
pertama. Tanpa halo. “Aku berpikir untuk tidak memikirkan apa-apa.” Kau diam,
hanya napasmu yang mengisi kosongnya kita berdua.
“Paradoks. Kau hanya butuh menyuntingnya saja,” jawabmu, lagi-lagi menyatu dengan sunyi.
Tak
ada percakapan setelahnya. Kamu mengakhiri panggilan tanpa da-da-da. Aku
melempar ponselku ke tengah jalan. Aku berpikir apakah air mata punya suara
ketika ia jatuh. Aku berpikir bukan suasana hati yang menerjemahkan makna
suara-suara pada ruang pikir masing-masing, melainkan tentang suara siapa yang
tengah bicara; di seberang sana, yang mampu memengaruhi bagaimana hati
menciptakan rasa. Aku berpikir mengenai banyak hal. Banyak hal, tentang kamu.
Tapi mereka; pikiran-pikiran itu – kerap tak punya suara untuk bicara.
0 Comments:
Post a Comment