Tiga tahun lalu, National Council of Climate Change atau Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI Indonesia) merilis sepotong film dokumenter 'After Rain Falls' bertajuk dampak perubahan iklim yang dialami Bumi dan manusia-manusia yang berdiam di dalamnya, dan pesan film tersebut sampai saat ini masihlah relevan. Juga perlu diketahui, ini bukan gambaran visual implisit tentang bencana yang berujung pada ketakutan-ketakutan akan kiamat seperti serial-serial film populer, melainkan cara baru untuk mengajak siapa saja yang menontonnya agar mencoba mengukur kesehatan Bumi lewat perjalanan hujan.
sumber gambar: livehdwallpaper.com |
‘Seusai Hujan Datang’ ke
Desa
Masyarakat – terutama mereka
yang berprofesi sebagai petani, pekebun maupun tukang tambak - akan teringat
pada bulan Oktober hingga Maret ketika diberi satu kata: hujan. Karena, itulah
waktu normal berkunjungnya musim penghujan. Namun, pada dekade terakhir ini, hujan
sudah memiliki makna waktu yang lain – ia adalah turunnya tiba-tiba, berganti-ganti
sesuai suasana hati langit, hingga dikenal sebagai hujan yang pancaroba.
Efeknya beragam: profesi-profesi yang menggantungkan keberhasilan proyek
tanamnya lewat musim, banyak mengalami gagal panen karena curah hujan yang
berubah-ubah; mendadak tinggi juga sebaliknya. Akibatnya ladang tani dan kebun
kebanjiran, ada juga yang kekeringan. Tak terkecuali yang meletakkan
pencahariannya di perairan; ketidakpastian musim membuat suhu air laut yang
mampu menentukan banyak tidaknya ikan yan hidup dan didapat, tidak bisa
diprediksi. Dampaknya, kerugian yang cukup besar dari sisi dagangan. Kejadian ini
terjadi di Desa Sawah Luhur, Serang, Provinsi Banten.
Kita sampai pada sebuah tanda tanya, apa yang terjadi hingga Bumi menangis lewat hujan-hujan yang ganjil turunnya?
‘Sehabis Hujan Datang’ ke
Kota
Ciliwung banjir. Bukan lagi
berita biasa, hampir setiap tahunnya orang-orang mendengar kabar serupa – dan mereka
yang tinggal di sana mengalami kebanjiran berkali-kali yang sama. Semua warga
tahu, ini bukan hanya perkara hujan datang sebagai penyebab utama, melainkan
ada yang lebih dari itu. Daerah resapan yang sudah lenyap, kawasan hijau yang
semakin berkurang, dan ketidaktahanan daya tampung tanah terhadap curah air
hujan. Ini jenis pembenahan yang rumit di tengah keruwetan ibu kota. Maka,
langkah ‘pengobatan’ yang ditempuh: Karang Taruna kawasan Kampung Kramat Jati
daerah Ciliwung, membangun tim penanganan banjir khusus yang bertugas membuat
kano untuk keadaan darurat, mengomunikasikan ketinggian air, membantu pasokan
makanan buat para pengungsi banjir, hingga menjadi regu pembantu evakuasi.
Buat kita mengerutkan dahi sembari melempar tanya dalam kemungkinan-kemungkinan, benarkah Bumi sedang sakit?
‘Selesai Hujan Datang’ ke
Pemukiman Adat
Para tetua adat di Desa
Bayan, Lombok, mengedepankan prinsip keselarasan hidup dengan alam lewat
upacara yang dikenal dengan nama ‘Slamer Olor’: yang mana hidup harmoni bersama
hutan, mata air, dan leluhur. Ada kepercayaan bahwa semua yang mereka dapatkan
untuk kebutuhan hidup sehari-hari berasal dari alam, karenanya dibutuhkan
penghormatan, semacam bentuk rasa terima kasih kepada alam. Mereka menjaga
tangkapan air dan memahami fungsi hutan. Sudah disiapkan sanksi berat untuk
mereka yang menebang dan merusaknya.
Buat kita hening sejenak dan menemukan satu simpulan, bahwa kita adalah satu-satunya jawaban.
‘Setelah Hujan Datang’ ke
Perusahaan
Dua kasus yang menimpa Desa
Sawah Luhur dan Kota Jakarta adalah contoh bagaimana perubahan iklim mengubah
gaya Bumi dalam menampung dan meresap air hujan yang tumpah. Ruang terbuka
hijau semakin menipis luasnya, hutan habis dieksploitasi ketamakan, dan alam
dijadikan mangsa oleh predator yang bernama manusia. Berbagai konferensi
tingkat tinggi digelar untuk menekan laju perubahan iklim, komunitas pro-hijau
melakukan ekspos besar-besaran terhadap masalah ini dan merangkul publik utnuk
memerhatikannya, hingga isu tersebut masuk ke dalam Sustainable Development Goals yang relevan dengan beberapa cabang
isu antara lain clean water and
sanitation, climate action, life below water, dan life on land. Untuk memikirkan solusi yang tepat bagi masalah global ini, selain masyarakat, korporat bisa jadi salah satu pelaku yang harus diajak berperan. Sebab, korporat dalam kesehariannya kerap bersentuhan langsung dalam mengolah
kekayaan sumber daya alam. Karenanya, korporat harus
cukup peka memandang persoalan ini, agar bisa jadi yang berkontribusi sebagai ‘penyeka
air mata Bumi’ lewat program-program CSR yang pro-lingkungan. Butuh keseriusan
tinggi, yang mana korporat dalam merancang programnya tak bisa hanya melihat problem lingkungan lewat kaca mata global, karena tiap wilayah memiliki cara masing-masing dalam
menyikapi perubahan iklim. Korporat membutuhkan riset serius yang melibatkan tak
hanya para ahli lingkungan tapi juga masyarakat lokal hingga adat, untuk diajak
bicara dalam mendiskusikan dan mengimplementasikan invetasi masa depan satu tujuan: menjaga Bumi
dan segala isinya sebagaimana adanya. Logikanya cukup sederhana, bila korporat
membutuhkan alam sebagai sumber dayanya untuk mendatangkan profit, maka ketika
kondisi alam semakin memburuk, korporat harusnya menaruh kepedulian di sana;
karena jika mengeruk kekayaan alam semena-mena, berarti sama saja mereka membunuh diri sendiri.
Namun, dewasa ini, sebelum
membincang CSR dengan cakupan luas yang menggandeng audiens eksternal, ada
kalanya korporat bercermin dahulu.
Korporat sebaiknya mengurusi bagaimana tingkah lakunya sebelum membayangkan menyabet citra sebagai korporat Greeners – pahlawan hijau (atau jangan-jangan kepeleset jadi Green Wash).Bercermin di sini maksudnya adalah, apakah hal terkecil yang menjadi kewajiban korporat terhadap lingkungan sudah dilaksanakan. Seperti perizinan AMDAL yang legal tak dibuat-buat, pengolahan limbah, material yang digunakan sebagai bahan baku modal (apakah ramah lingkungan atau sebaliknya), sampai strategi ekspansi pasar secara fisik (dilakukan melalui perluasan wilayah yang melanggar ruang terbuka hijau atau tidak). Hal-hal demikian masih jadi permasalahan tersendiri, sehingga CSR lingkungan belakangan ini yang dilakukan korporat masih terkesan mengambang dan meraba-raba permukaan – jauh dari dampak berkelanjutan nan jangka panjang.
Sebab masih ada celah untuk
arah eksploitasi demi keuntungan materil, dan CSR yang ada dianggap hanya kewajiban
sekali jalan.
Sedangkan kita semua setuju dan sepakat (merujuk pada Triple Bottom Line maupun fakta bahwa perusahaan-perusahaan bergantung pada sumber daya alam), misi merawat Bumi adalah tanggung jawab sosial yang akan terus berlangsung selama perusahaan itu berjalan.
Veronica 14140110092
Ditulis untuk memenuhi tugas
Corporate Social Responsibility,
Dosen: Ujang Rusdianto
Universitas Multimedia Nusantara - Gading Serpong
Universitas Multimedia Nusantara - Gading Serpong
0 Comments:
Post a Comment