Membincangkan
malam, ada hal paling menarik dari sekadar pernak-pernik yang dipinangnya;
jalan sepi yang lenggang, pedagang nasi goreng keliling, martabak pinggir jalan
yang berjualan dua puluh empat jam, hingga kamu yang berjalan sendirian – yaitu
mereka yang memilih tidak tidur, walau jarum jam semakin merangkak, waktu
menua, dan gelap memekat. Mereka bilang, karena gunungan tugas yang menuntut
selesai, banyak tontonan bagus dari boks TV, punya buku dengan cerita seru, dan
sederetan pembelaan lainnya untuk alasan lain yang berusaha mereka sembunyikan.
Ada hati yang belum siap atau kenyataan yang masih diterima sebagai sandiwara.
Untukku sendiri, jika kamu menemukanku belum lelap setelah jam sebelas larut,
aku memang tengah mencoba melarikan diri.
sumber gambar: littlemimmy.wordpress.com |
“Aku
yakin kamu cukup mengalami hal yang serupa denganku: tiap sebelum tidur,
pikiran-pikiran yang datang jauh sekali dari tahun-tahun yang tak kamu duga,
berbodong-bondong menyesaki ruang kepalamu bagai banyak genre film yang saling
berebut minta ditonton, dan ini adalah pikiran-pikiran yang tak pernah kamu
tahu terkoleksi, berdesakan minta kamu cerna. Kamu terjebak dalam perenungan
yang tak lagi hening. Kamu dipaksa bicara pada diri sendiri, sedangkan kamu
sudah asing dan lupa cara berkenalan dengan diri.” – hal yang sama tak hanya
terjadi pada kamu yang melabeli diri insomnia, tapi juga pada kamu yang
tiba-tiba terbangun di jam yang tak kamu sangka, untuk buang air kecil atau
sekadar minum air, itu cara malam dan pikiran-pikiran itu menyelamu sekali
lagi, menyusup kembali, dan memojokkanmu pada kegelisahan yang kamu tak tahu
kapan sudahnya. Itu sebab ada kalanya kamu sulit tidur ketika di tengah kamu
menikmati buruknya mimpimu, kamu harus terbangun tiba-tiba.
Pilihannya
tiga: terjaga hingga besok, menegak pil tidur, atau memulai sepotong doa. Aku
jadi teringat sebuah cerita. Saat kecil dulu, aku pernah mencari tahu, mengapa
aku harus berdoa sebelum beranjak tidur. Berikan satu alasan padaku selain agar
aku terlindungi dan terbangun lagi di pagi hari – sebentuk penjagaan hening.
Dan, aku terkejut pada jawaban yang kutemukan. Doa sebelum tidur, adalah salah
satu sesi curhat pada Tuhan. Bercerita tentang keseharianmu sepanjang hari itu.
Kubawa fakta tadi pada seorang guru, “Bukankah Tuhan Maha Mendengar? Tanpa
harus kubercerita juga, Tuhan pasti bisa mendengar apa yang kusimpan di dalam
ruang terdalam diriku. Jadi, untuk apa lagi aku harus membicarakannya?”
Guruku
tersenyum, ia mengajakku duduk di pangkuannya.
“Kamu mungkin sudah tahu kabar sahabatmu akan menikah bulan depan dari saudaranya, tapi bukankah kamu ingin tahu langsung dari sahabatmu sendiri? Bukankah kamu ingin memastikan sesungguhnya sahabatmu menganggapmu sahabatnya juga atau tidak, dengan menceritakan kabar-kabar pentingnya padamu, bukan lewat orang lain atau kamu tahu sendiri? Bercerita langsung, Vero, kamu membutuhkan waktu, kamu memberikan kepercayaan, kamu mendorong keberanian, kamu meletakkan makna. Ini tentang pengorbanan kecil, seberapa besar kamu punya keyakinan membagikan sepotong kecil darimu dalam bentuk cerita kepada seseorang lain, kepada Tuhan. Tentang bagaimana kamu pulang setelah panjangnya perjalanan. Tentang ke mana kamu beristirahat seusai lelahnya petualangan. Tentang apakah kamu menaruh ruang sendiri untuk ingatan hening di keramaian.”Aku tertegun.
Sejak
itu, kupikir bangun tiba-tiba di pertengahan malam untuk ke kamar kecil atau
mengambil air putih, bukan upaya pikiran menggelisahkanku lagi, melainkan
tangan lembut Tuhan memanggilku bangun karena itu saatnya aku menenangkan diri
dengan melakukan sembahyang tengah malam padaNya.
Mungkin,
alasan mengapa pikiran-pikiran itu kerap mengusikmu karena ada yang berontak
dalam dirimu, meminta lahir sebagai cerita-cerita utuh untuk disusun rapi
sebagai kenangan yang diterima secara damai. Kalau sudah begitu, doa adalah
cara paling tepat memperlakukan pikiran-pikiran itu. Tuhan tidak sekadar
mendengarnya, Dia akan menanganinya dengan baik – dalam bentuk memberimu tidur
yang nyenyak dan waktu jaga yang menyegarkan dalam ucapan syukurmu. Sekalinya
kamu tidak melakukannya, pikiran itu akan memaksa keluar dengan cara lain:
meraung-raung dalam ruang kepalamu. Mencari perhatian yang kamu tidak punya
cukup waktu untuk memberinya.
0 Comments:
Post a Comment